Assalamualaikum, semuaa. Ah, enggak kerasa detik-detik di penghujung cerita, nih. Xixixi.
Gimana, nih, kesan Ricko buat kalian sampai bab ini? Adakah yang sama seperti Ricko yang cita-citanya aja ditentukan orang tau? Kalau ada, berarti kalian hebat!! Semoga ridho orang tua berkah buat kalian.
.
.
.
.
.Happy reading!!
🍐🍐
🧑🏻🍳🧑🏻🍳
Hari ini aku berniat pergi ke balai kota untuk mendaftar lomba masak sepulang ujian. Saat ini, cahaya matahari menerangi bumi tanpa malu-malu. Bibirku yang tak henti-hentinya mengulas senyum. Ah, rasanya benar-benar bahagia. Sebentar lagi. Sebentar lagi aku akan mengambil langkah menuju impianku selama ini.
Ujian kenaikan kelas sedang berlangsung. Suasana hening dan mencekam pun terasa. Namun, tak sedikit terdengar bisikan bahkan suara kursi bergesekan dengan lantai. Aku yakin, mereka ada yang gelisah karena tak tahu jawaban atau malah terkejar oleh waktu sebab ini ujian matematika. Ya, matematika ilmu yang menyenangkan, bukan?
Perasaan bahagia mendukungku mengerjakan soal ujian, bukan malah mengusikku. Aku menyelesaikan tiga puluh soal matematika dalam waktu tiga puluh menit juga. Aku memang jago matematika, buktinya aku terpilih untuk ikut olimpiade matematika. Hehehe.
Saat beranjak dari dudukku, aku memperhatikan sekitar untuk sesaat. Semua fokus pada kertas ujian. Namun, saat aku berdiri ada beberapa orang terlihat panik, ada juga yang biasa aja. Susana kelas mulai tidak sehening tadi. Biasanya yang panik seperti itu adalah orang yang biasanya mendapat ranking di kelas. Mengetahui ada yang sudah selesai mengerjakan soal dengan mudahnya, pasti mereka panik.
Aku terkekeh sambil menggeleng pelan. Mataku melirik ke arah meja depan-Ali duduk di sana. "Nanti aku akan ajak Ali untuk mendaftar sambil aku minta maaf." Aku berjalan ke meja pengawas dan segera mengumpulkan lembar jawabanku.
Aku duduk di depan kelas sambil bersandar ke dinding. Aku menatap langit yang hari ini sangat cerah. Gerah mulai terasa saat aku duduk menunggu hampir lima belas menit. Tiba-tiba seseorang datang mengacaukan lamunanku.
"Ricko, nunggu siapa? Enggak langsung pulang?"
Aku melihat siapa yang berbicara. Ah, Cahaya. Baru dia yang keluar setelah aku.
Aku menggeleng. "Enggak. Mau nunggu Ali dulu."
Aku melihat Cahaya mengangguk. "Oh, gituu."
Keheningan tercipta di antara aku dan Cahaya dalam beberapa detik. Sampai akhirnya aku membuka suara untuk orang yang sedang duduk merapikan tasnya.
"Kenapa? Mau bahas soal matematika tadi?" Aku terkekeh. Biasanya, cewek-cewek itu suka bahas soal setelah keluar dari kelas. Entah tujuan sebenarnya apa. Kalau aku lihat-lihat malah jadi sakit hati, karena tahu jawaban kita salah. Nanti-nantinya mereka malah melamun sedih. Hhh, cari penyakit saja.
"Hehehe, enggak, deh. Soal tadi lumayan mudah, kok." Cahaya menyengir sambil menyatukan jari telunjuk dan jempol menandakan kecil.
Aku mengangguk. "Bagus, deh."
"Yah, walaupun aku lama, sih, ngerjainnya," lanjut Cahaya.
"Bukan lama. Akunya aja yang kecepatan." Aku segera melanjutkan kalimatku yang spontan saat melihat Cahaya yang melotot tak percaya.
"Kamu cepet, kok. Buktinya cepat kedua setelah aku. Hehe." Kulihat Cahaya yang cemberut kesal.
"Dih, Ricko mulai songong."
"Bercanda." Aku tertawa lepas.
Tak lama, beberapa murid mulai keluar dari kelas. Cahaya pun beranjak untuk pulang.
"Ricko, sukses buat lombanya, ya! Aku tahu, kamu pasti bisa! Dadah, aku pulang duluan."
Aku terkejut sampai-sampai tanganku yang sedang membereskan isi tasku berhenti. "Kok tau!" Aku teriak, padahal Cahaya baru berjarak tiga meter dariku.
"Dua bulan yang lalu, aku lihat kamu pergi ke balai kota sama Ali lagi lihat pengumuman lomba memasak." Tanpa menjelaskan panjang lebar, Cahaya pergi sampai punggungnya sudah tak terlihat olehku.
Aku menggeleng tak percaya. "Kok aku enggak sadar kalau ada Cahaya?" batinku bingung.
Aku segera menepis pikiran itu. Sekarang aku harus mencari Ali. Aku cepat-cepat berdiri untuk mencari Ali. Namun, saat melihat dalam kelas satu orang pun sudah tidak ada. Batang hidung Ali tidak terlihat.
Aku mengernyitkan dahi. "Mana Ali? Sepertinya aku enggak lama, kok, ngobrol sama Cahaya?"
"Mas, Ali di mana?" tanyaku pada Dimas saat aku melihat Dimas yang akan berniat pulang.
"Loh, Ali udah pergi dari tadi. Pas tadi keluar kelas, dia langsung pergi gitu aja. Katanya, sih, dia mau bantu ibunya jaga warung."
Mataku melebar mendengar jawaban Dimas. Apakah Ali masih marah sama aku?
"O-oh, oke. Makasih, yaa." Dimas mengangguk dan pergi.
Bahuku jatuh lemas. Ali masih marah. Belum sempat bercerita, belum sempat meminta maaf, tapi dia sudah pergi.
"Ya sudah, deh. Daftar sendiri aja. Besok kalau menang, baru kasih tahu Ali." batinku meyakinkan.Perjalanan ke balai kota memerlukan waktu tiga puluh menit. Aku duduk di dalam taksi sendirian. Eh, sama pak supir maksudnya.
Aku memandangi jalanan dari jendela mobil. Siang ini sangat panas. Ac mobil tak terasa. Buktinya, keringat mulai muncul di kening dan punggungku. Gerah sekali. Sesekali aku menggerakkan kerahku untuk menghasilkan angin. Walaupun tak begitu kerasa, tapi bisa membuatku sedikit kehilangan gerah.
Banyak anak sekolah memenuhi jalanan. Dari SD, SMP, bahkan SMA. Memang lagi musim ujian kenaikan kelas. Jadi pantas kalau siang jam sebelas sudah mulai berpulangan.
Tak terasa, aku sudah di depan balai kota. Aku mendatangi tempat pengumuman dan di sana sudah ramai orang ingin mendaftar lomba memasak. Yang aku lihat, lebih banyak remaja atau wanita dewasa dibandingkan laki-laki dewasa dan remajanya. Atau mungkin, hanya aku yang anak-anak? Eh, aku belum baligh. Jadi, aku masih bisa dibilang anak-anak 'kan? Umurku juga masih empat belas tahun.
Empat belas tahun, mah, remaja, Ko. Menolak tua banget.
Kami mengantre untuk mendaftar. Aku sudah menyiapkan kartu pelajar sebab belum punya KTP.
Sekarang adalah giliranku. Setelah mengisi formulir pendaftaran tadi, aku beranjak pergi dari balai kota. Tak sedikit aku mengucapkan harapan saat mengisi formulir pendaftaran tadi. Perasaanku campur aduk. Tidak menyangka, aku sudah masuk ke fase ini.
"Ali, ayah, ibu, Rika, Emak, dan Cahaya. Makasih atas dukungan kalian. Dua hari lagi aku akan buktikan bahwa aku bisa. Li, maaf gue belum cerita. Tadinya, mau, tapi lo udah pergi. Semoga pas gue udah selesai lomba dan dapat juara, lo mau ketemu sama gue. Semoga," batinku berharap penuh.
Aku berdiri di pinggir jalan raya-menunggu taksi datang. Senja mulai muncul, tapi senyum bahagiaku tak hilang-hilang. Aku menghirul udara sore hari ini. Ah, rasanya segar sekali.
🧑🏻🍳🧑🏻🍳
.
.
.
.
.Alhamdulillah, bab 11 selesai dengan lancar. Malam Sabtu gini, lagi pada ngapain?
Ricko saking bahagianya sampai-sampai hirup udara jalan raya. Hhh, padahal banyak debu. Wkwk.
Buah apa yang paling kalian suka? Komen, dong. Aku nulis ini sambil makan buah pir. Kalau kata aku, lebih enak pir dari pada apel. Hehehe.
Atau ada yang enggak suka buah? 😭
🍐🍐🍐🍐🍐🍐🍐🍐🍐
Semoga suka!
Jangan lupa vote and comment.
⬇️🌟
KAMU SEDANG MEMBACA
Dapur Impianku
Short StoryRicko adalah anak orang kaya yang hobi memasak. Dia selalu menyempatkan untuk selalu belajar memasak, bahkan memasak untuk adiknya hampir tak pernah absen. Dia suka bereksperimen di dapur. Suatu hari, sang adik bertanya kenapa dia tidak ikut lomba m...