BAB 19 : Cinta karena Terbiasa

10 1 0
                                    

"Witing tresno jalaran soko kulino," kalimat yang selalu diucapkan Ayah Wiratama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Witing tresno jalaran soko kulino," kalimat yang selalu diucapkan Ayah Wiratama. Kini aku dihadapkan pada sebuah pernikahan. Semua orang selalu meyakinkanku bahwa cinta akan muncul karena terbiasa. Aku tidak begitu yakin.

Ayah sambungku selalu bercerita mengenai hubungannya dengan Ibu. Yang bermula dari tidak mencintai satu sama lain. Mereka saling belajar untuk mencintai. Ayah Wiratama juga meyakinkanku bahwa lelaki yang melamar dan akan menjadi suamiku akan memberikan kehidupan yang layak. Tidak akan ada kejadian yang terulang seperti yang terjadi pada Ibu.

Prabu Wijaya Suryaningrat. Usianya terpaut jauh dari usiaku. Sekitar tiga puluh sembilan tahun. Selisih dua puluh tahun denganku yang masih sembilan belas tahun. Di mataku, dia seperti orang yang berpengalaman di keraton.

Aku selalu berpikir, nasibku lebih baik bersama Mas Prabu. Karena dia belum pernah menikah. Bahkan tidak pernah menjalin hubungan selayaknya tunangan. Dia perjaka yang menanti setia jodohnya datang sendiri.

Akankah dia memiliki istri lagi selain diriku? Aku tidak tahu. Tapi, aku yakin aku bisa belajar banyak dari Mas Prabu.

****

Aku mencari keberadaan Mas Prabu. Bertanya ke semua orang, jawaban mereka merujuk pada satu ruangan. Ruangan yang cukup luas dan tenang. Pintu itu terbuka, menampilkan punggung Mas Prabu yang serius melakukan sesuatu.

"Mas?" panggilku.

Sebuah kuas diletakkan pelan. Kepala Mas Prabu ditorehkan ke belakang. Senyumannya menghangatkanku. Aku tidak menyangka, dia bisa menerimaku yang masih muda ini.

"Masuklah," ajaknya.

Mas Prabu sangat menggemari melukis. Ini bukan pertama kali aku melihatnya melukis. Namun, tidak biasanya dia melakukannya di ruangan tertutup. Taman atau halaman depan menjadi tempat pribadinya melukis.

Sebagai seorang seniman, memang membutuhkan ketenangan. Sendirian. Ditemani angin yang selalu lewat, terkadang mengganggu sang seniman. Kuda, hewan yang ada di keraton, satu-satunya kepunyaanku di sini, menjadi objek lukisannya. Menurutku, kuda adalah hewan yang paling indah, berwibawa, dan tidak pernah lelah.

Semangat kuda membuatku terpacu untuk terus belajar mencintai Mas Prabu.

"Mas tahu kamu suka kuda. Menungganginya setiap saat. Bahkan kabur bersama kuda ketika Ayah Wiratama memanggilmu," ucap Mas Prabu sambil tersenyum.

Lukisan itu sudah selesai sebelum aku masuk ke ruangan itu. Namun, aku bisa melihat raut wajah Mas Prabu seperti merasakan ada yang kurang.

"Mas butuh coretan tanganmu di ujung lukisan ini," perintahnya.

Aku bingung, harus memulainya dari mana. Tanganku digenggam Mas Prabu, dibawa memegang kuas. Warna emasnya begitu cerah.

"Peganglah dengan lembut," pesannya.

Nirmala : Gamelan Ayu Banowati [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang