BAB 6

9 3 4
                                    

Assalamualaikum, semua. Hehe, maaf up-nya malam.

Tandai kalau ada typo.

Ucap bismillah sebelum baca.

Happy reading!!

🧑🏻‍🍳🧑🏻‍🍳

Keesokkan harinya, sepulang sekolah, seperti biasa aku pergi ke rumah Ali untuk berlatih memasak. Lagi-lagi aku membolos les. Padahal sebulan lagi ujian. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali Ali dan Emak menasehati ku untuk pergi les. Namun, aku tetap menolak dengan alasan semua akan baik-baik saja. Mereka pun akhirnya pasrah dan menaruh kepercayaan padaku bahwa aku harus tetap menjaga nilai akademikku, dan aku mengangguk yakin.

Cuaca yang sangat panas siang hari ini, tak melunturkan semangatku untuk berlatih. Aku duduk di bangku belakang sepeda Ali, sedangkan dia sedang memboncengiku. Sepeda berwarna biru dengan keranjang di depannya adalah sepeda kesayangannya Ali. Katanya, itu adalah hadiah dari orang tuanya saat Ali mendapatkan juara satu lomba melukis se-kabupaten saat kelas 1 SMP lalu.

Ali sangat menjaga sepedanya. Buktinya, sudah hampir dua tahun terpakai sepedanya masih terlihat seperti baru, walaupun ada karat di bagian-bagian tertentu, namun tidak menutupi bahwa sepeda Ali masih bagus.

Saat berada di depan rumah Ali, aku menyapa Emak. "Mak, assalamualaikum," sapaku sambil aku turun dari sepeda Ali.

Emak yang melihatku dan Aku baru pulang sekolah pun menghampiri. "Wa'alaikumussalam warahmatullaahi wabarokatuh. Mau latihan masak lagi?" tanya Emak padaku. Sedangkan Ali sedang memarkirkan sepedanya di samping rumah.

"Iya, Mak," jawabku sambil mencium tangan Emak.

"Ya sudah, sana. Jangan lupa makan siang dulu. Tadi Emak udah masak. Li, ajak Ricko makan dulu." Mendengar pesan Emak, Ali pun membawaku ke dalam rumah.

**

"Mau masak apa lagi kali ini? Nemu resep baru lagi dari majalah? Atau dari acara masak-memasak di TV?" tanya Ali sesudah kami menyelesaikan makan siang. Aku yang sedang duduk di hadapannya pun menatap wajah Ali yang sedang mengangkat alisnya.

"Gue mau masak makanan ringan aja, deh. Kebetulan kemarin di acara masak-memasak, gue dapat resep baru," ucapku padanya. Kuteguk air mineral di gelas dan setelahnya aku beranjak berdiri. Sebelum memasak, aku memaki apron terlebih dahulu. Sebab aku tak bawa baju ganti, maka apron bisa melindungiku dari noda-noda perang saat memasak dari  seragam sekolahku.

"Apaan, tuh?" Ali yang masih duduk di meja makan, sepertinya tak berniat berdiri untuk mengganti seragam sekolahnya.

"Entar juga tau. Ganti baju dulu, sana. Bau, Lo!" Aku menatap Ali dengan geli saat Ali yang melotot tak percaya dengan kata-kataku.

"Enak aja, Lo. Lo juga bau!"

"Yaahaha." Aku tertawa pelan dan Ali yang langsung beranjak ke dalam kamar untuk mengganti pakaiannya.

**

Sudah tiga puluh menit berlalu dan aku sudah menyelesaikan masakkanku. Sepiring bola-bola cokelat sudah tersaji apik di atas meja makan. Aku melepas apronku dan pergi memanggil Ali di kamarnya.

"Li, udah jadi, tuh. Cobain, deh." Ali mengangguk pelan dan meninggalkan sketsa gambarnya.

Ali memang pandai sekali menggambar. Katanya, cita-citanya adalah seorang artis. Tak mungkin aku tak mendukung cita-citanya karena itu sangat luar biasa. Seseorang yang bisa melukiskan dan menggambar dengan ke-estetikan apalagi penuh realistis. Sejauh ini, Ali lebih suka menggambar pemandangan, seperti gunung, laut, hutan, dan lain-lain daripada manusia.

Dapur Impianku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang