BAB 12

11 3 14
                                    

Annyeong, chingudeul. Apa kabar semua? Xixixi.

Malam Ahad begini pada ngapain?

Adakah yang puasa Dzulhijjah hari ini? Semangat puasanya!!

.
.
.
.
.

"Keajaiban akan datang ketika Tuhan yakin kamu berhak mendapatkannya."
.
.

Happy reading!!
🦆🦆


🧑🏻‍🍳🧑🏻‍🍳

Hari ujian terakhir sedang berlangsung. Sama seperti kemarin, hari ini sungguh terik. Hawa panas terasa sampai ke dalam kelas. Sesekali aku mengipasi wajah dengan lembar jawaban.

Sepuluh soal lagi aku selesai. Keringat dingin mulai berjatuhan. Aku sungguh gelisah. Aku melirik jam tanganku sebentar. Tiga jam lagi lomba memasak dimulai.

Cepat-cepat aku mengerjakan soal terakhir. Hanya ujian mata pelajaran penjas, makanya aku bisa mengerjakan lebih cepat. Walaupun tanganku sering terpeleset saking gugupnya. Dan, selesai!

Aku buru-buru berjalan ke depan dan mengumpulkan lembar jawaban. Setelah itu, aku langsung lari ke toilet sekolah untuk mengganti pakaian.

Tak lama, hanya lima menit aku berganti pakaian. Langsung saja aku pergi ke pinggir jalan raya untuk memesan taksi. Hanya satu fokusku, yaitu lomba memasak. Entah bagaimana keadaan kelas nanti setelah selesai ujian kenaikan kelas. Biasanya, setelah ujian berakhir bakal ada pengumuman, tapi untuk kali ini, aku acuhkan. Aku nggak peduli.

Dalam menunggu taksi lewat, aku tidak bisa diam. Tanganku secara otomatis memainkan ujung bajuku, sementara bibirku sering kugigit. Aku sungguh gugup!

Sudah sepuluh menit berlalu dan taksi belum ada yang lewat. Dalam keadaan panik, aku berlari ke arah terminal. Biarlah jika ini memakan waktu, yang penting aku mendapatkan bis. Atau pun itu.

"Ya Allah, bantu aku," batinku berdoa.

Aku harap ada sebuah keajaiban datang menghampiriku. Aku terus berlari tanpa menghiraukan panasnya matahari menusuk kulit. Keringat bercucuran, bahkan punggungku sudah mulai basah.

Aku kembali mengeratkan tasku di pundak. "Cepat, Ko, sebentar lagi sampai."

Aku berdiri mematung dengan mata berkaca-kaca. Aku hampir menyerah. Tanganku menyeka air mataku yang tanpa izin keluar. "Jangan, jangan lagi," ucapku lirih.

Terminal hari ini kosong. Tak ada bis satu pun. Hanya ada beberapa orang yang yang sedang berdagang. Dunia seakan mengujiku. Kepalaku tertunduk. Aku buntu. Entah apa yang haru aku lakukan sekarang. Waktu sebentar lagi habis. Lomba memasak akan segera dimulai satu setengah jam lagi.

Keajaiban itu benar-benar datang padaku. Di saat aku hampir putus asa, ada seseorang yang selama ini mendukungku. Ya, sahabatku Ali.

"Woi, laki-laki, kok, nangis. Udah cepet. Ayo naik!" Mataku melebar. Aku sungguh tak percaya Ali ada di depanku sekarang. Aku masih tak berpindah dari tempatku. Masih terkejut dengan kedatangan Ali.

"Heh, Ko. Cepetan! Mau telat datang lomba?" Ali menepuk pundakku.

Aku mengangguk pelan dan sesegera mungkin naik sepeda Ali. Dan untuk sekian kalinya aku duduk di boncengannya. Aku hampir menangis kencang saat tuhan benar-benar mengirimkan keajaiban itu dalam bentuk sahabatku—Ali. Aku sangat bahagia, entah bagaimana aku akan berterima kasih. Namun, ada setitik rasa heran dalam kepalaku. "Kenapa Ali bisa tau aku mau lomba?"

Dapur Impianku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang