09. Hadirmu Diwakilkan?

46 9 3
                                    

Biasanya akan ada sepasang mata yang berkeliaran mencarinya, dan akan ia hindari sebisa mungkin.

Biasanya akan ada dering tak henti pada ponselnya yang terus ia abaikan, entah itu panggilan masuk atau sebuah pesan.

Biasanya ... biasanya. Kini 'kebiasaan' itu hilang. Lenyap tanpa sisa.

Tak lagi ada sepasang mata yang mencarinya, bahkan tak bisa ia temukan netra itu. Tak juga dering ponsel yang mengisi kehampaan hari-harinya. Sosok itu sungguh hilang.

Pikiran Ten terlempar pada malam itu lagi. Apakah ia terlalu keras mendorong lelaki Februari itu hingga kini dia benar-benar raib? Apakah lelaki itu berubah membencinya karena kata-kata menyakitkan yang ia lontarkan pada malam itu?

Perasaan Ten menjadi sangat buruk. Kehilangan hal-hal yang biasa Joan lakukan belakangan ini membuatnya frustasi.

"Harusnya gue bersyukur dia menjauh, bukannya itu yang gue mau?" Berulang kali Ten meyakinkan diri bahwa ia akan baik-baik saja.

Sayangnya, ia kalah dengan keyakinan itu. Minggu malam yang berawan, ketika angin dingin malam mencubit kulit, Ten kembali ke tempat pertemuannya dengan Joan kala itu. Ia menunggu, barangkali Joan akan kembali lagi.

Ia berjongkok di tepi jalan, memeluk lututnya untuk menghangatkan diri. Dan ketika malam semakin larut, Tenzi merasa hatinya sangat sesak.

Joan tak akan kembali.

Dan itu membuatnya menangis.

Siapapun yang melihat Tenzi pasti akan berpikir dia menyedihkan. Menangis sendiri di trotoar pada malam yang sangat larut. Lelaki kecil itu tak akan peduli pikiran orang-orang untuk sekarang. Ia hanya memikirkan Joan dan selalu Joan.

Kini Ten yakin, ia menginginkan Joan lebih dari apapun. Ia sadar bahwa kepergian Joan akan membuatnya gila. Ia ingin berbaikan, sangat ingin.

"Permisi, Kak, are u okay?" Ten mengangkat kepalanya untuk menatap si pemilik suara. Seorang laki-laki remaja dengan senyum manis di wajahnya.

Buru-buru Tenzi menghapus air mata yang mengalir, lantas memaksakan senyum pada remaja itu. Ia mengangguk, "I'm okay, kok."

"Ini, Kak," ujar yang lebih muda ketika menyerahkan jaket pada Ten, "pulang aja, Kak, di luar dingin banget."

Kali ini Ten menarik bibirnya untuk tersenyum dengan tulus. Kebaikan remaja lelaki itu membuat hatinya menghangat. Ia mengangguk dan berdiri dari tempatnya.

"Makasih, ya. Nama kamu siapa?"

"Juna."

"Makasih, Jun. Kamu juga pulang gih, udah larut ini." Mereka saling melempar senyum sebelum melangkah ke arah rumah yang berbeda.

Ternyata, tak hanya malam itu saja Tenzi bertemu Juna. Pada malam-malam berikutnya ketika Ten masih berusaha menghubungi Joan dari tempat yang sama, Juna selalu ada.

"Nih, minum buat kakak." Untuk sekedar memberikan sebotol air mineral.

"Aku habis lewat toko roti, nih buat kakak juga." Atau memberi roti cokelat yang masih hangat.

"Pulang aja, Kak, kakak harus tidur." Bahkan sekedar mengingatkannya untuk pulang.

Tenzi bersyukur ada orang lain yang peduli padanya setelah Joan. Kesedihan dengan raibnya Joan dari pandangannya bisa sedikit terobati dengan hal-hal kecil yang Juna lakukan untuknya.

Pada suatu waktu, Ten berpikir untuk mencoba menunggu Joan lagi. Setelah malam ini, mungkin Ten akan berusaha menerima ketidakhadiran Joan jika lelaki itu benar-benar tidak memunculkan diri.

Seperti yang ia duga, Juna kembali datang ke tempat itu. Kali ini sudah ada kursi panjang di trotoar, entah itu karena petugas keamanan tahu Ten selalu berjongkok di tepi jalan, atau karena memang ditempatkan di sana untuk memberi fasilitas pada semua orang.

"Rumah kamu dekat dari sini, Jun? Kenapa selalu lewat sini?" Ini jadi obrolan yang lebih panjang ketimbang sebelumnya, karena kini mereka berdua duduk di kursi panjang sambil mengunyah roti yang Juna bawa.

"Nggak begitu dekat, cuma suka jalan-jalan aja, Kak."

Ten ber-oh ria menanggapi jawaban itu. Di sampingnya, Juna berdehem lalu melirik sekilas pada Ten.

"Aku tanya sesuatu boleh nggak, Kak?" Tenzi menoleh dan bertemu pandang dengan manik Juna yang hitam pekat. Ia mengangguk mengiyakan pertanyaan lelaki itu.

"Kenapa kakak selalu nunggu orang itu?"

Ten terpaku sejenak. Lidahnya kelu untuk sesaat. Pertanyaan dari Juna menyadarkannya pada kenyataan. Mengapa ia menunggu? Apa yang ia harapkan dari hadirnya Joan?

Tapi, dari mana Juna tahu?

"Orang itu? Kamu tau dari mana?"

Tak ada jawaban dari Juna. Remaja itu terus memandang ke depan tanpa menoleh pada Ten. Menit berlalu sampai dia berdiri dan menatap Ten. "Banyak hal baru terasa berharga kalo udah hilang dari hidup kita, Kak, dan kita berharap itu kembali. Nyatanya, nggak semuanya berjalan sesuai yang kita mau."

Ketika Juna berbalik meninggalkannya, Tenzi punya keyakinan kuat remaja itu memiliki keterikatan dengan Joan. Bermodalkan firasat kuatnya, Ten mengejar lelaki yang lebih muda. Ditariknya pergelangan tangan Juna hingga mereka berhadapan.

"Di mana? Joan ada di mana?" Juna bungkam. Tak ada tanda-tanda dia akan bersuara.

"Kasih tau gue, Jun! Di mana Joan?" Dada Ten kembali sesak, menahan segala emosi yang berkecamuk agar tak pecah menjadi tangis.

"Bang Joan selalu ada dekat kakak, kok." Ten menoleh cepat ke sekitar, melihat setiap sudut untuk menemukan lelaki yang ia tunggu selama ini.

"Joan! Jo, gue pengen ketemu!"

"Joan!"

"Kak." panggilan itu membuat Ten mengalihkan pandangan pada Juna.

"Di sini," Juna menyentuh dada bagian kanan, tempat di mana hatinya berada, lantas berucap, "Bang Joan selalu di hati kakak 'kan?" Dan Ten tak bisa menahan tangisnya.

Sepenuhnya ia tak membantah ucapan Juna. Joan ada di hatinya, selalu. Karena itu Ten selalu menunggu Joan, karena hatinya rapuh tanpa hadir lelaki itu. Ten sudah jatuh, jatuh sangat dalam pada lelaki pahlawannya itu.

Ia ingin bertemu, ingin sekali. Untuk menyatakan semua perasaannya, untuk mengucapkan maaf atas sikap buruknya, dan untuk semua keinginan yang belum ia utarakan pada Joan.

'Jo, jangan buat gue gila, Jo.'

***

Joan mendengar semuanya, Joan melihat semuanya. Nyatanya, selama ini dia tak benar-benar hilang dari kehidupan Ten. Hanya, kata-kata Ten malam itu selalu terngiang dalam kepalanya. Juga karena Jegar yang selalu mengusiknya dan mengancam akan menyakiti Ten jika Joan tak memenuhi kehendaknya. Sebisa mungkin Joan tak pernah muncul di hadapan Ten, tapi selalu melihat keadaan lelaki itu.

Melihat Ten yang menangis di pinggir jalan saat itu membuat hati Joan ikut sedih. Dia meminta sepupunya, Juna, untuk menemani Ten. Dan terus begitu sampai malam ini.

Segala percakapan Ten dan Juna bisa Joan dengar karena dia selalu berada dalam panggilan bersama Juna. Malam ini, Joan semakin yakin bahwa Ten menginginkannya.

Joan lega mendapati kenyataan bahwa Ten tak sungguh membencinya.

"Gue sayang lo, Ten. Semoga lo masih bisa nunggu sampai gue kelarin urusan gue sama Jegar." Dan janji itu akan Joan penuhi.

***

tbc.

Stay Here || JohnTenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang