08. Kejelasan

39 7 2
                                    

Hidup Joan selalu terencana dan berjalan sesuai dengan apa yang dia harapkan. Pikirannya hanya tentang game dan uang, tak pernah terbagi dengan apapun.

Tak pernah ada masalah yang membuatnya uring-uringan, tak ada satupun hal yang membuatnya gelisah selain berkaitan dengan uang, dan tidak ada yang mampu membuatnya sampai tak tidur semalaman.

Namun, semua hal itu menjadi perdana hari ini. Joan tak tidur semalaman, bukan karena stream atau game, tapi karena perasaannya yang tak menentu.

Dia bahkan tak ingat kapan terakhir kali melakukan siaran langsung, padahal biasanya setiap hari tak pernah absen. Joan jadi sibuk menenangkan kegundahannya hingga melupakan hal-hal yang biasanya jadi rutinitas.

Sehabis Jegar terang-terangan menyatakan perasaannya beberapa hari lalu, lelaki itu semakin gencar mendekati Joan. Tak peduli di sekolah ataupun di luar sekolah, Jegar selalu melakukan berbagai cara untuk menyita waktu Joan.

Jujur saja, Joan kewalahan dengan semua itu. Hubungannya dengan Ten belum lagi membaik, malah disodorkan dengan kebucinan Jegar yang gila-gilaan.

"Argh, bisa gila gue lama-lama!"

Akhir pekan yang biasanya tenang, kini diselimuti hawa tak nyaman. Joan terus menggenggam ponselnya sejak bangun tidur tadi. Tertera kontak Tenzi di layar itu, menunjukkan bahwa Joan masih mencoba memperbaiki komunikasinya dengan si lelaki manis.

"Kenapa lo menjauh, sih, Ten? Makin gila gue jauh dari lo." Ucapan itu hanya didengar angin. Joan benar-benar tak menyangka dirinya akan sejatuh ini dengan pesona Tenzi.

Dalam gundah gulana yang Joan rasakan, denting bel apartemen menariknya ke kenyataan. Joan berjalan lemah menuju pintu, membukanya untuk memandang sosok Jegar dengan senyum lebar yang ternyata sudah hadir pagi-pagi sekali.

"Ngapain lo?"

"Jangan sedih gitu dong, gue mau menghabiskan hari libur bareng lo ini." Joan membuang napas keras-keras, sangat merasa keberatan dengan ucapan itu.

"Jangan hari ini, gue pengen sendiri." Jegar menatapnya lama setelah berucap seperti itu. Wajah lelaki yang semula secerah mentari itu berubah mendung.

"Lo sebenci itu kah sama gue?" Jegar mulai bersikap dramatis.

"Mulai," tegur Joan yang agaknya sedikit hafal tabiat lelaki di hadapannya.

"Lo nggak coba hargai gue yang datang jauh-jauh ke sini? Lo ngusir gue? Tega?" Desakan Jegar membuat Joan hanya bisa menghela napas.

Namun ucapan Jegar selanjutnya membuat Joan terpaku. "Gue tau lo suka Ten, tapi pembunuh kaya dia harusnya nggak pantas bahagia sama lo, Jo."

Mereka saling bertatapan, Jegar yang mengeluarkan kesedihannya, dan Joan yang terkejut dengan ucapan yang baru saja ia dengar.

"Maksud lo? Siapa yang pembunuh?"

Dan akhir pekan itu menjadi semakin suram bagi Joan.

***

Joan berjalan seperti mayat hidup, tanpa tenaga dan tatapan yang tak fokus pada jalan. Angin malam menyapa kulitnya yang dibiarkan terbuka tanpa jaket. Rasanya angin malam ini lebih dingin dari malam-malam sebelumnya, seperti berusaha menyadarkan Joan bahwa ia berjalan terlalu jauh dengan pikiran yang melayang.

Dia bergelut dengan dirinya sendiri setelah cerita Jegar tadi pagi. Dia jadi tau alasan Jegar bersikap kasar dengan Ten. Dia yakin akan bersikap jauh lebih kasar jika ada di posisi Jegar, tapi tetap saja satu sisi dirinya yang lain tak membenarkan semua ini. Ten hanya manusia yang tak bisa menebak takdir. Bukan salahnya jika kejadian di pantai itu berujung maut.

Dalam kecamuk pikirannya, tubuhnya menabrak seseorang dan terhuyung ke belakang. Untungnya Joan punya keseimbangan yang baik hingga tak menyebabkan dia terjerembab ke jalanan dingin.

Matanya menatap seseorang yang ternyata juga menatapnya. Mata yang beberapa hari terakhir selalu menghindar dan tak bisa dia tatap, kini terpaku padanya. Di bawah remang cahaya rembulan, lagi-lagi Joan mengagumi cetak wajah Tenzi yang indah.

"Hai." Tak ada yang keluar dari mulut Joan selain kata sapaan itu. Dirinya baru saja ditarik paksa dari pikiran tentang hidup Ten dan Jegar, lalu mendadak bertemu dengan objek yang dia pikirkan. Rasanya kata sapaan itu adalah yang paling normal untuk diucapkan.

Ten agaknya tersadar dari pikirannya dan mengalihkan pandangan dari Joan. Lelaki manis itu baru saja berbalik dan ingin meninggalkan Joan, tapi lelaki yang lebih tinggi menahan pergelangan tangannya.

"Mau ke mana lagi? Nggak cape ngehindar dari gue mulu?" Akhirnya Ten kembali bertatapan dengan Joan.

"Gue salah apa, Ten? Gue nggak ngerti kenapa lo jauhin gue."

"Gue udah bilang alasannya," jawab Ten ketus.

"Karna nggak mau temenan sama gue? Bisa kasih alasan yang lebih jelas?" Joan masih tidak terima jika alasan tak masuk akal begitu jadi jawaban atas pertanyaannya.

Tenzi menghela napas panjang, netranya menatap Joan yang menunggu kejelasan. "Gue nggak mau temenan sama lo. Gue nggak bisa nemuin kecocokan di antara kita. Lo terlalu friendly, ekspresif, dan terlalu baik buat gue. Lo bukan tipe yang bisa gue jadiin temen."

"Ten—"

"Kalo lo nanya apa arti dari semua yang udah kita jalanin, gue jawab 'nggak ada artinya' sama sekali. Gue cuma ngehargai kebaikan lo aja. So, jangan deketin gue lagi." Mata mereka masih tak berpaling satu sama lain. Joan bisa melihat mata Tenzi yang berkilau diterpa sinar redup bulan.

"Gue nggak perlu benci lo buat bikin lo menjauh 'kan?" Dan pertanyaan itu sangat menyakiti Joan. Dia masih tak terima dengan apa yang sudah Ten jelaskan, tapi pertanyaan itu menghantam hatinya. Menamparnya keras-keras untuk tak lagi melangkah menuju Tenzi.

Lelaki manis itu berbalik, berjalan menjauh meninggalkan Joan yang masih terdiam. Tangan Ten terkepal, mata yang sejak tadi menahan isak ternyata tak sanggup lebih lama lagi. Tangis akhirnya pecah dan mengiringi langkahnya menuju rumah.

***

Kali ini singkat dulu, nggak papa 'kan?

tbc.

Stay Here || JohnTenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang