2 hari sudah Halim tidak melihat lagi kehadiran gadis itu di sekolah. Entah kenapa, sesak di dadanya semakin terasa saja. Aneh memang. Kenapa dia harus merasakan hal itu. Sedangkan, dia dan gadis itu belum saling kenal.
Jumat sore, Halim baru saja selesai kuliah. Halim tidak langsung pulang ke rumah, niatnya dia akan ke rumah temannya untuk latihan band. Halim jadi gitaris, karena dari kecil dia sudah pintar memainkan alat musik itu.
Halim dan teman-temannya sudah mulai sering latihan dan tampil sejak mereka kuliah dulu.
“Assalammu’alaikum,” ucapnya langsung masuk ke garasi rumah temannya yang sudah disulap seperti dapur rekaman.
“Wa’alaikumsalam. Udah lama gak mampir, Lim?” tanya Bagas sebelum menghisap kuat rokoknya.
Halim meletakkan tas ranselnya di sofa. Dia tersenyum singkat lalu melangkah untuk mengambil gitarnya dan mulai memetik senarnya pelan.
Reno sang empunya rumah masuk dengan membawa beberapa soft drink kaleng di atas nampan dan meletakkannya ke atas meja.
“Gimana mau mampir? Halim 'kan sibuk sekarang jadi PNS! Mana lanjut S2 lagi!” celetuk Reno.
“Wkwk! Iya, gue lupa! Enakan jadi gue emang, buka bengkel sendiri. Mau kabur juga, masih ada anggota.”
Reno memasang wajah mengejek mendengar ucapan Bagas-yang kadang kalau ngomong sombongnya melebihi gedung pencakar langit.
Halim hanya terkekeh. Dia menoleh pada Reno. “Elu dah pulang, Ren? Gak ada ekskul? Biasanya lu ekskul, kan?”
“Sudah. Besok sih jadwalnya. Apalagi yang bisa gue lakuin sebagai Guru horor di sekolah, kalau gak cari tambahan untuk ngelamar anak orang.”
“Honor, Ren! Honor!” celetuk Bagas.
Reno mencebik. “Suka hati gue! Etdaah! Masih mending gue sama Halim masih jalan lurus. Pendidikan guru ya jadi Guru. Lah elu!”
“Preeeetlah!” Bagas memasang wajah masam sambil menekan puntung rokoknya ke asbak.
Halim terkekeh lagi. Diantara mereka bertiga, Cuma dia yang paling jarang bicara. Kalau ada hal lucu yang dibuat kedua temannya, dia hanya ikut tertawa tanpa ikut menimpali.
“Yuk, kita mulai aja. Takut keburu maghrib.” Halim mengalungkan tali gitar itu. Dia mulai memetik lagi senarnya hingga terdengar melodi yang indah.
“Siap, Pak Ustadz,” ucap Bagas dan Reno sambil terkekeh.
“Ren, Renooo!” teriakan melengking seorang wanita samar-samar terdengar.
“Lim, Lim. Berhenti bentar.” Reno menyentuh lengan Halim.
Halim langsung menghentikan kegiatannya. “Ada apa, Ren?”
“Lu gak denger suara Nyai Kun?”
Halim mengernyit. “Nyai Kun? Nyai Kun itu apa?”
“Nyai Kunti,” jawab Reno enteng tanpa dosa.
Halim langsung berdecak. “Astaghfirullah, Reno!”
Bagas mendekat dan memukul pelan kepala Reno. “Bangsat! Itu kan Mama elu!”
Reno melotot pada Bagas dan mengusap kepalanya. “Sialan, lu!”
“Ren, Renooo!”
Suara itu semakin mendekat. Tak lama muncul seorang wanita paruh baya di depan pintu. Wanita itu nyelonong masuk-membawa sepiring pisang goreng panas dan meletakkannya ke atas meja.
“Ren, lu gak denger gue panggilin?”
Reno meringis. “Maaf, Ma. Halim tadi main gitar, jadinya Reno gak denger.”
KAMU SEDANG MEMBACA
My Murid My Jodoh
RomanceCinta datang tanpa diundang. Cinta hadir tanpa diminta. Mungkin begitu yang dirasakan oleh Halim saat hatinya mulai menyukai dan mencintai Medina-gadis yang notabene adalah muridnya di sekolah tempat dia mengajar. Halim merasakan sesuatu yang begitu...