Bab 3 : Ternyata Dia di sini

48 5 2
                                    

Halim berdoa dengan khusyuk sekali. Setelah selesai, Halim bergegas keluar tanpa tahu ada orang yang membuat dia penasaran kemarin tengah sholat juga di mushola itu.

Medina dan Nona pergi ke lapangan. Mereka disambut antusias oleh adik-adik junior yang sedang istirahat dari latihan.

Ibra-senior Medina dan Nona, mendatangi mereka. Mereka bertiga bersalaman ala anak organisasi di sekolah itu.

“Sudah selesai PKL-nya, Dek?” Ibra bertanya pada dua gadis itu, tapi matanya malah hanya menatap Medina dengan damba.

“Belum, Kak! Besok selesai,” jawab Nona.

Padahal yang Ibra harap itu, Medina yang menjawab. Tapi mau gimana lagi, Medina memang begitu orangnya. Susah untuk menaklukkan hatinya.

Ibra bahkan sedang bersaing dengan 3 orang senior Medina lainnya di organisasi paskibra ini. Mereka semua diam-diam mencoba mengambil hati Medina.

“Oh iya, Kak. Gimana latihan Adek-adek ini?” Medina membuka suaranya.

Ibra tersenyum. “Ya, gitulah, Dek! Baru berapa minggu, mana mungkin mereka langsung bisa.”

Medina tersenyum simpul, lalu mengalihkan pandangannya pada Adik-adik juniornya. Di sana ada Nona. Ternyata dia sudah menghampiri mereka duluan.

“Kak, aku ke sana dulu, ya?”

“Ah, iya, Dek.”

Ibra tersenyum-senyum melihat Medina yang berjalan melewatinya dengan penuh power.

Ibra mengusap tengkuknya. “Ahh, wanita tangguhku.”

.......*****......

Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul 13:30 wib. Halim yang telah selesai mengajar, langsung saja pergi ke mushola untuk sholat dzuhur.

Di sana, lagi-lagi dia dan Medina ada di dalam satu ruangan yang sama. Tapi yang namanya Halim, dia tidak akan peduli, kalau seseorang itu tidak terlalu penting baginya. Bahkan melirik orang saja dia rasanya malas.

Sholat dzuhur pun akhirnya dia selesaikan dengan rasa syukur. Halim kembali ke ruang guru untuk makan siang. Pukul 15:00 nanti dia akan masuk ke kelas sore. Sambil menunggu masuk, mungkin dia akan berehat sejenak nanti.

“Pak Halim? Lagi makan, ya?”

Halim yang masih baru saja membaca basmalah, langsung mendongak. Ternyata ada Bu Sinta yang sedang tersenyum genit padanya.

Halim menganggukkan kepala dan tersenyum tipis. Yang bahkan senyumnya tidak bisa terlihat.

“Ini, saya mau tawarin sayur yang saya masak sendiri di rumah, Pak. Ayo, silakan.”

Haduh!’

“Terima kasih, Bu. Saya sudah bawa sendiri dari rumah,” tolak Halim dengan halus.

“Oh gitu? Ya sudah, deh. Selamat makan ya, Pak Halim?”

Bu Sinta melenggang pergi. Sepertinya tidak ada nada kecewa dari bicaranya. Halim menghembuskan nafas lega.

Sudah 3 bulan, semenjak kepindahannya di sini, dia selalu ditawarkan makanan oleh Bu Sinta. Belum lagi ada Rania dan guru-guru perempuan yang berstatus jomblo begitu serius memperhatikan dia yang sedang makan. Haduh.

Besok-besok, aku makan di kantin aja.’

Setengah jam sebelum masuk kelas, Halim memilih untuk duduk di bawah pohon dekat aula para guru. Di sana ada bangku panjang yang terbuat dari beton dan dilapisi keramik.

Biasanya, jam segini dia akan duduk sejenak sambil melihat anak-anak latihan baris berbaris.

Dia juga tak lupa sambil menanyakan kabar orang tua dan Adik perempuannya melalui WhatsApp.

My Murid My Jodoh Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang