Bab 10

34 3 0
                                    

Para siswi yang sedang berjalan dari simpang menuju sekolah, mendadak berhenti dan terbengong-ketika motor Halim melewati mereka.

"Astaga! Omaygat! Pak Halim keren bingits!"

"Pak Halim! Bonceng akoh, Pak!"

"Pak Halim! My beibeh!"

"Kayaknya beruntung banget ya cewek yang bisa dibonceng Pak Halim naik motor keren begitu?"

"Pastinya, dong! Yuk, kita berdoa! Semoga suatu hari nanti kita beruntung bisa dibonceng Pak Halim."

"Amiiin."

"Tapi gue maunya 'sih, jangan dibonceng aja."

"Lah, jadi elu maunya apa, ege?"

"Gue pengen jadi Istrinya aja kalau bisa. Hihi."

"Uuuuuuhhh.."

.....***....

Halim memarkirkan motornya di parkiran para guru. Dia lantas membuka helm, lalu menyisir rambutnya dengan jari. Setelah merasa rambutnya sudah rapi, Halim baru turun dari motornya.

Baru saja ingin melangkah, tapi langkahnya langsung terhenti-saat para siswi sedang bengong memandanginya dengan jarak beberapa langkah saja.

"Kalian ngapain?"

Mereka nyengir berjamaah karena ketahuan-sedari masuk gerbang sudah membuntuti Halim hingga ke parkiran.

Jujurly. Melihat Halim membuka helm dan menyisir rambutnya dengan jari itu benar-benar sangat ber-damage di mata mereka. Omaygat! Adegan itu seakan-akan berbentuk slow motion yang terekam cantik di otak mereka.

"Pak Halim ganteng banget!"

Bla, bla, bla. Ungkapan kekaguman mulai digaungkan lagi oleh para siswi. Hal itu tak berlangsung lama, karena Pak Dika yang sedang piket langsung mengusir mereka untuk pergi dari sana.

"Eh, eh! Masuk sana! Syuh! Syuh! Kalian ini! Gak pernah lihat orang ganteng, ya? Nih! Nih! Bapak lebih ganteng dari Pak Halim. Besok lihatin Bapak aja! Ambil foto sekalian!"

"Ah elah, Pak!"

"Uuhhh.."

Gerombolan siswi itu pergi dari sana dengan bibir mencebik.

Halim geleng-geleng kepala dan beristighfar melihat tingkah mereka.

"Duh, maaf Pak Dika. Saya jadi gak enak."

Pak Dika nyengir. Dia menelisik penampilan Halim dari atas hingga bawah. Memang tampan, astaga. Dia yang seorang pria saja mengakui ketampanan Halim. Pantas saja para siswi betina tergila-gila sama Halim.

"Biasa aja, Pak. Lain kali, kalau mereka sudah kelewatan begitu, marahin aja."

Halim tersenyum tipis. "Baik, Pak. Saya kadang sudah masang wajah marah. Tapi mereka malah bilang saya cute. Gak ngerti saya dengan anak sekarang."

Pak Dika tergelak. "Ya sudah, sabar-sabar menghadapi mereka, Pak Halim. Saya permisi dulu, ya?"

"Ah, Iya, Pak."

Pak Dika pergi dari sana menuju gerbang. Halim menggaruk kepalanya yang tak gatal. Merasa segan sebenarnya dia. Karena kalau anak-anak itu sudah 'kumat' bisa menimbulkan keributan.

Halim menarik nafas lalu menghembusnya perlahan. Dia hendak pergi dari sana, tapi matanya melirik sesuatu yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Seketika senyumnya langsung terbit begitu saja.

Medina yang baru saja memarkirkan sepedanya, mengejar Nona yang sudah berjalan duluan. Gadis itu langsung menggamit lengan Nona sambil tertawa.

Pemandangan itu benar-benar manis sekali di mata Halim. Percaya atau tidak, melihat Medina di sekolah-membuat dia bersemangat untuk mengajar satu harian ini.

My Murid My Jodoh Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang