Bab 3

31 10 0
                                    

Baca doank vote kaga.

Meskipun kondisinya semakin membaik, Johnny tidak ingin mengambil risiko kembali melakukan perjalanan selama Haechan masih dalam masa penyembuhan.

Selama seminggu, Johnny dan Haechan tinggal di toko kelontong tersebut. Johnny memastikan Haechan mendapatkan istirahat yang cukup dan makanan yang bergizi agar cepat pulih.

Hari-hari berlalu dengan cepat. Haechan dan Johnny semakin dekat, menghabiskan waktu dengan berbincang tentang masa lalu dan harapan mereka untuk masa depan. Mereka menemukan kenyamanan dalam kebersamaan, merasakan bahwa dalam dunia yang penuh kehancuran ini, memiliki seseorang untuk dipercaya adalah anugerah yang berharga.

"Jadi, kau hampir lulus kuliah?" tanya Haechan suatu malam, ketika mereka duduk di lantai toko kelontong, menghangatkan diri di dekat api kecil yang mereka buat.

"Ya, hampir. Aku belajar teknik sipil. Aku selalu ingin membangun sesuatu yang berarti," jawab Johnny sambil tersenyum pahit. "Dan kau? kau hampir lulus SMA?."

Haechan mengangguk. "Iya, aku ingin kuliah dan mungkin jadi dokter. Tapi sekarang, aku hanya berharap bisa bertahan hidup."

Johnny menatap Haechan dengan penuh pengertian. "Kita semua punya mimpi yang harus kita tunda. Tapi tetap bertahan adalah langkah pertama untuk mewujudkan mimpi itu."

"Johnny, kenapa kau begitu baik padaku?" tanya Haechan

Johnny tersenyum tipis, menatap api dengan tatapan jauh. "Aku selalu percaya bahwa kita harus saling membantu, terutama di masa-masa sulit seperti ini. Lagipula, kau seperti adik bagiku. Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian."

Haechan merasa tersentuh dengan kata-kata Johnny. "Terima kasih, Johnny. Aku merasa beruntung bisa bertemu denganmu."

Haechan tersenyum ragu. "Johnny, bolehkah aku memanggilmu hyung? Rasanya aneh sekali setelah mengetahui umur kita berbeda jauh. Aku merasa tidak sopan memanggilmu hanya dengan nama."

Johnny terkekeh. "Tidak masalah, Haechan. Panggil aku apa pun yang membuatmu nyaman." Johnny mengelus kepala Haechan dengan lembut.

Haechan tersenyum lega, merasakan kehangatan dari sentuhan itu. "Terima kasih, hyung."

Johnny mengangguk, tersenyum hangat. "Kita akan melewati semua ini bersama, Haechan. Tetaplah bertahan."

Percakapan mereka terhenti Johnny segera mematikan api kecil di dekatnya. ketika tiba-tiba terdengar suara berisik dari luar. Haechan yang terkejut tidak sengaja memeluk tubuh Johnny, mencari rasa aman. Johnny balas merangkulnya, memberikan perlindungan. 

"Apa itu?" bisik Haechan dengan suara gemetar.

"Tenang, Haechan. Kita akan baik-baik saja," bisik Johnny, berusaha menenangkannya

Suara berisik semakin dekat, terdengar langkah kaki yang berderap Johnny mendengarkan dengan seksama, mencoba mengidentifikasi suara tersebut. terdengar langkah-langkah berirama dan suara gemerisik yang semakin mendekat. Melalui jendela kecil, mereka bisa melihat gerombolan zombie berbondong-bondong menuju satu arah, seperti semut yang berbaris.

"Para zombie," bisik Johnny dengan tegang. "Mereka menuju selatan."

Johnny merasa lega karena para zombie tidak mengarah ke toko kelontong tempat mereka bersembunyi, tetapi ia tahu mereka harus tetap waspada dan menahan napas sampai gerombolan itu berlalu.

Mereka berdua duduk diam, nyaris tidak berani bernapas. Waktu terasa berjalan lambat ketika suara derap kaki dan geraman zombie masih terdengar. Setelah beberapa saat yang terasa seperti seabad, suara itu perlahan menghilang. Haechan dan Johnny saling memandang, rasa lega terpancar dari mata mereka.

"Kita harus lebih berhati-hati. Jumlah zombie semakin banyak," kata Johnny setelah memastikan situasi aman. "Kita akan merencanakan perjalanan lebih lambat. Tidak ada gunanya terburu-buru dan mengambil risiko."

Haechan pun mengangguk mendengar ucapan johnny

Selama satu bulan penuh, Johnny dan Haechan tetap berada di toko kelontong itu. Mereka mengamati gerak-gerik para zombie dari jendela kecil, mempelajari pola pergerakan mereka. Johnny berusaha memastikan setiap langkah mereka aman dan tidak terburu-buru dalam membuat keputusan.

Kedekatan mereka semakin tumbuh seiring berjalannya waktu. Haechan merasa bersyukur memiliki Johnny di sisinya, sementara Johnny merasa bertanggung jawab untuk melindungi Haechan. Mereka berdua saling menguatkan, mencari cara untuk bertahan hidup di tengah dunia yang telah berubah menjadi neraka.

Pagi itu, Johnny dan Haechan memutuskan untuk mulai bergerak lagi. Mereka mengemas persediaan mereka dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang tertinggal. Johnny membagikan beberapa perlengkapan kepada Haechan, termasuk makanan kaleng, air, dan peralatan sederhana yang mereka temukan selama sebulan terakhir.

"Kita harus berhati-hati. Jangan terlalu banyak bicara dan selalu waspada," kata Johnny, memandang Haechan dengan serius.

Haechan mengangguk. "Aku akan mengikuti apa yang kau katakan, hyung."

Mereka meninggalkan toko kelontong yang telah menjadi rumah sementara mereka selama sebulan penuh. Langkah kaki mereka berhati-hati saat mereka melangkah keluar, menghindari puing-puing dan reruntuhan yang tersebar di jalan. Dunia di luar masih tampak hancur.

Perjalanan mereka membawa mereka melalui jalan-jalan sepi dan bangunan-bangunan yang runtuh. Setiap sudut mereka periksa dengan hati-hati, memastikan tidak ada ancaman yang mengintai. Johnny selalu berada di depan, melindungi Haechan dari kemungkinan bahaya.

Setelah beberapa jam berjalan, mereka tiba di sebuah jembatan yang terlihat rapuh. Di bawahnya terbentang lembah yang dalam dan curam, menganga seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa pun yang terjatuh. Johnny memeriksa struktur jembatan tersebut, memastikan masih cukup kuat untuk dilalui.

"Kita harus menyeberang," kata Johnny. "Tetap dekat denganku, Haechan."

Mereka mulai melangkah pelan-pelan, memastikan setiap langkah aman. Jembatan bergoyang sedikit di bawah beban mereka, membuat Haechan merasa ngeri. Johnny segera menggengggam tangan haechan.

“Jangan lihat ke bawah,” kata Johnny, suaranya tenang dan meyakinkan. “Fokus pada langkahmu dan lihat aku"

Di tengah perjalanan menyeberangi jembatan, mereka mendengar suara berisik dari kejauhan. Johnny segera berbalik, memandang ke arah suara tersebut. Sekelompok zombie mendekat, terlihat dari kejauhan.

"Cepat, Haechan! Kita harus bergegas!" seru Johnny, menarik tangan Haechan untuk berlari lebih cepat.

Mereka berhasil menyeberangi jembatan tepat waktu, tetapi para zombie semakin mendekat. Johnny memutuskan untuk mencari tempat bersembunyi. Mereka menemukan sebuah gedung tua di dekat situ dan segera masuk, berusaha mencari tempat aman untuk berlindung.

Di dalam gedung, mereka menemukan sebuah ruangan kecil yang tampak aman. Johnny menutup pintu dengan hati-hati dan memeriksa sekitar. "Kita bisa beristirahat di sini sebentar. Para zombie itu akan lewat," kata Johnny dengan napas terengah-engah.

Haechan duduk di sudut ruangan, merasakan jantungnya masih berdebar kencang. "Aku pikir kita akan di makan tadi."

"kita tidak akan di makan Haechan. Kita aman sekarang," jawab Johnny, tangannya mengelus kepala haechan berusaha menenangkannya.

Mereka berdua duduk diam, mendengarkan suara langkah kaki zombie yang semakin menjauh. Haechan merasakan rasa syukur yang mendalam memiliki Johnny di sisinya. Dalam situasi yang paling menakutkan sekalipun, Johnny selalu tahu apa yang harus dilakukan.

Setelah beberapa saat, ketika suara zombie benar-benar hilang, Johnny merasa lega. "Kita akan menunggu di sini sampai malam tiba. Setelah itu, kita akan melanjutkan perjalanan," kata Johnny, berusaha merencanakan langkah berikutnya dengan hati-hati.

Malam itu, mereka berdua duduk di ruangan kecil itu, berbicara tentang masa lalu dan masa depan mereka. 


BBL (Becok baca lagi)

Surviving the ApocalypseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang