"Janjinya apa kemarin, Dayana" suara Kaivan mengalun lembut di telingaku. Meski suaranya lembut, tubuhku malah merinding mendengarnya. Entah kenapa itu tampak terdengar seperti sebuah ancaman bercampur sindiran.
Iya, aku salah. Hampir saja aku mengungkapkannya pada Sasha. Aku mengepalkan tanganku agar gemetar yang kurasakan tidak terlihat olehnya.
"Aku nggak ngomong apa-apa ke Sasha" elakku.
Kaivan mengangguk-angguk kecil sambil tersenyum dengan sangat manis.
"Oh gitu" ia menatapku santai seolah-olah tidak percaya.
Ia malah mendekatkan tubuhnya padaku membuat kakiku bergerak mundur beberapa langkah.
"Stop. Berhenti. Jangan maju" ucapku. Namun, Kaivan tidak menghentikan langkahnya. Ia terus maju hingga membuatku terpojok.
"STOPPPP. BERHENTI ATAU AKU LAPORIN KE IBU" teriakku dengan suara yang sedikit tercekik.
Mendengar itu, Kaivan menghentikan langkahnya dan terdiam sejenak. Kupikir ancamanku berhasil menghentikannya. Akan tetapi, tak lama ia terkekeh pelan hingga membuatku merinding.
"Emang kalau lapor ada yang percaya?" ucap Kai dengan senyum kecilnya yang manis.
Kaivan menyeramkan. Benar-benar menyeramkan. Aku tidak menyukai senyum yang ia tunjukkan saat ini, senyum itu membuat seluruh bulu kudukku merinding.
Aku menggeleng pelan menatap wajahnya. Bisa apa aku, dipikir-pikir juga ibu sepertinya akan lebih mempercayai Kaivan dibandingkan diriku.
"Ayo bilang ke orang-orang. Kita lihat siapa yang percaya. Mari lihat keberanianmu itu" ucapnya.
Aku menggeleng kecil, tidak mau mencari masalah pada orang yang sudah jelas kulihat dia bisa melakukan hal menyeramkan itu.
Kaivan meraih rambutku sejenak dan mengelusnya pelan.
"Dayana" panggilnya.
Ia menatap mataku dengan mata indahnya. Rasanya seluruh diriku tersedot dalam lingkaran matanya.
Tiba-tiba satu tangannya meraih kedua pipiku dan mencengkramnya kencang.
"Ukh," rasa nyeri bercampur takut kembali menyelimutiku. Tubuhku bergetar hebat dengan tanganku yang berusaha melepaskan cengkramannya.
Kaivan memiringkan kepalanya melihat reaksiku, lalu kembali tersenyum.
"Lucu" ungkapnya tanpa melepaskan cengkraman tangannya dari pipiku. Ia lagi dan lagi tersenyum dengan tatapan matanya yang sama sekali tidak terlepas dariku.
Entahlah sepertinya Kaivan senang melihatku ketakutan seperti ini.
"K-kai" panggilku memberanikan diri.
"Sakitt," suaraku yang memelas dengan mata yang menatapnya sayu sepertinya berhasil membuatnya sedikit luluh(?).
Ia memberi respon yang berbeda dengan ekspresinya di awal tadi. Cengkramannya di pipiku melonggar. Namun, itu hanya sejenak sebelum ia menarikku untuk lebih dekat padanya.
Aku tidak suka atmosfer seperti ini, Kaivan seakan mendominasi seluruh area disini.
"Sakit?" tanyanya yang tentu saja itu adalah pertanyaan retoris.
Ia pun menepuk-nepuk pelan pipiku, "maaf" ucapnya dengan alis yang sedikit berkerut.
Aku terdiam, permintaan maaf yang setengah hati itu bahkan membuatku semakin merinding. Ia tidak akan melakukan hal menyeramkan yang aku lihat di tempat itu padaku kan?
Jujur saja. Aku bingung menghadapi Kaivan. Apakah memang sebenarnya aku belum mengenal Kaivan dalam waktu yang cukup lama? Ataukah Kaivan yang ini sebenarnya bukan Kaivan?
KAMU SEDANG MEMBACA
DAYANA
Teen FictionDayana dan Kaivan saling kenal sejak SMP, tetapi sekarang sepertinya perilaku Kaivan semakin menjadi-jadi. Kenapa sih dia selalu mengganggu Dayana? Namun, semakin lama Dayana merasakan ada yang aneh. Sepertinya sifat Kaivan yang ia tunjukkan bukanla...