06. Sisi Jegar

52 9 3
                                    


Padahal cuaca amat cerah, tapi sama sekali tak mempengaruhi suasana hati Tenzi yang keruh. Telepon genggamnya sejak tadi dibiarkan berdering tanpa henti. Sekedar melirik ke nama pemanggil yang tertera untuk kemudian memutuskan untuk mengabaikan panggilan itu.

Ten jelas mengingat raut khawatir Joan ketika mereka bertemu di mini market persimpangan. Meski ada setitik rasa sesal karena tidak memberi konfirmasi atas rasa khawatir Joan, Ten tetap dikuasai oleh rasa bersalahnya.

Setelah ingatan tahun kelam itu kembali datang padanya, ia merasa tak pantas untuk bahagia. Ten merasa tak seharusnya ia bertemu Joan dan mengecap rasa suka. Yang seharusnya terjadi adalah terus berada dalam rasa penyesalan dan membiarkan rasa sakit perundungan Jegar menghabisi seluruh hidupnya.

Ten meraih ponselnya ketika benda itu tak lagi bergetar. Matanya dengan jelas menangkap lebih dari sepuluh panggilan tak terjawab dari manusia penolongnya. Ada pesan juga dari manusia itu yang menanyakan keadaannya. Meski begitu, Ten tetap teguh untuk tidak berinteraksi dengan sang jagoan. Dimatikannya benda pipih itu, lantas merebahkan diri mencoba untuk terlelap.

***

Di sisi yang berseberangan, Joan menghela napas pasrah. Menyerah untuk menghubungi Ten setelah sekian panggilan yang tak ada jawabnya.

"Semoga dia baik-baik aja," rapalnya sembari berdiri dari sofa, berjalan ke kamar untuk mengambil jaket dan memutuskan untuk pergi menepati janjinya dengan 'teman baru.'

Dirinya sampai satu jam sebelum janji temu. Ruang yang dipesan Jegar adalah ruang VIP, dan hal itu membuat Joan terkesan sedikit. Joan punya pandangan tentang ekonomi Jegar yang sangat baik. Dia duduk menunggu di sofa empuk dalam ruangan itu.

Melihat tak ada tanda-tanda kehadiran Jegar, dia memutuskan untuk menghabiskan waktu satu jamnya dengan bermain game online di gadget-nya. Joan bergelut sendiri dengan kerumitan yang dia temukan ketika melawan musuh dalam game-nya, sampai akhirnya dibuyarkan oleh tepukan pelan di pundaknya.

"Ngagetin aja lo," sungut Joan sembari melanjutkan game yang terganggu.

"Lo terlalu serius soalnya." Jegar mengambil tempat di sebelah Joan, lalu mengintip melalui bahu lebar lelaki itu untuk mendapati kemenangan yang akhirnya berhasil didapatkan Joan.

"Udah lama nunggu?" Jegar mulai membuka suara ketika lawan bicaranya sudah mematikan ponsel.

Joan mengangguk, lantas menoleh pada Jegar di sebelahnya, "Lo nggak liat gue udah lumutan gini nungguin lo?"

"Cie nungguin banget, kangen ya lo liat muka gue yang tampan rupawan ini?" Mendengar ucapan penuh percaya diri itu membuat Joan tak bisa menyembunyikan ekspresi 'hendak muntah-nya.'

"Jujur aja, Jo, gue tau lo pasti kangen gue."

"Matamu! Jangan ge-er mulu lo!" Jegar tertawa renyah. Dia kemudian mengalihkan topik pembicaraan pada hal-hal lain yang sekiranya menarik, seperti apakah bumi itu bulat?

Obrolan mereka sempat terganggu ketika pelayan-pelayan mengantarkan makanan, lalu kembai berlanjut sambil melahap makanan yang ada di atas meja.

"Makanan sebanyak ini cuma buat berdua? Gila banget lo. " Pasalnya, meja mereka dipenuhi dengan makanan berbagai jenis. Joan tak habis pikir kenapa ada manusia seboros ini di dunia?

"Ya, tinggal makan aja 'kan nggak susah, bro." Jegar berucap sambil memberikan potongan daging ke piring Joan.

"Ini kalo diminta bayar, gue kabur, Gar."

"Aman aja, gue bayarin. Lo temenin gue aja malam ini." Joan melirik ke arah Jegar, raut wajahnya sedikit berbeda dengan biasanya.

Tak mau menanyakan lebih jauh tentang ekspresi Jegar yang tak terbaca, Joan kembali melanjutkan makannya meski dalam suasana yang mendadak hening.

Usai menghabiskan makanan di piring, Joan meneguk air dan bersandar pada sofa. Dia melihat pelayan masuk membawakan beberapa botol alkohol. Joan memandang Jegar yang dengan santai membuka botol dan mulai menuangkan cairan itu ke gelas.

"Lo beneran mau mabuk, Gar?" Tangan Jegar berhenti menuangkan alkohol ke gelas, lantas meletakkan botol itu di atas meja.

Jegar menoleh pada Joan dengan wajah sendu, membuat Joan khawatir dengan lelaki itu. Disentuhnya punggung tangan Jegar, dan menatap lekat mata legam yang berkaca-kaca di hadapannya.

"Lo, oke?" Jegar menggeleng. Lelaki itu meraih gelas berisi alkohol dan meneguknya dengan cepat.

Begitu saja Jegar menyandarkan kepalanya pada bahu lebar Joan. Preman kelas yang menjadi julukan Joan padanya seketika tak cocok lagi jika dipakai malam ini.

Joan bingung harus mengambil sikap seperti apa agar tidak menyinggung perasaan manusia di sebelahnya ini. Jadilah dia menepuk-nepuk pelan pundak Jegar yang bisa diraihnya dan sesekali mengusap kepala lelaki itu dengan lembut.

"Peluk gue." Ucapan itu sangat lirih bahkan hampir tak terdengar kalau saja jarak mereka tidak sedekat ini.

Joan menurut, tangannya membawa tubuh yang sedikit lebih kecil darinya itu untuk hanyut dalam dekapan. Dibiarkannya Jegar menyalurkan segala gundahnya dalam pelukan itu.

Samar Joan mendengar isak dari lelaki dalam dekapannya, membuat hatinya tergerak untuk mempererat pelukan. Cukup lama hingga akhirnya Jegar mengurai tangisnya dan perlahan bicara.

"Gue kangen Jayden, Jo. Gue kangen abang. Gue mau nyusul dia aja, biar mama bisa berhenti nyalahin diri sendiri, biar papa nggak perlu cape-cape marahin gue, biar semua beban hidup gue hilang." Jegar melepaskan diri dari pelukan Joan dan menunduk dalam.

Joan tak bicara, perasaan empatinya dia sampaikan lewat usapan lembut pada punggung tangan Jegar.

"Gue pantas bahagia 'kan, Jo?" Kali ini Joan kehilangan pandangan tentang sosok Jegar yang kasar dan selalu semaunya. Di hadapannya ini hanya seseorang yang terlalu rapuh dan butuh dirangkul.

"Semua orang pantas bahagia, Gar." Jegar menghela napas pelan sebelum akhirnya kembali membasahi tenggorokannya dengan alkohol.

Jegar punya toleransi yang sangat rendah dengan alkohol, hingga dia tepar setelah menghabiskan gelas kedua. Joan menatap lama pada wajah sembab yang terlelap itu. Sebagai manusia yang memiliki empati tinggi, dia terdorong untuk melindungi Jegar dan membuat lelaki itu mengerti bahwa setiap insan berhak mencicipi bahagia.

Dia tak tahu bagaimana mengantarkan manusia ini kembali ke rumahnya, jadilah dia membawa Jegar ke apartemennya dengan taxi online. Setelah memastikan Jegar tidur dengan nyaman, dia kembali ke restoran tadi untuk menyelamatkan motornya.

Setelah membersihkan diri, Joan menghempaskan dirinya di atas sofa ruang tengah. Matanya menatap langit-langit, sedang pikirannya melayang bebas. Dia bertanya-tanya apakah memang dirinya ditakdirkan untuk menjadi pelindung manusia lain? Apakah kebahagiaan orang lain merupakan tanggung jawabnya? Pikiran-pikiran itu terus melekat dalam kepala Joan sampai dia tertidur.

Ketika mentari mencuat di balik awan, Jegar membuka matanya untuk mendapati dirinya berada dalam kamar yang bukan kamarnya. Jegar merasa kepalanya berat sekali dan pandangannya sedikit kabur, efek mabuk yang selalu dia rasakan.

Jegar baru turun dari kasur ketika Joan masuk ke kamar mengantarkan seragam sekolah. "Nih, kebetulan gue punya dua seragam. Sarapan ada di bawah, turun kalo udah siap." Joan tak memberi jeda agar Jegar membalas ucapannya. Lelaki itu keluar meninggalkan Jegar yang masih mencerna apa yang Joan katakan.

"Ah, bisa-bisanya gue kelepasan kaya semalam. Padahal niatnya gue mau bikin dia tepar, bukan malah nangis kaya orang gila." Jegar mengacak-acak rambutnya sendiri ketika mengingat apa yang terjadi semalam.

Dia tak menyangka perdebatan dengan orang tuanya sebelum berangkat ke tempat pertemuan akan menjadi biang masalah untuk dirinya sendiri. Suasana hati yang buruk membuat Jegar melupakan niat awalnya yang ingin membuat Joan tepar agar dia bisa leluasa menikmati tubuh lelaki itu.

Sekarang, melihat dirinya yang terjebak di apart Joan setelah menunjukkan sisi yang menyedihkan, Jegar serasa ingin hilang dari bumi. Apa yang Joan pikirkan tentang dirinya sekarang?

Argh, menyedihkan!

***

Maaffkan aku yang baru muncul setelah sekian purnama T_T

tbc.

Stay Here || JohnTenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang