Yonsei University, Seoul, Korea Selatan.
Rifky An Nawawi memandang gedung tinggi yang menjulang di hadapannya dengan senyum getir. Cita-citanya untuk melanjutkan studi ke negeri orang akhirnya terwujud, tapi dia tak bisa menahan rindu pada tanah air, pada orang tuanya di Malang, terlebih pada sosok ummi yang selalu mendoakan tiap langkahnya. Ia menarik napas panjang, mencoba meresapi suasana asing di sekitarnya.
"Indonesia, ya?" Suara lembut namun penuh ketertarikan terdengar dari samping, membuat Rifky sedikit tersentak. Di depannya, seorang gadis dengan rambut panjang dan mata bersinar tengah tersenyum tipis.
"Iya," jawab Rifky pelan, agak salting melihat si gadis yang menatapnya tanpa segan. "Lha, sampean juga orang Indonesia?"
"Betul! What a small world, kan?" Gadis itu menyambung sambil tertawa kecil. "Aku Afkarina Lorenza, biasa dipanggil Afka."
"Aku Rifky," jawab Rifky, mencoba menjaga suara tetap tenang meski tiba-tiba muncul rasa geli yang sulit dijelaskan. "Wong Malang."
Mendengar aksen Jawa yang kental itu, Afkarina hanya terkekeh, seolah menemukan sesuatu yang unik dari Rifky.
"Jadi... apa yang bikin kamu datang jauh-jauh ke Korea, Gus?" tanyanya, mata berbinar penasaran.
Rifky tersenyum kecil. "Gus? Kok langsung Gus?"
Afkarina terkekeh pelan, seakan memeriksa Rifky dari ujung kepala hingga kaki. "Ah, feeling-ku aja. Kamu kan kelihatan banget aura-aura... solehnya," ucapnya sambil mengedip genit, membuat Rifky otomatis mengalihkan pandangan, menunduk untuk menutupi semburat merah yang merambat di pipinya.
"Lha... kok iso-isoan... kenapa ini malah salting?" pikir Rifky sambil tertawa kecil dalam hati.
"Serius, Gus. Biarpun beda keyakinan, aku selalu penasaran, gimana sih rasanya punya keyakinan sekuat itu?" tanya Afkarina, kali ini suaranya lebih lembut dan penuh kesungguhan. "Seperti kamu misalnya... bisa pindah ke negara lain tapi tetap kuat dengan apa yang kamu yakini."
Pertanyaan itu membuat Rifky terdiam, menghadap ke Afkarina yang menatapnya dengan ketulusan. Mereka hanya bertatapan beberapa detik, tapi waktu seolah melambat, mengunci keduanya dalam sebuah ikatan tak kasat mata. Rifky tak ingin terlihat berlebihan, tapi dia tahu ada sesuatu yang spesial di sini.
"Seperti kunci yang ngunci pintu, mungkin," jawab Rifky sambil tersenyum tipis. "Sederhana tapi pasti. Meskipun di tempat jauh, kamu tetap tahu pintu mana yang harus kamu tuju."
Afkarina tersenyum lagi, dan kali ini senyumnya meneduhkan hati Rifky. Ada sesuatu dalam tatapan gadis ini yang membuatnya ingin mengenal lebih jauh, meski ia tahu, di balik semua ini, ada batas yang tak boleh ia langkahi.
"Gus Rifky An Nawawi, ya?" Afkarina mengulangi namanya sambil tersenyum nakal, seakan ingin memastikan dia mengingat nama itu baik-baik.
"Iya," jawab Rifky sambil tersenyum. "Gus yang salting kalau diajak ngobrol sama mbak Afka yang... ya, begitu..."
Afkarina tertawa lepas, membuat pipi Rifky semakin merah. Mungkin ini hanya awal dari kisah mereka, tapi dia tahu bahwa momen kecil ini akan tertinggal di hatinya.
---
Pertemuan mereka mungkin sederhana, tapi di balik setiap senyum dan canda, ada banyak hal yang belum mereka sadari. Dan mereka pun tak tahu, bahwa sebongkah rasa baru saja tumbuh-rasa yang akan menguji hati, keyakinan, dan batas mereka sebagai dua insan yang berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
101 Love Lock
RomantizmPlagiat hustt pergi !!! > "Gus... kamu tuh nggak kepikiran buat tinggal di Korea aja, gitu?" Afkarina bertanya sambil melirik Rifky dengan senyum nakal. > Rifky tertawa, "Wong Jawa kok disuruh tinggal di Korea terus-terusan. Tak kidungin kamu di sin...