Halooo.
Ucap bismillah sebelum baca. Tandai kalau ada typo.
Happy reading!!
🧑🏻🍳🧑🏻🍳
Pagi sebelum berangkat sekolah, aku berpamitan dengan ibu dan ayah. Kejadian kemarin sore masih melekat di kepalaku. Aku sedih, tapi aku juga nggak mau kehilangan kesempatan. Mungkin ada satu cara ....
"Ricko, jangan lupa pesan ibu kemarin, ya?" ucap ibu setelah aku berpamitan padanya untuk berangkat sekolah.
Aku mengangguk. "Iya, Bu."
"Oh, iya. Adek nggak pergi sekolah. Dia izin mau ikut ibu ngantar ayah ke bandara. Ayah ada urusan pekerjaan lagi. Kamu sendiri sampai sore nggak papa, kan?" Kini giliran ayah yang berbicara.
Aku kembali mengangguk. Tak apa, memang sering seperti itu. Walaupun baru sepekan atau dua pekan di rumah, ayah pasti akan ada panggilan kerja. Jadi tak mesti lama di rumah.
Kali ini, aku berangkat sekolah diantar ayah. Sesampainya di sekolah ... Aku mengalihkan pandanganku ke arah pria tua dengan kulit sawo matang pertanda beliau seorang pekerja keras yang sedang duduk di bangku supir.
"Ayah, Ricko sekolah dulu, yaa." Aku mencium tangan ayah sebelum keluar dari mobil.
Ayah mengelus kepalaku pelan sambil berkata, "ayah percaya sama kamu. Semangat belajarnya!"
Deg ... Aku tau, ada makna di balik kalimat itu. Ayah sama seperti ibu. Menaruh kepercayaan kepadaku untuk mendapatkan nilai tinggi, dan, ya, aku tidak boleh seperti kemarin. Apalagi ikut lomba memasak.
Aku mengangguk yakin. "Pasti."
**
"Setiap orang berhak menentukan pilihannya, kan? Bukan, kah, itu hak asasi manusia? Mumpung ada kesempatan, kenapa, nggak? Buktikan kalau kamu mampu!"
Aku berada di tempat ternyaman di sekolah. Ya, perpustakaan sekolah. Sudah berjalan sepuluh menit jam istirahat, tiba-tiba aku menemukan kalimat itu.
"Benar juga. Kenapa aku merasa takut? Jika aku bisa membuktikan bahwa aku bisa mendapatkan nilai tinggi dan juara lomba, pasti mereka akan bangga—orang tuaku. Akan bangga.
Aku menghela napas lega.Akan aku buktikan tanpa dukungan dari orang tua. Aku pasti bisa," lanjut batinku meyakinkan.
**
Lima menit lagi bel masuk berbunyi. Ali yang sudah kembali dari kantin pun pergi ke perpustakaan untuk memanggilku.
Kepala Ali yang sudah menyembul dari pintu perpustakaan membuatku beranjak keluar dari perpustakaan untuk menghampirinya.
"Ko, Lo kok kelihatan kek orang sedih banget tadi pagi, tapi sekarang kelihatan kayak orang lagi semangat-semangatnya. Ya, kayak biasanya, tapi ini kayak lebih semangat." Ali bertanya sambil kita berjalan menuju kelas. Alisnya terangkat sebelah dan menuntut jawaban. Ternyata Ali baru memberanikan diri untuk bertanya. Padahal, dia sudah penasaran sejak tadi pagi.
"Hehehe." Aku terkekeh. Namun, tak lama aku berdehem pelan. Waktunya aku bercerita, walaupun berakhir aku kena omel Ali.
"Gue kemarin ketahuan ibu sama ayah." Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal.
"Maksudnya?" Ali makin penasaran.
"Kemarin, sepulang dari rumah lo, gue kehilangan brosur lomba memasak itu. Gue udah ketakutan, dan ketakutan gue bener. Ibu sama ayah udah tau. Gue disidang sama ibu. Ayah sama Rika pergi biar si Rika nggak dengar. Ibu marahin gue, karena gue ketahuan bolos les. Guru les gue nelpon orang tua gue, sebab gue udah lama nggak berangkat les. Terus, ibu tambah marah setelah tahu nilai ulangan fisika dan bahasa Indonesia gue rendah. Padahal, Lo tahu kan, itu mata pelajaran yang nilainya gak pernah rendah di gue?" jelasku panjang lebar.
Aku melihat Ali mengangguk. Kelanjutkan ceritaku.
"Ibu ... Makin-makin marah setelah lihat brosur di atas meja belajar gue—"Dan Lo nggak nggak dibolehin ikut." Ali menyela ucapanku.
"Tepat sekali. Gue nggak boleh ikut lomba dan harus mempersiapkan matang-matang buat ujian kenaikan kelas. Gue cuman bisa mengangguk. Gak tau harus apa. Lo tahu, kan, se-semangat apa gue buat lomba ini?" Ali kembali mengangguk.
"Terus, yang buat Lo bisa kembali semangat?" tanya Ali kembali.
"Gue barusan ketemu satu kalimat di majalah. 'Nggak ada kesempatan yang datang dua kali. Setiap kita berhak memilih pilihannya, kan?' Gue bakal buktikan ke orang tua gue, bahwa gue bakal dapat nilai yang tinggi dan gue bakal menang lomba." Aku menatap lurus dengan penuh keyakinan. Kini, semangatku harus lebih lagi. Ada kedua orang tuaku yang harus aku banggakan.
"KEREN! Ini baru sahabat gue. Ini baru Ricko yang gue kenal!" Ali tersenyum bangga padaku. Tepukan pelan di pundakku juga sebagai salah satu bentuk bangganya padaku.
"Tapi, gue kesel sama lo. Kan, gue sama Emak juga udah bilang, jangan bolos les. Ngeyel, sih, Lo. Nilai lo juga turun, kan, jadinya. Padahal, latihan masak nggak bakal keganggu," ucap Ali kesal.
Aku kembali menggaruk kepalaku yang tak gatal itu sambil terkekeh malu.
"Ya, maap. Terlalu semangat gue.""Huuu. Jadi? Nanti Lo mau les?"
"Ya, pasti. Tapi sepulang dari les, gue bakal latihan masak lagi di rumah. Mumpung orang tua gue nggak ada di rumah dan gue baru aja dapat resep baru."
"Bener-bener semangat, ya, Lo. Sip, lah!"
"Gue yakin, Lo bakal bisa wujud-in itu semua, walaupun tanpa dukungan orang tua. Sebentar lagi. Ya, waktu itu gue bakal jadi orang yang paling bangga sama lo setelah orang tua lo."
🧑🏻🍳🧑🏻🍳
Ucap alhamdulilah setelah baca bab ini. Gimana sama bab ini?
Terima kritik dan saran. Makasih yang sudah baca!
Jangan lupa vote and comment.
⬇️🌟
KAMU SEDANG MEMBACA
Dapur Impianku
Short StoryRicko adalah anak orang kaya yang hobi memasak. Dia selalu menyempatkan untuk selalu belajar memasak, bahkan memasak untuk adiknya hampir tak pernah absen. Dia suka bereksperimen di dapur. Suatu hari, sang adik bertanya kenapa dia tidak ikut lomba m...