Bab 9

39 3 1
                                    

Semenjak Halim memesan tempenya kemarin. Entah kenapa jantung Medina masih setia untuk berdebar-debar. Sampai-sampai dia lupa bertanya pada Halim ingin pesan berapa tempe, karena dia sudah langsung kabur saja saat itu.

"Aduh! Kenapa jantung gue jadi gak nyaman begini?"

Medina jadi senyum-senyum sendiri saat mengingat Halim malah memanggil dirinya dengan sebutan 'Abang' dari pada 'Bapak'. Astaga!

Pagi ini, saat jam istirahat sekolah, Medina pergi ke sekolah. Dia akan mengantarkan pesanan brownies 3 orang kakak kelas dan 2 orang gurunya. Tak lupa dia juga membawa 5 papan tempe untuk Halim. Biar sekalian antar saja, begitu pikirnya.

Setelah selesai mengantarkan pesanan, sekarang dia mencari keberadaan Halim, tapi Halim malah tidak kelihatan sama sekali.

"Apa Pak Halim gak masuk hari ini, ya?"

Medina memutuskan untuk bertanya pada guru piket yang ruangan di dekat gerbang sekolah.

"Assalammu'alaikum, Pak Rahman."

Pak Rahman-guru fisika yang sedang menulis sesuatu di buku besar, sontak mendongak dan tersenyum.

"Eh, wa'alaikumsalam. Ada apa, Medina? Kenapa pagi-pagi sudah di sini? Bukannya kamu masuk siang?"

"Egh, iya, Pak. Medi ke sini ngantar pesanan. Oh iya, Pak. Pak Halim gak masuk ya, Pak?"

"Ternyata Pak Halim terkenal banget semenjak masuk sekolah ini, ya?"

Medina mengernyit dan tidak paham maksud ucapan Pak Rahman. "Egh, maaf, Pak?"

Pak Rahman tertawa sembari membenarkan kaca matanya. "Hari ini, sudah hampir separuh siswi di sekolah yang nanya Pak Halim datang atau tidak."

Medina tersenyum kecil. "Tapi Medi tanya karena mau ngantar pesanan Pak Halim, Pak."

Medina langsung menjelaskan, dari pada Pak Rahman juga berpikiran yang aneh-aneh padanya.

"Oohh, gitu ternyata. Pak Halim tidak ada jadwal hari ini, Me. Besok dia baru masuk."

Medina tersenyum tipis lalu mengangguk. "Baik, Pak. Terima kasih ya, Pak?"

Medina berjalan menuju parkiran, di mana sepedanya terparkir.

Dia bingung. Ini tempe mau di kemanakan. Mau diantar ke rumah Halim, dia tidak tahu di mana rumahnya. Hem. Kan tidak mungkin nanya alamat rumah Halim sama Mamanya Reno.

Tring!

Bunyi pesan masuk. Medina segera merogoh kantung hoodie-nya. Dia selalu semangat setiap ada bunyi pesan masuk. Berharap ada orang yang ingin order brownies padanya.

Medina menaikkan kedua alisnya, saat terpampang pesan dengan nama kontak 'Pak Halim' di layar pop-up.

Medina menekan layarnya dengan perasaan tak karuan. Jantungnya mulai berdebar-debar lagi.

Pak Halim : [Assalamualaikum, Dek.]

"Eh? Pak Halim nge-wa cuma untuk ngucap salam? Apa gue se-cute itu, makanya tetap dipanggil Adek? Haha, Baiklah! Gue balas!"

Anda : [Wa'alaikumsalam.]

Pesan Medina langsung dibaca. Dan Halim langsung mengetik.

Pak Halim :[Dek, tempenya jadi diantar?]

Anda : [Ini Medi di sekolah. Kirain Bapak ada di sekolah. Mau antar ke rumah, Medi gak tahu di mana rumah Bapak.]

Pak Halim : [Tunggu di simpang sekolah, ya? Abang ke sana.]

My Murid My Jodoh Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang