Suara pecahan kaca dan benda-benda terdengar memekakkan telinga. Ruangan terang benderang itu nampak kacau. Segala macam benda yang awalnya berada di atas nakas kini telah hancur di atas lantai marmer.
"ARGHHH!" Teriakan tersebut diiringi pecahan benda lain. Perempuan yang tubuhnya hanya terlilit handuk menutupi bagian tubuhnya yang dianggap penting terus menjatuhkan semua barang yang dia lihat, berusaha meluapkan amarah yang mengendap di dalam dadanya. Selain bercak merah pekat, kulitnya juga memerah samar akibat digosok sangat kuat saat mandi. "SIALAN! KALIAN SEMUA BRENGSEK!"
Gedoran pintu terdengar kencang, diiringi permohonan wanita paruh baya di balik pintu dengan kata-kata penenang.
Tapi hal itu tidak berhasil. Diana mencengkram rambutnya, kemarahan hingga rasa frustrasi melintasi matanya. "Gak, gak. Seharusnya Anaya yang berada di sana... benar, ini salahnya dia!"
Diana gemetar. Dia mengusap lengannya. Bayangan semalam melintasi benaknya. Saat menunduk melihat betapa banyak bekas merah di kulitnya, pupil matanya gemetar. Air mengalir dari sudut matanya. "Ini bukan salah gue... Itu salah mereka! Benar. Berto... Dirga... Anaya... Itu salah mereka!"
"Diana, buka pintunya, sayang."
Suara dari balik pintu membuat perhatian Diana teralihkan. Dia melirik pintu yang tertutup rapat, ekspresi kekejaman melintasi matanya. "DIAM! PERGI! KALIAN SEMUA PERGI!"
Teriakan terus dilayangkan Diana, membuat wanita di balik pintu begitu ketakutan namun di sisi lain kekhawatiran akan kondisi sang putri sangat kuat. Setelah bunyi dari balik pintu menghilang, tubuh Diana kembali gemetar hebat. Dia memeluk dirinya sendiri, kuku-kukunya sampai menancap ke kulitnya, hingga menimbulkan warna merah yang pekat di kulit putihnya.
Kesunyian yang tiba-tiba begitu menakutkan. Diana menggigit bibir bawahnya hingga berdarah, matanya secara liar melirik sekitar dengan antisipasi.
Ponsel di atas kasur bergetar dan layarnya yang gelap menyala, menunjukkan sebuah panggilan masuk. Tubuh Diana menegang, perlahan mendekati kasur dan meraih benda pipih itu. Melihat siapa yang menelpon, dia bergegas menerima panggilan tersebut, tanpa berbasa-basi langsung menyerukan rutukan.
"SIAL! PENGKHIANAT! LO BRENGSEK BERTO!"
Hening di seberang ponsel.
"Kenapa gak jawab? Anaya bayar lo pakai apa? Pakai tubuh? Iya? Sampai kalian semua bertekuk lutut sama cewek miskin itu?" Diana mencengkram ponselnya erat, giginya bergemeletuk saking kuatnya dia menggertakkan gigi. Teringat sesuatu, matanya menjadi cerah dengan tawa tanpa nada humor keluar dari mulutnya. "Oh iya, gue lupa. Bokap lo baru nikah sama cewek miskin, kan? Gak heran, sih. Cewek miskin jaman sekarang pinter taklukan hati pria kaya. Your mom is pitiful."
Sama sekali tidak ditanggapi oleh orang diujung telepon selama Diana mencaci-maki. Setelah sekian lama, saat Diana menarik napas, dalam keheningan tersebut, suara berat Berto mengalun. Sangat singkat.
"Lihat chat gue."
Hanya tiga kata. Setelah itu panggilan terputus. Tubuh Diana luruh ke lantai. Lengannya bersandar di pinggir kasur sebagai penopang tubuhnya. Tawa gusar keluar dari mulutnya, dengan air mata mengalir.
"Diem, kan, lo? Lo salah cari lawan. Seharusnya lawan lo cewek itu, yang gak pantes ada di lingkungan kita...." Gumam Diana dengan tawa sumbang, kemudian teralihkan saat benda pipih di tangannya bergetar oleh notifikasi masuk.
Jarinya kaku saat menekan notifikasi. Sebuah video berdurasi satu menit muncul. Tanpa dibuka, yang bisa Diana lihat hanyalah kegelapan. Dia menekan video itu, hingga layar ponselnya penuh oleh tampilan gelap. Namun nyatanya kegelapan tersebut hanya sampul sebab dipertengahan video, kondisi ruangan di dalam video itu terlihat jelas, diiringi suara-suara yang membuat darah Diana mendidih seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Take My Eyes Off You
RomanceKejadian aneh menimpa Aya. Hidupnya yang damai perlahan mulai berubah dengan kebingungan menyertai. Namun semua itu tak luput dari kehadiran seorang pria, Gara. Kehadiran tanpa absen Gara bukan hanya memberi kenyamanan untuk Aya, namun juga kebingun...