03. Bolos ke mana?

64 16 0
                                    

Joan mengakhiri streamnya lebih awal, karena malam ini dia ingin meredakan rasa khawatirnya dengan pertemuan singkat. Selepas mengantar Ten ke UKS dan menemani lelaki itu sampai jam pulang, Joan tidak diizinkan lagi untuk mengikuti langkah Ten.

Lelaki kecil itu memilih pulang sendiri ketimbang dikawal oleh Joan. Jadilah malam ini dia ingin melongok sebentar ke kafe tempat Ten bekerja. Sekedar ingin memastikan keadaan si manis yang mencuri perhatiannya sejak awal.

Begitu Joan membuka pintu kafe, wajah pucat Ten adalah hal pertama yang dia lihat. Suasana kafe malam itu tidak begitu ramai, dan Joan melangkah dengan berani untuk menghadap Ten.

"Ngapain kerja kalo masih sakit? Istirahat aja, Ten." Setengah berbisik Joan berucap pada Ten di balik meja kasir.

Lelaki pucat itu menggeleng pelan, "Gue nggak bisa makan kalo nggak kerja."

Joan menghela napas. Meski Ten mengucapkan hal itu diiringi senyum tipis, tetap saja ada perasaan tak enak yang mengganjal di hati Joan. Dia akhirnya memesan minuman dan menunggu Ten di meja pojok seperti malam lalu.

"Lo mau nginep di apart gue nggak?" Pertanyaan dadakan itu membuat Ten tersedak ludahnya sendiri. Manusia di depannya ini betul-betul tidak bisa ditebak.

"Ngapain? Gue punya rumah kok."

"Biar gue bisa rawat lo sampe pulih. Ntar gue beliin banyak makanan enak, deh."

Ten terkekeh mendengar apa yang baru saja Joan katakan. Pembela hak asasi manusia satu ini ternyata sangat baik dan peduli. Jauh dalam lubuk hatinya, Ten tak bisa pungkiri bahwa ia bersyukur Joan hadir di hidupnya.

"Nggak usah, uang gue cukup buat beli makan enak."

"Ya udah, besok lo nggak usah sekolah. Istirahat aja."

"Apaan begitu, besok gue tetap sekolah." Ten tak mau melewatkan kelas hanya karena tinjuan Jegar.

Joan menatap Ten sejenak, dan hal itu berhasil membuat jantung Ten berdegup kencang. Ia khawatir dengan apa yang akan Joan katakan atau lakukan kepadanya di detik berikutnya.

Namun, Joan hanya menghela napas, lalu mengeluarkan ponselnya dari saku dan memberikannya pada Ten.

"Masukin kontak lo, ya, biar gampang kalo ada apa-apa." Percakapan jadi berubah arah dan melebar kemana-mana sampai waktu di mana kafe harus tutup dan Joan terpaksa kembali ke apartnya seorang diri.

Begitu sampai di tempat tinggalnya, Joan membersihkan diri dan bersiap tidur. Dia meraih ponselnya dan menghubungi Ten, ingin memastikan kabar lelaki itu sebelum dia benar-benar terlelap.

"Beneran dah, Ten, lo nggak usah sekolah besok."

Helaan napas di seberang telepon menyapa telinga Joan. Dia bisa membayangkan wajah Ten dengan eskpresi sebalnya.

"Ngapain juga gue bolos, gue masih sehat."

"Bukan bolos, ntar gue izinin. Besok gue jemput lo, mau gue bawa ke suatu tempat." Dalam kepala Joan sudah tersusun rencana perjalanan jika Ten menerima tawarannya.

"Mau culik gue, ya?"

Joan terkekeh mendengar respon itu. "Udah, lo ikut aja." Bagaimanapun, Joan tetap memaksa Ten untuk menerima ajakan itu.

***

Ten terlalu malas untuk berdebat dengan Joan. Pada akhirnya, ia benar-benar tidak berangkat ke sekolah hari ini, melainkan ikut duduk di jok belakang motor Joan sembari berpikir akan ke mana kah tujuan lelaki itu menculiknya di pagi hari seperti ini.

Hal ini asing bagi Ten. Ia lupa kapan terakhir kali merasa ditemani seperti ini. Menelusuri jalanan, menikmati sapuan angin, ditambah dengan ocehan Joan yang sebetulnya tidak begitu jelas Ten dengar.

"Lo dengar gue nggak, sih?" Di antara deru angin Joan berteriak sebal.

"Suara lo kalah sama angin." Entah karena lelah atau karena kesal dengan respon Ten, Joan jadi bungkam selama sisa perjalanan.

Motor berhenti di area parkiran cukup luas. Ten turun dan mengedarkan pandangannya. Ia menarik bibir ketika mendapati pantai yang membentang luas di hadapannya.

"Sini, Ten." Joan menarik pergelangan Ten dan membawa lelaki itu lebih dekat ke bibir pantai.

"Orang gila mana yang ke pantai pagi-pagi? Ya, kita!" Joan sibuk berceloteh dan bercanda ria. Melihat tingkah Joan yang absurd membuat Ten menghiasi wajahnya dengan senyuman lebar.

Mereka hanya berjalan sebentar di tepi pantai. Joan membawa Ten untuk duduk di restoran dan mengisi perut di sana.

"Pesan sarapan dulu, Ten. Habis ini kita ke pameran lukis. Ntar sore baru liat sunset di pantai." Rencana perjalan Joan disimak dengan baik oleh si lelaki manis. Ia mengangguk, lantas memesan menu sarapan yang ada.

"Kuat 'kan? Ntar lo tepar, jadi bahaya."

"Kuat kok." Jawaban Ten membuat Joan lega. Lelaki manis itu kembali melanjutkan ucapannya, "makasih, ya, udah ngajak gue ke sini hari ini."

Joan tertawa renyah. Lelaki di hadapannya betul-betul menggemaskan hingga ingin rasanya dia masukkan ke karung dan mengurungnya di rumah agar tak bisa kemana-mana.

"Lucu banget, sih. Baru awal udah makasih aja, gimana kalo ternyata gue bunuh lo habis makan ini?"

Joan semakin gemas melihat ekspresi sedih yang Ten tunjukkan sebagai respon dari ucapannya. Keberuntungan seumur hidup sepertinya terpakai dengan pertemuan antara dia dan Tenzi.

Tangan Joan terulur untuk mengusak rambut Ten. Dia tersenyum dan berucap, "Gue nggak akan nyakitin lo lah, Ten. Tenang aja."

Selepasnya, semua hal berjalan sesuai rencana. Joan menggandeng Ten untuk menelusuri lukisan yang ada dalam gedung pameran itu. Mereka juga melukis di atas kanvas kecil sebagai kenangan. Dan terakhir, Joan sungguh membawa Ten menikmati sunset di tepi pantai.

Mereka duduk bersebelahan di atas pasir. Menikmati sapuan angin di wajah, serta sinar jingga dari dewi matahari yang ingin kembali ke peraduannya. Joan sekilas menoleh pada Ten, mengagumi wajah yang terpahat indah itu di bawah semburat jingga.

"Ten," panggilnya.

Ten menoleh dengan tenang. Mata keduanya bersitatap untuk waktu yang tidak sebentar. Joan merasa jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Jemari Joan bersentuhan dengan jari yang lebih kecil, menimbulkan getaran menyengat yang membuatnya ingin melakukan sesuatu dengan lelaki di hadapannya.

"Can I kiss you?"

Kali ini Ten tak lagi tenang. Tatapan Joan yang semakin dalam membuat jantungnya juga tak aman. Wajah Joan kian mendekat, mengikis jarak yang ada sampai deru napasnya menyapu hidung mancung Ten.

Ten merasakan pipinya yang diusap lembut oleh tangan kekar Joan. Ia memejamkan mata, terlalu takut untuk menghadapi apa yang akan Joan lakukan berikutnya.

Joan mengambil tindakan berani. Di antara deru ombak dan deru napasnya, di bawah langit yang mulai menggelap, dan di sela detak jantung yang terlalu cepat, dia mencium bibir Ten. Lembut, pelan, dan begitu menikmati.

Lelaki ekstrovert itu menjauhkan wajah setelah merasa cukup. Beruntungnya tak ada manusia di sekitar mereka yang melihat adegan ciuman itu. Tempat mereka duduk yang Joan pilih memang mendukung untuk aksi ciuman barusan.

"Sorry, Ten."

"Itu ..., " ucap Ten pelan, " ... first kiss gue."

***

Sorry, yaa, kemarin lupa update:)

tbc.

Stay Here || JohnTenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang