Semoga suka.
Ucap bismillah sebelum baca.
Happy reading!!
🧑🏻🍳🧑🏻🍳
Semangatku tak lagi sama seperti kemarin-kemarin. Api yang berkobar dalam mataku mulai menciut. Aku melipat tangan di pangkuan menatap kosong meja sekolah. Aku berangkat pagi sekali, lebih pagi dari biasanya.
Ayah dan ibu memenuhi isi kepalaku. Aku ingin menentang, tapi aku tak punya nyali. Aku ingin membuat ayahku bahagia dengan nilaiku. Ayah sedang sakit, dan nggak mungkin aku membuat ayah lebih terpuruk.
Selang tiga puluh menit, murid-murid mulai berdatangan. Namun, kepalaku tak beranjak dari meja. Aku melamun, tapi kepalaku tidak kosong. Berisi, sangat berisik. Aku diam, bukan berarti sedang tidak memikirkan apa-apa, tapi sedang memikirkan jawaban atas keresahanku.
“Ko, melamun aja. Awas loh, kesambet setan pagi-pagi gini.” Aku terkejut saat sebuah tangan menepuk pelan pundakku. Aku mendongak untuk melihat siapa yang berbicara. Oh, Ali. Ternyata dia sudah datang.
Aku tidak berniat menanggapi apa-apa hari ini. Mood-ku benar-benar jelek. Kuacuhkan Ali yang berada di sampingku. Ah, bukan Ali saja. Teman-temanku di kelas lebih tepatnya. Aku berniat kembali melamun.
Lagi-lagi perkataan Ali membuyarkan lamunanku. “Ko, kenapa, sih?! Gue ada berita penting, nih.” Aku menghela napas panjang. Kualihkan pandanganku penuh ke arah Ali.
Aku mengangkat sebelah alisku, “apa?”
Raut wajah Ali yang semula terlihat bingung, kini berubah menjadi kesedihan. Ali menggigit bibirnya sambil berkata, “Ko, gue baru aja dapat kabar kalau lomba memasaknya mundur tiga hari. Tepat di mana ujian terakhir kita. Kemarin gue mampir ke balai kota, terus nggak sengaja lihat pengumuman.”
Aku membulatkan mataku dengan sempurna. Mulutku menganga, ”Kenapa jadi begini?” batinku melirih.
Kalimat Ali terus terngiang di kepalaku. “Tepat di mana ujian terakhir kita.” Aku menggigit bibir bawahku dan mengacak rambutku frustrasi.
Argh!
“Ko, gue yakin lo bisa. Selama ini lo udah berlatih. Setelah ujian, kita bakal bareng-bareng ke sana. Gue bakal nemenin Lo. Soal waktu, itu bukan masalah bagi lo. Lo masih bisa ujian, habis itu kita berangkat,” ucap Ali meyakinkan.
Aku kembali menundukkan kepalaku. Setitik harapan itu mulai memudar. Ali yang melihatku tampak frustrasi pun bertanya. “Ko, cerita sama gue. Lo kenapa?”
Ku hembuskan napas panjang. “Li, asma ayah kambuh. Ayah dirawat inap di rumah sakit. Ibu sibuk ngurusin ayah. Rika cuman berdua sama gue. Ayah sama ibu udah percaya-in gue buat dapat nilai tinggi. G-gue... gue nggak bisa lanjutin ini lagi. G-gue harus fokus belajar. Gue nggak mau kecewa-in orang tua gue lagi. Gue mau berhenti latihan masak, dan fokus buat belajar,” ucapku tertatah. Aku menatap lantai kelas untuk menghindari kontak mata dengan Ali.
Ali menggeleng tak percaya. Dia bangkit dari duduknya. “Dan Lo baru cerita ke gue?” Ali mulai emosi.
Aku menggeleng tegas. “Ayah baru masuk rumah sakit kemarin, dan sekarang gue udah cerita sama Lo.”
Ali kembali menggeleng. Tak lama, kedua tangan Ali berada di atas kedua pundakku. Dia menatap wajahku serius. “Ko, Lo mau menyerah sebelum berperang? Bahkan gue yakin, lo masih bisa mendapatkan nilai tinggi pas ujian nanti. Ini langkah awal untuk menggapai cita-cita lo, Ko. Katanya mau menang lomba,” ucap Ali kembali meyakinkan. Aku merasa, Ali menahan emosinya. Terlihat dari tangannya dan sedikit kuat meremas pundakku.
Aku mendongak untuk menatap Ali. Namun, sebelum itu aku melihat sekitar. Anak-anak kelas mulai banyak dan beberapa orang ada di luar kelas.
Tanpa izin, air mataku mulai keluar. Tanganku terangkat untuk menyeka. “Gue nggak mau buat orang tua gue kecewa, Li. Gue memilih buat ikutin kemauan orang tua gue, asal mereka bahagia. Gue ngalah, dan berusaha buang cita-cita gue buat jadi koki, dan—
Belum selesai aku menjawab ucapan Ali, Ali langsung menyela. Dia melepas kedua tangannya dari pundakku. Sorot matanya penuh kecewa. Dia menghindari kontak mata denganku, dan Ali bergerak menjauh.
“Dan lo udah bikin gue kecewa, Ko. Jadi, sekarang Lo memutuskan buat berhenti dan nggak ikut lomba?”
Aku mengangguk, tapi patah-patah. Tak berani menatap wajah Ali yang terlihat tegas dan penuh kecewa padaku.
“Oke, kalau itu mau lo. Gue nggak bakal maksa lo buat ikut lomba. Ikuti semua keinginan orang tua lo, tanpa lo mikirin diri lo sendiri. Awalnya, gue yakin lo bisa lakuin keduanya, dan lakuin rencana awal buat buktikan ke orang tua lo, bahwa lo berhak jadi koki. Tapi, sepertinya dukungan gue nggak berguna. Semoga lo kuat, penuhi ekspektasi orang tua. Jangan buat mereka kecewa sama seperti lo buat gue kecewa.”
Setelah berucap panjang lebar, Ali pun menjauh dariku.
Ali membawa tasnya dan mendekati meja Dimas yang jauh dari mejaku. “Mas, mulai sekarang gue duduk sama Lo, ya. Biar si Cecep sama Ricko.”
Dimas yang bingung dengan sikap tiba-tiba Ali pun menatap ke arahku. Aku mengangguk pelan untuk Dimas mengiyakan Ali.
Aku tau, pasti mereka merasa hubungan antara aku dan Ali lagi tak baik-baik saja, makanya mereka tidak bertanya apa-apa.
Aku menghela napas lelah. Bukan ini mauku, tapi hatiku berkata lain. Semoga Ali cepat mengerti dan memaafkanku. Biarlah dia di sana. Sekarang, aku harus fokus belajar dan dapatkan nilai tinggi itu.
”Maaf, Li, tapi gue buntu. Nggak ada yg bisa gue lakuin.”
**
Sudah dua hari aku diam-diaman sama Ali. Tak tegur sapa. Jangankan sapa, Ali melihat wajahku pun enggan. Aku tersenyum kecut. Kehilangan sahabat ternyata sakit juga.
Aku beranjak keluar kelas. Senyum tipis tercetak di wajahku ketika Ali melewati ku tanpa menegur. Ingin sekali aku meminta maaf. Tapi, aku malu.
Aku berniat pergi les sepulang sekolah. Setelah les, aku akan pulang sebentar untuk berganti baju dan mengajak Rika---adikku untuk pergi ke rumah sakit. Menjenguk ayah.
Seperti itulah kegiatanku akhir-akhir ini. Sekolah-les-rumah sakit, sampai tak terasa, ternyata beberapa hari lagi lomba memasak akan dilaksanakan.🧑🏻🍳🧑🏻🍳
Ucap alhamdulilah setelah baca bab ini.
Makasih yang sudah membaca.
Terima kritik dan saran, yaaa.
Jangan lupa vote and comment!
⬇️🌟
KAMU SEDANG MEMBACA
Dapur Impianku
Short StoryRicko adalah anak orang kaya yang hobi memasak. Dia selalu menyempatkan untuk selalu belajar memasak, bahkan memasak untuk adiknya hampir tak pernah absen. Dia suka bereksperimen di dapur. Suatu hari, sang adik bertanya kenapa dia tidak ikut lomba m...