02. Pertemanan

56 16 2
                                    

Biasanya setiap kali bel istirahat berbunyi, Ten akan dipanggil oleh Jegar dan Hanzo. Entah itu untuk membelikan makanan, atau sekedar merundungnya dengan berbagai cara. Namun, kali ini kebiasaan itu berubah.

"Ten!" Bukan panggilan 'sepuluh' yang ia dengar, tapi nama yang memang mesti dipanggil begitu.

Joan berdiri di depan pintu kelasnya. Panggilan itu mengundang atensi seisi kelas XI IPS 2. Ten bergerak menghampiri Joan dengan pandangan yang tertunduk. Mendapat perhatian dari teman lainnya sangat membuat Ten canggung.

"Gue traktir lo hari ini." Dengan santainya Joan merangkul Ten dan menuntun lelaki manis itu menuju kantin.

Bisik-bisik di kelas sayup terdengar oleh telinga Ten. Pujian untuk Joan tentu disertai dengan cemoohan untuk dirinya.

"Ganteng banget gila! Itu pasti anak pindahan kelas sebelah, ya?"

"Anjir, bisa-bisanya deket sama si culun!"

Ten melirik ke sebelahnya, tempat di mana lelaki itu tersenyum lebar dengan lengan yang masih melingkar di pundaknya.

"Mau makan apa?" Mereka duduk di bagian pojok kantin—saling berhadapan.

"Nggak tau, samain aja." Ten memandang lelaki di hadapannya yang malah tertawa.

"Apa yang lucu?"

"Lo yang lucu." Entah apa maksud sesungguhnya dari ucapan itu, yang jelas Ten kini merasa malu. Ingin sekali dirinya menghilang secepat kilat dari hadapan Joan.

Sementara si pelaku tak merasa bersalah sama sekali. Dia bangkit dari kursi dan berjalan menuju kedai makanan, membiarkan Ten dengan usaha untuk menenangkan jantungnya.

Ketika Joan kembali dengan dua mangkuk bakso, Ten masih menundukkan kepala. Mangkuk bakso disodorkan ke hadapan Ten, tapi lelaki itu masih enggan menatap tampilan tampan Joan.

"Lo gak suka bakso kah?" Joan khawatir makanan pilihannya ditolak oleh si teman baru.

"Suka kok."

"Mau pake cabenya?" Joan menawarkan mangkuk kecil berisi cabe kepada Ten.

Lelaki manis menggeleng pelan, "Gue nggak suka pedas."

Joan ber-oh ria. Dia mulai mengaduk racikan bumbu-bumbu dalam mangkuknya, lalu menyuap sendok demi sendok bakso bulat itu ke dalam mulut. Joan memulai topik tentang pelajaran sejarah yang baru selesai ia lewati. Percakapan mengalir begitu saja berkat Joan si lelaki ekstrovert.

"Lo nggak masalah 'kan kalo selalu bareng gue pas istirahat?" Ten menimang sejenak sebelum memilih jawaban yang tepat.

Satu sisi tentu saja Ten senang dengan Joan yang mau menjadi temannya. Namun, rasa khawatir Ten terhadap dua perundung itu tak bisa dihilangkan. Belum lagi ucapan tak menyenangkan dari teman sekelasnya yang selama ini diam-diam saja.

"Gue nggak mau lo jadi dijauhin temen yang lain karena temenan sama gue." Itulah yang akhirnya Ten utarakan di hadapan Joan ketika mangkuk bakso mereka sudah kosong melompong.

"Nggak masalah dong. Temenan sama lo aja udah cukup." Joan pandai sekali memilih kata-kata. Tipikal lelaki word of affirmation yang diidamkan setiap orang. Ah, tapi bagi Ten, Joan berhasil meraup semua love languange di dunia ini.

***

Istirahat kedua, Joan tak bisa menghampiri kelas Ten. Dia harus memenuhi panggilan guru untuk melengkapi data-data diri. Ketidakhadiran Joan membuat Ten kembali menjadi objek rundung seperti biasa.

Kali ini, Jegar dan Hanzo tidak membawanya ke samping gedung seperti biasa, tetapi ke gudang di belakang gedung. Gudang kotor yang sama sekali tidak pernah Ten injak selama ia mengenyam pendidikan di sekolah ini.

Ten didorong hingga punggungnya menghantam lemari. Tanpa ada awalan kata-kata seperti biasa, Jegar langsung saja menghajarnya habis-habisan. Satu tinjuan, dua, tiga, dan tak bisa lagi Ten hitung jumlahnya, membuat sekujur tubuh Ten berdenyut sakit.

Lelaki kecil itu terkapar di lantai karena tak mampu lagi menopang tubuhnya. Jegar berjongkok di hadapan Ten, mengangkat wajah lebam Ten agar mereka bisa bertatapan.

"Lo nggak pantas buat deket sama Joan. Lo harus tau diri di mana posisi lo, brengsek!" Meski Ten mengerjapkan matanya dengan susah payah, ia masih mampu menangkap kilatan amarah dari manik Jegar.

"Kasta Joan lebih tinggi dari pada lo, culun. Orang miskin kaya lo cuma bisa jadi benalu di hidup dia yang penuh harta! Mending lo jauhin dia sebelum gue ancurin hidup lo."

Ten ditinggalkan begitu saja dalam gudang gelap itu. Tubuhnya sakit, hatinya pun ikut sakit. Jegar menyadarkan ketimpangan kasta antara dia dan Joan. Memang benar, sudah seharusnya ia tak berteman dengan seseorang dari kalangan atas.

Hidup Ten sudah hancur. Orang tuanya bercerai, ibunya mabuk-mabukan hingga meninggal. Ayahnya hilang tanpa kabar. Tak ada saudara, tak ada uang, tak ada satupun tempat Ten bersandar.

Waktu sudah menempa Ten menjadi sosok tegar seperti sekarang. Meski banyak hal ia lakukan untuk bisa dipandang setara oleh orang lain, tapi Jegar menghancurkan itu semua. Jegar datang dan memporak-porandakan kehidupan Ten.

Lelaki kekar itu merundungnya, menyakiti fisik dan batinnya, bahkan sekarang ingin menghancurkan hidupnya yang sudah terlanjur berantakan.

Ten masih mengingat bagaimana awal pertemuannya dengan lelaki itu. Jegar yang Ten kenal dulu bukanlah seorang preman seperti saat ini. Dia baik meski tampak berandal. Semua berubah ketika ketidaktahuan Ten membuat Jegar kehilangan separuh hidupnya.

Rasa bersalah yang begitu besar menjadikan Ten seperti sekarang. Seorang lelaki yang menjadi objek rundung dan tak berniat melawan. Mau melawan pun, Ten tidak yakin bisa. Ten sudah pasrah, ia pikir ini adalah hukuman untuk kesalahannya di masa lalu.

Dengan menjadi tempat pelampiasan amarah oleh Jegar, Ten harap bisa sedikit membuat lelaki itu memaafkannya. Karena selain itu, tak ada yang mampu Ten lakukan.

Ten kembali berpikir, "Dari awal emang harusnya gue tolak pertemanan sama Joan 'kan?"

Ten tak menyangka kehadiran Joan sebagai pembela hak asasi manusia akan berujung menjadi temannya hari ini. Ia tak tau apakah ini sebuah keberuntungan atau bukan. Karena pertemanan ini membuatnya senang sekaligus takut.

Lelaki manis itu mencoba mendorong jauh segala pikiran yang memenuhi kepalanya, lalu perlahan bangkit dan bersandar di pintu lemari. Ia meraih kacamata di lantai, lalu memakainya. Susah payah Ten bangun dari posisinya untuk berjalan menuju pintu.

Masih butuh dua langkah lagi menjelang mencapai gagang pintu, Ten terduduk. Pukulan Jegar pada perutnya sangat kencang, hingga terasa menyiksa sekali. Ten hanya berharap ada seseorang yang kurang kerjaan dan berjalan hingga ke gudang ini, lalu menemukannya.

Derap langkah yang sayup tertangkap pendengaran membuat Ten menghela napas lega. Cepat sekali do'anya terjawab. Ia mengeluarkan suara, memanggil orang yang ada di sekitar gudang.

Begitu pintu terbuka, Ten tak bisa mengalihkan pandangannya dari seseorang yang datang. Dari banyaknya manusia yang kurang kerjaan di sekolah ini, mengapa harus Joan yang lagi-lagi menemukannya dalam keadaan mengenaskan?

"Lo bisa berdiri gak?" Tak ada kata yang keluar dari mulut Ten untuk menjawab pertanyaan simple itu.

Dengan wajah khawatir, Joan menyelipkan lengannya pada tengkuk dan kaki Ten, menggendongnya ala bridal style, lantas membawa lelaki manis itu menuju UKS.

"Jangan jauh-jauh dari gue lagi, Ten."

***

Semoga bisa up setiap Sabtu, Minggu, hehe.

tbc.

Stay Here || JohnTenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang