Bab 1

43 11 3
                                    

Baca doank vote kaga.

Langit yang abu-abu tanpa matahari menjadi saksi bisu atas perjalanan Haechan. Jalanan yang dulu dipenuhi keramaian kini kosong dan sunyi, hanya tersisa puing-puing yang menjadi saksi bisu kehancuran dunia. Haechan melangkah hati-hati, menghindari pecahan kaca dan reruntuhan yang berserakan di jalan. Ia tahu, suara sekecil apapun bisa menarik perhatian zombie yang berkeliaran.

Dua bulan sudah ia bertahan sendirian, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Terkadang ia bertemu dengan penyintas lain, tetapi kebanyakan dari mereka lebih memilih mengabaikan atau bahkan menyerangnya. Haechan belajar cepat bahwa dalam dunia yang telah berubah menjadi mimpi buruk ini, tidak ada yang bisa dipercaya selain dirinya sendiri.

Haechan mengingat kembali masa-masa di zona aman. Ia pernah berpikir tempat itu akan menjadi perlindungan terakhirnya, tempat di mana ia bisa merasa aman. Namun, kenyataan berbicara lain. Suatu hari, ia melihat seorang anak kecil menangis karena tidak mendapatkan makanan. Ibunya memohon pada tentara yang berjaga, tetapi mereka hanya bisa mengangkat bahu dan menyuruhnya untuk mencari di tempat lain. Haechan merasa ngeri melihat keputusasaan di mata mereka. Dia tahu, dia harus pergi sebelum dirinya terjebak dalam situasi yang sama. Jadi, dengan tekad kuat, ia meninggalkan zona aman di tengah malam, berbekal sedikit makanan dan air yang berhasil ia curi.

Banyaknya manusia yang mencari perlindungan membuat persediaan makanan cepat habis. Tidak ada air bersih yang cukup, dan tempat tidur pun tidak cukup untuk semua orang. Haechan melihat sendiri bagaimana orang-orang saling berebut, bahkan mengkhianati satu sama lain demi bertahan hidup.

"Tidak ada yang bisa diandalkan selain diriku sendiri," bisik Haechan pada dirinya sendiri, menguatkan hatinya.

Hari itu, Haechan memutuskan untuk meninggalkan gedung bekas supermarket yang telah menjadi tempat berlindungnya selama beberapa hari terakhir. Ia mengemas persediaan makanan yang tersisa ke dalam tasnya dan memeriksa senjata daruratnya—sebuah pisau dapur yang ia temukan di salah satu rumah kosong. Dengan senjata itu, ia merasa sedikit lebih aman meskipun tahu itu tidak cukup untuk melawan segerombolan zombie.

Langkahnya membawanya ke jalan utama yang dipenuhi kendaraan-kendaraan yang ditinggalkan. Haechan berjalan perlahan, matanya selalu waspada mengamati setiap sudut. Di kejauhan, ia melihat bayangan beberapa zombie yang berkeliaran. Ia berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam, dan mencari jalan memutar untuk menghindari mereka.

Saat berusaha menghindari zombie-zombie itu, Haechan mendengar suara gemerisik dari belakang sebuah mobil yang terbalik. Jantungnya berdegup kencang, tangannya meraih erat pisau dapurnya. Ia mengintip perlahan, berharap itu hanya angin yang membuat suara.

Namun, alih-alih zombie, yang muncul adalah sosok seorang pria dewasa, dengan pakaian lusuh dan wajah yang penuh debu. Pria itu juga memegang senjata—sebuah batang besi yang terlihat telah sering digunakan. Mereka saling menatap sejenak, ketegangan terasa di udara.

"Hai, jangan khawatir. Aku bukan musuh," kata pria itu dengan suara tenang, tetapi mata waspadanya tidak meninggalkan Haechan.

Haechan tetap diam, tidak yakin apakah bisa mempercayai pria yang terlihat preman ini. Ia mengingat semua pengkhianatan yang ia alami, dan hatinya dipenuhi keraguan.

"Aku hanya mencari tempat aman, sama sepertimu," lanjut pria itu. "Namaku johnny. Aku sendirian."

Haechan masih ragu, tetapi melihat kelelahan dan ketulusan di mata johnny, ia sedikit melonggarkan cengkeramannya pada pisau dapurnya. "Haechan," katanya singkat, memperkenalkan diri.

johnny mengangguk. "Kita harus terus bergerak. Tempat ini tidak aman."

Mereka mulai berjalan bersama, masih dengan kewaspadaan tinggi. Haechan merasa campuran antara ketakutan dan kelegaan. Ini adalah pertama kalinya ia berjalan bersama orang lain setelah sekian lama sendirian. Ia tahu, dalam dunia yang hancur ini, kepercayaan adalah barang langka. Namun, untuk kali ini, ia memutuskan untuk mengambil risiko.

"Di mana kau tinggal sebelumnya?" tanya johnny, berusaha membuka percakapan.

"Zona aman, tapi aku keluar. Terlalu banyak orang, dan tidak cukup makanan," jawab Haechan singkat.

johnny mengangguk, seolah memahami sepenuhnya. "Aku juga pernah di sana. Keadaan benar-benar kacau. Kita lebih baik sendiri."

Dalam keheningan yang diisi dengan langkah kaki mereka dan suara angin, Haechan merasa sedikit lebih tenang. Mungkin, di tengah kehancuran ini, ia masih bisa menemukan sekutu.

Setelah beberapa jam berjalan, mereka tiba di sebuah gedung apartemen yang tampaknya telah lama ditinggalkan. Pintu masuknya terbuka lebar, dan lorong-lorong gelapnya memberikan kesan suram. johnny memimpin jalan, menyuruh Haechan tetap waspada. Mereka naik ke lantai dua, memeriksa setiap pintu yang mereka lewati.

"Kita harus mencari tempat yang bisa dikunci dari dalam," kata johnny sambil memeriksa salah satu kamar.

Haechan mengangguk, mengikuti langkah johnny dengan hati-hati. Mereka menemukan sebuah apartemen yang tampaknya masih dalam kondisi cukup baik. johnny mengunci pintu dan menempatkan beberapa furnitur di depan pintu untuk menghalangi jika ada yang mencoba masuk.

Setelah memastikan tempat itu aman, mereka duduk di ruang tamu yang berdebu. Haechan merogoh tasnya, mengeluarkan beberapa makanan kaleng yang ia temukan sebelumnya. Haechan menawarkan makanannya kepada johnny dalam diam dan johnny segera mengambilnya.

"Terima kasih, Haechan," ujarnya dengan suara serak, matanya penuh kelelahan namun berterima kasih.

Haechan hanya mengangguk, tersenyum tipis. "Sama-sama, Johnny."

Mereka makan dalam diam, menikmati setiap gigitan dengan penuh kesadaran bahwa makanan adalah barang mewah di dunia yang hancur ini.

"Sebelum semua ini terjadi, apa yang kau lakukan?" tanya johnny setelah beberapa saat, memecah keheningan.

"Saat itu, Aku masih di sekolah," jawab Haechan sambil mengingat masa lalunya yang tampak begitu jauh. "Aku tinggal bersama kakakku. Dia selalu melindungiku. Tapi... saat kejadian itu dia tidak berhasil kembali."

johnny menatap Haechan dengan penuh pengertian. "Aku juga kehilangan keluargaku. Kiamat ini merenggut segalanya dari kita. Tapi kita harus tetap kuat."

Haechan mengangguk, merasakan kehangatan yang aneh dari kata-kata johnny. Meskipun baru mengenalnya, Haechan merasa ada semacam ikatan yang terjalin di antara mereka. Sebuah perasaan bahwa mereka berdua adalah penyintas yang mencoba mencari jalan di tengah kekacauan ini.

Saat malam tiba, Haechan berbaring di sofa yang usang, mencoba tidur meskipun suara angin di luar dan bayangan gelap di sekitar mereka mengganggunya. Ia menatap langit-langit yang retak, membayangkan masa depan yang lebih cerah, meskipun harapan itu terasa jauh dan sulit diraih.

Di sampingnya, johnny sudah tertidur, napasnya teratur. Haechan merasa sedikit lebih tenang dengan kehadirannya. 

Keesokan paginya, mereka berdua bangun. Setelah sarapan cepat dengan sisa makanan yang ada, mereka bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Haechan merasa sedikit lebih kuat dengan johnny di sisinya. Mungkin mereka bisa menemukan tempat yang lebih aman bersama-sama.

"Ke mana kita akan pergi?" tanya Haechan saat mereka keluar dari gedung apartemen.

"Ada rumor tentang sebuah komunitas di pinggiran kota ini. Mereka bilang tempat itu lebih aman, dengan persediaan yang cukup," jawab johnny. sambil mempersiapkan alat yang di butuhkan.

Dengan langkah mantap, mereka melanjutkan perjalanan menatap dan sekeliling dengan hati-hati, menelusuri jalan-jalan yang hancur dan bangunan yang runtuh. Di tengah dunia yang kacau ini.

Haechan tidak lagi sendirian. Bersama johnny, ia merasa sedikit lebih kuat dan tenang. 

tbc. 

Surviving the ApocalypseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang