Rifky kembali ke Indonesia, langsung menuju Pondok Pesantren An Nawawi di Malang. Pondok ini sudah seperti rumah kedua baginya, tempat ia tumbuh dan menyerap nilai-nilai agama yang kuat dari ayahnya, seorang kiai terkenal di Jawa Timur. Namun, setelah pulang dari Korea, ada yang terasa berbeda dalam diri Rifky. Bayang-bayang Afkarina, dengan segala perbincangan, senyum, dan candaannya, masih saja menari di benaknya. Bukan hanya tentang siapa dia sebagai teman, tapi lebih dari itu, sebagai seseorang yang mulai hadir dalam hati.
"Rindu itu... seringnya baru terasa waktu nggak bisa lihat senyumnya lagi," bisik Rifky dalam hati sambil memandangi langit-langit kamarnya.
Malam di pondok begitu tenang, dengan suara angin yang menderu halus di antara daun-daun. Rifky berusaha merapikan pikirannya, mengingat kembali peran yang harus ia jalani sekarang. Ada ummi yang menunggu kasih sayangnya, santri-santri yang menantikan bimbingannya, dan amanah besar dari ayahnya untuk melanjutkan kepemimpinan pondok suatu hari nanti. Namun, sesekali, bayangan Afkarina muncul seperti sekilas, mengusik ketenangannya.
---
Di sisi lain, di Korea, Afkarina tak bisa mengabaikan rasa kosong yang mendadak muncul sejak kepergian Rifky. Setiap sudut kampus terasa berbeda tanpa kehadiran sosoknya. Afkarina berusaha mengalihkan pikirannya dengan kembali berkumpul bersama teman-temannya dan fokus pada tugas-tugas kuliahnya, namun semuanya seperti terasa hambar. Ada kekosongan yang ia sendiri tidak bisa jelaskan.
"Eh, Afka... kok kamu kayak nggak biasanya sih? Biasanya kan rame banget, ini malah diem terus," komentar sahabatnya, Minji, sambil menatap heran.
Afkarina tersenyum tipis, mencoba menutupi perasaannya. "Nggak apa-apa, Minji. Cuma lagi kepikiran tugas aja."
Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukan soal tugas. Ia merindukan seseorang yang pernah mengatakan padanya bahwa kebaikan hati tak bisa dilihat dari agama atau kepercayaan. Seseorang yang membuatnya merasa dihargai dan diterima apa adanya, tanpa harus mengubah apapun tentang dirinya.
"Kenapa sih dia harus pulang secepat itu?" gumam Afkarina pada dirinya sendiri sambil menatap kosong ke luar jendela apartemennya.
---
Kembali di Malang, Rifky mencoba menyesuaikan diri dengan rutinitas pondok yang begitu padat. Setiap hari, ia mengajar santri-santri muda, membimbing mereka dalam mempelajari kitab, dan menghabiskan waktu bersama keluarganya. Namun, sering kali, saat merenung di sela-sela kesibukannya, ia merasa ada bagian dari dirinya yang tertinggal di Korea.
Suatu malam, saat Rifky sedang duduk di serambi pondok sambil merenung, adiknya, Hilmi, datang dan duduk di sampingnya.
"Kak Rifky, aku perhatiin akhir-akhir ini kok beda, ya?" Hilmi menggodanya sambil tersenyum.
Rifky tersenyum tipis, tahu ke mana arah pembicaraan ini akan menuju. "Maksudnya beda gimana, Hil?"
"Ya beda aja, biasanya kalau pulang dari luar negeri, Kakak cerita banyak. Tapi sekarang malah lebih sering diem sendiri. Jangan-jangan di Korea ketemu sama seseorang?" Hilmi menyenggolnya, menampilkan senyum jahil yang khas.
Rifky tertawa kecil, namun dalam hatinya ia tahu bahwa ucapan Hilmi tidak sepenuhnya salah. "Ah, nggak lah, Hil. Cuma lagi banyak mikir aja soal pondok, Ummi juga lagi butuh perhatian lebih."
Namun, Hilmi tidak begitu saja percaya. "Iya sih, tapi aku lihatnya kok beda ya? Yaudah, kalau Kakak nggak mau cerita, nanti aku tanya Ummi aja, siapa tahu Ummi tahu sesuatu."
Rifky hanya bisa tertawa menanggapi godaan adiknya, namun setelah Hilmi pergi, senyum di wajahnya perlahan pudar. Ia tahu, perasaan ini bukanlah hal yang sederhana. Ada rindu yang perlahan-lahan tumbuh, meski ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
101 Love Lock
RomancePlagiat hustt pergi !!! > "Gus... kamu tuh nggak kepikiran buat tinggal di Korea aja, gitu?" Afkarina bertanya sambil melirik Rifky dengan senyum nakal. > Rifky tertawa, "Wong Jawa kok disuruh tinggal di Korea terus-terusan. Tak kidungin kamu di sin...