01. Joan and Ten

77 12 3
                                    

"Nih, minum dulu." Sekaleng soda diberikan pada Ten yang duduk di depan mini market. Dari sekolah, lelaki pembela itu menuntun Ten untuk berjalan mengambil jalan ke kanan hingga mencapai mini market terdekat.

Lelaki sang pembela hak asasi manusia itu berperawakan tinggi, garis wajah tegas, dengan mata setajam elang. Pikir Ten, dia cocok sekali jika menjadi aktor atau model.

"Lo mau balik ke kelas?" Ten menoleh pada yang bertanya.

"Iya, ini masih istirahat pertama."

Cukup lama mereka berada dalam keadaan hening setelah jawaban Ten. Kaleng soda Ten sudah kosong, tapi tetap tak ada suara di antara mereka. Resah dengan keadaan itu, Ten akhirnya buka mulut dan bicara.

"Lo sekolah di mana? Gak ada kelas kah? Kenapa lo bisa ada di sini?" Sekali bersuara, beruntun pertanyaan yang diutarakan.

Lelaki di samping Ten terkekeh kecil. Ia meletakkan kaleng sodanya dan bersandar pada kursi. "Lo gak mau tau nama gue dulu?"

Ten jadi sadar bahwa mereka sama sekali belum berkenalan dengan resmi. Lagi-lagi lelaki di sebelahnya terkekeh entah karena alasan apa.

"Lo lucu juga, ya." Sungguh perkataan yang tidak terduga. Ten ingin hilang saja dari hadapan lelaki ini sekarang. "Gue Joan. Salam kenal, ya."

Joan ... Joan ... Joan. Gaungan nama Joan mengisi kepala Ten. Seperti dirasuki, Ten tak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah lelaki yang memperkenalkan diri sebagai Joan itu.

"Kenapa? Gue ganteng, ya?" Ten mengerjap cepat dan buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ternyata, Joan punya percaya diri yang tinggi, sangat tinggi.

"Gue balik ke kelas dulu. Makasih untuk yang tadi." Ten ingin cepat kembali saja ke sekolah guna menjaga ketenangan detak jantungnya. Ia berdiri dan mempercepat langkah menuju sekolah.

Yang ditinggalkan hanya menarik bibir dan melukis senyum tipis. "Manusia selucu itu mesti berhadapan sama preman pasar. Kasian banget."

Joan kembali bersandar pada kursi, lantas melihat seragam yang dia kenakan dan membiarkan pikirannya melayang. Ini hari pertamanya di sekolah, tapi ternyata tidak berjalan mulus. Setelah masuk ke kelas dan mengikuti pembelajaran pertama, Joan memutuskan untuk mengitari gedung sekolah.

Tak disangka dia berjalan sampai mendapati perundungan di samping gedung. Mengikuti kata hatinya, Joan beraksi seperti pahlawan pembela kebenaran. Menyelamatkan Ten dan membawanya sedikit menjauh dari sekolah.

Jika diperhatikan lagi, Ten adalah lelaki manis yang memiliki tatapan seperti anak kecil, begitu lugu dan rapuh. Joan jadi ingin melindungi manusia satu itu.

Joan masuk lagi ke dalam mini market, lalu membawa sekaleng soda keluar dari sana. Dia kembali ke sekolah ketika jam pelajaran berakhir. Di situ Joan sadar, dia terlalu banyak menghabiskan waktu untuk sekedar memikirkan kembali momen bersama si lelaki manis.

***

Joan mematikan PC nya setelah selesai stream seperti biasa. Sedikit meregangkan otot-ototnya, lalu melirik jam di atas meja yang menunjukkan pukul sepuluh malam.

Biasanya di kediaman yang lama, Joan akan keluar setiap selesai dengan pekerjaannya, dan membeli sesuatu untuk dinikmati.

Kali ini, dia memutuskan untuk melanjutkan kebiasaan itu. Joan menelusuri jalan sembari memperhatikan toko-toko yang lampunya masih menyala. Matanya kemudian terhenti pada sebuah kafe di dekat persimpangan.

Sedikit minuman manis di malam hari sepertinya tidak masalah. Joan akhirnya melangkah menuju kafe itu. Begitu masuk, Joan memindai kondisi dalam kafe. Kafe itu bersih dan rapi dengan furnitur yang penuh estetika. Di belakang meja, seseorang yang dia kenal berdiri dengan senyum canggung.

"Lo?" Barista itu adalah lelaki yang menjadi objek rundungan tadi pagi.

Tenzi berdehem sebelum bertanya, "Mau pesan apa?"

Joan melirik menu dan menyebutkan hazelnut choco yang menjadi deret pertama pada menu. Dia memperhatikan Ten yang merekap pesanannya pada mesin penghitung dan menyebutkan harga yang mesti dibayar.

Setelah melunasi minumannya, Joan memilih duduk di dekat jendela dengan posisi menghadap meja tempat Ten bekerja.

Ketika Ten keluar dari tempatnya dan mengantarkan minuman ke meja Joan, lelaki tinggi itu menahan pergelangan tangannya. "Gue belum tau nama lo. Duduk dulu aja, mumpung lagi sepi," katanya.

Ten mengikuti ucapan Joan. Lagi pun sebentar lagi shift-nya akan berakhir, jadi tak masalah jika ia berbincang sebentar dengan sang lelaki pembela.

"Jadi, nama lo siapa?"

"Tenzi, bisa dipanggil Ten."

"Wah, sepuluh?" Joan niatnya hanya bercanda. Tak sadar jika hal itu membuat Ten menyembunyikan celah lehernya lebih dalam.

Lelaki kecil itu memandang rematan jarinya di bawah meja, lalu berujar pelan, "Mereka manggil gue begitu."

Joan menangkap aura tak enak dari Ten. Seketika sadar bahwa panggilan itu adalah penyebab ketidaknyamanan pembicaraan mereka.

"Sorry, Ten, gua nggak bermaksud menyinggung." Ten mengangguk pelan, mengangkat kepalanya lagi, dan tersenyum tipis.

"Gue anak pindahan di kelas XI IPS 1." Joan memulai topik pembicaraan baru. Dari sana semuanya mengalir.

Joan menceritakan dirinya yang pindah dari sekolah lama karena suatu permasalahan. Joan juga mengajak Ten untuk bercerita tentang sedikit kehidupannya. Pembicaraan malam itu menjadi awal kedekatan mereka.

"Kalo ketemu di sekolah, sapa aja, Ten. Kita udah temenan 'kan ini?" Ten tersenyum dan mengangguk.

"Kalo dua preman pasar itu gangguin lo, lawan, ya." Perkataan Joan yang itu tidak ditanggapi dengan cepat oleh Ten. Ia menghela napas dan menatap Joan dengan keraguan.

Joan mengangguk pelan seolah mengerti isi hati Ten. Dia bangkit dari kursinya dan kembali menatap teman barunya. "Bilang ke gue aja, biar gue yang lawan." Ditepuknya punggung tangan Ten dan tersenyum lebar.

"Gue pulang dulu. See you, Ten!"

Ten menatap punggung tangan yang ditepuk Joan. Meraba dan menggenggamnya seolah jejak itu samgat perlu dijaga dengan sepenuh hati. Perkataan Joan lagi-lagi menggema dalam kepalanya.

Perasaan yang menyapanya kali ini adalah sesuatu yang belum pernah ia rasakan seumur hidup. Mendapati ada seseorang yang membelanya, mengajaknya bicara, bahkan menawarkan diri untuk menjadi tempat mengadu, membuat Ten ingin menangis.

Ia tak pernah mendapatkan hal-hal seperti ini. Bisakah ini dikatakan bahagia?

Namun, Ten juga takut. Takut jika ia terlalu berharap dan berakhir dengan menyedihkan.

***

Enaknya kita buat jadwal update nggak, sih?

tbc.

Stay Here || JohnTenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang