04. Lebih Jauh 🔞

110 10 1
                                    

Setelah tautan bibir di pantai itu, Ten kira dirinya akan terjebak dalam suasana canggung yang mencekam. Namun, pada kenyataannya tidak demikian. Joan dengan senang hati kembali mengajaknya bicara tentang banyak hal.

Ketika bulan sudah memamerkan cahayanya, seolah tidak terjadi apa-apa, Joan menggenggam jemari Ten dan membawa lelaki itu ke kafe di dekat pantai. Suasana begitu damai ketika mereka melahap makanan yang disajikan.

"Lo kerja di kafe sejak kapan, Ten?" Pertanyaan itu menjadi pembuka topik pembahasan yang dipilih Joan.

"Udah lama, sejak SMP. Awalnya cuma bersih-bersih di sana, terus baru deh jadi barista."

"Minuman rekomendasi lo apa, nih? Dari sekian banyak menu yang ada di sana." Padahal mereka sedang ada di sebuah kafe, bukannya membahas kafe yang mereka pilih, malah jadi membicarakan kafe tempat Ten bekerja.

Ten berpikir sejenak, mengingat lagi seluruh menu yang ditawarkan oleh kafe tempatnya mencari cuan itu. "Sebenernya banyak, sih," ucap Ten. "tapi lo harus cobain hazelnut choco."

"Enak, ya?" Ten mengangguk cepat.

"Manisnya pas, jadi nggak bikin eneg." Joan dalam diam mencatat rekomendasi itu di ingatannya. Lain waktu dia akan memesan rekomendasi minuman dari Ten itu untuk menemani malamnya.

"Lo berarti izin nggak masuk kerja dong?"

"Iyalah, udah malam begini juga kita masih di sini."

"Tapi lo seneng 'kan?" Keduanya beradu pandang. Lagi-lagi keanehan pada jantung insan itu kembali muncul. Bagaimana cara mengatasi detak jantung yang begitu cepat?

Ten mengalihkan pandangan ke arah lain lebih dulu. Menatap mata elang Joan sama sekali tidak sehat untuk jantungnya. Ia menyesap minuman di meja dengan gugup. Sama sekali tidak kelihatan seperti manusi normal di depan Joan, malah sangat terlihat jelas kegugupan lelaki manis itu.

Joan tersenyum kecil. Dia tak begitu mengerti apa yang ada dalam pikiran Ten saat dia menanyakan hal itu. Apakah Ten memikirkan ciuman tadi? Ah, padahal Joan sudah susah payah untuk mengalihkan pikiran dengan mencari topik pembicaraan secara acak.

Ditengah kecanggungan itu, seseorang datang ke meja mereka. Dua perempuan asing berambut panjang memanggil Joan dengan tersipu.

"Kak Jo, kita boleh foto nggak? Kita suka nonton live streamingnya kakak."

"Boleh, boleh." Tentu jiwa ekstrovert Joan akan dengan senang hati menerima permintaan itu. Ten jadi sasaran kameramen mereka.

Tak sebatas foto saja, Joan malah mengajak dua fans itu untuk ikut memesan minuman dan mengobrol. Obrolan mereka lancar, membahas seputar game yang sering Joan mainkan saat live. Sayangnya, hal itu tidak berlaku bagi Ten.

Ia tak mengerti apa yang Joan bahas dengan para penggemar itu. Malam ini ia baru tahu kalau Joan adalah seorang streamer. Melihat lelaki tampan itu tertawa dan mengoceh tanpa henti untuk membahas hal yang ia suka, muncul rasa janggal dalam hati Ten.

Dia seperti tidak rela Joan bersikap begitu dengan orang lain. Ten merasa minder, mengingat bahwa ia sama sekali tidak pernah tahu tentang kehidupan Joan.

"Makasih banyak, Kak! Bye!" Dua manusia itu sudah menghilang di balik pintu kafe. Atensi Joan seluruhnya kembali pada lelaki manis di hadapannya.

"Cape, ya? Pulang, yuk!" Ten mengangguk kecil sebagai jawaban.

Joan bungkam selama setengah perjalanan. Mungkin karena dia tahu Ten tak akan mendengar suaranya dengan jelas ketika di motor, atau karena memang dia sedang lelah.

Diterpa angin membuat Ten mengantuk. Ia hampir terjatuh ke belakang kalau saja Joan tidak menahan tangannya. "Pegangan, Ten!" Ten sadar dengan titah Joan di sela rasa kantuknya. Ia menyelipkan tangannya di pinggang Joan, memeluk lelaki itu dan menyandarkan kepalanya di pundak Joan begitu saja.

Ten terbuai mimpi, hingga tak sadar Joan membawanya bukan ke rumah, tetapi ke apartemen lelaki itu. Ten melenguh pelan ketika ia merasa selimut memeluk tubuhnya dengan hangat.

Lelaki manis itu bangkit dengan heran, melihat ruangan yang sama sekali tidak ia kenali. Ten turun dari kasur dan berjalan keluar kamar. Ia tak melihat sosok Joan, tapi mendengar suaranya.

Ten mencari sumber suara dan menemukan Joan tengah melakukan live streaming di ruangannya. Ten ingin masuk dan menanyakan kenapa lelaki itu tidak mengantarkan dirinya ke rumah, tapi Ten takut mengganggu aktifitas Joan.

"Oh, udah bangun, Ten." Joan ternyata lebih dulu peka dengan kehadiran Ten di depan pintu.

"Lo sibuk, ya?" Ten tak mau jika kehadirannya malah mengganggu Joan.

"Nggak, sini deh." Ten berjalan mendekat. Ia bisa melihat dengan detail permainan yang Joan mainkan.

Joan menarik tangan Ten tiba-tiba, menyebabkan lelaki manis itu terhuyung dan berakhir di pangkuan Joan dengan posisi berhadapan. Dari jarak sedekat ini, Ten bisa merasakan deru napas lelaki di hadapannya.

Mereka saling bertatapan. Ten bingung harus bereaksi seperti apa, sebab detak jantungnya pun tak bisa dikendalikan lagi.

Joan mendekatkan wajahnya dan mendaratkan sebuah kecupan di bibir tipis Ten. Tangan kekar Joan dengan santai melingkar di pinggang ramping Ten. Sementara Ten masih terpaku dengan tatapan si lelaki tampan.

"Boleh lebih dari kiss, Ten?" Joan adalah lelaki paling berani dan frontal yang pernah Ten temui.

Semburat merah memenuhi wajah Ten. Ia tak menjawab pertanyaan itu, tidak sanggup untuk merespon apa yang akan Joan lakukan padanya.

Tanpa jawaban dari Ten, tangan Joan sudah merambat ke bongkahan pantat si manis. Lenguhan dari bibir Ten dengan begitu mudah keluar tanpa bisa ditahan. Joan segera mengakhiri livenya dan mencurahkan segala atensi hanya pada Ten.

Joan meremas pantat Ten dengan sensual, kemudian merambat ke atas. Mengusap pinggang sampai ke dada lelaki kecil itu. Tangannya masuk ke dalam baju Ten, meraih putingnya dan memainkan benda itu dengan bebas.

"Ahh ... Jo-joan, emmph." Ten tak bisa menahan desahannya ketika lidah Joan menyapu kedua nipplenya bergantian.

Pergelutan itu membuat Ten tak sadar bahwa pakaiannya sudah terlucuti semua. Ia memegang benda kecilnya di bagian bawah ketika tangan Joan baru saja akan mengambil alih aset itu.

"Jo-jo, malu .... " Ucapan Ten membuat Joan tertawa kecil. Sungguh menggemaskan lelaki kecil di pangkuannya ini.

Joan mengecup bibir Ten dengan lembut, lalu mengusap pipinya sembari menatap netra lelaki itu. "Lo lucu banget, Ten, jadi makin demen gue."

Ten ingin menghilang saja dari muka bumi ini. Ia sangat malu dengan tubuh bugil di depan Joan. Ten memilih untuk memejamkan mata ketika Joan mulai membayangi tubuhnya dengan jemari. Desahan Ten mengiringi setiap sentuhan yang Joan berikan.

Ten merasakan lubangnya basah, bersamaan dengan sesuatu yang masuk ke lubang itu. "Akhh, Jo!" Matanya otomatis terbuka, dan Ten menyadari bahwa Joan sudah memasukkan jarinya ke anal Ten.

Kedua tangan Ten melingkar di leher Joan selama lelaki itu memainkan jarinya di dalam lubang Ten. Desahan Ten kian lama kian bertambah seiring dengan cepatnya tempo gerakan dari jari Joan.

"Joan, mau pi-pipis .... " Ten menyemburkan cairannya hingga membasahi perutnya juga baju Joan yang belum terlepas.

Ten mengerjapkan matanya dan menunjukkan ekspresi tanda bersalah. "Maaf, Jo," cicitnya sambil berusaha mengelap cairan cum di baju Joan.

"Jangan minta maaf, Ten, lo nggak salah." Joan tersenyum dengan lembut.

Dia mengeluarkan jarinya dari lubang Ten dan memberikan ciuman singkat di bibir si manis. Malam itu permainan berhenti di situ. Joan memberikan pakaiannya untuk Ten, lalu menenangkan adik kecilnya di kamar mandi, sendirian.

***

tbc.

Stay Here || JohnTenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang