Kalia melepaskan tangannya dari botol kristal dan menjauh dari pohon, memegang botol kecil itu dengan hati-hati.
SSTTT!
"Aku harus pergi sekarang. Ini benar-benar waktunya untuk pergi. Oh ya, kalau ada yang bertanya tentang aku, tolong beritahu anak-anak untuk tidak membicarakanku. Untuk berjaga-jaga."
Pohon itu merespons dengan suara gemerisik, dan Kalia tersenyum menanggapinya.
Setelah mengucapkan selamat tinggal, Kalia mengambil langkah pertamanya menjauh dari pohon. Namun, saat ia berjalan beberapa langkah, kepalanya tiba-tiba menoleh.
Di bawah tirai linen yang bergoyang, ada seorang pria berambut merah bersandar di dekat jendela. Ia memegang segelas anggur di tangannya, dan tatapannya bertemu dengan tatapan Kalia saat dirinya pergi.
Pria itu tidak tampak terkejut sama sekali. Sebaliknya, ia tersenyum santai dan menyesap anggurnya. Seolah-olah mereka hanya melakukan kontak mata secara kebetulan, tampak acuh tak acuh.
Namun, suhu tatapannya yang terus-menerus terasa dingin.
Kalia menutupi wajahnya dengan topinya yang diturunkan seolah-olah ia tidak melihat pria itu dan berjalan dengan tenang menuju kereta yang menunggunya.
***
Pria berambut merah itu mengikuti Kalia dengan matanya saat wanita tersebut menaiki kereta. Kilatan tajam di mata, di bawah alisnya yang tebal, semakin kuat.
Siapa wanita itu?
Mengenakan topi bertepi lebar, tidak sepenuhnya terlihat, tetapi wanita itu memiliki siluet yang khas dan indah. Sepertinya ia sangat menyukai pohon itu. Caranya membelai dan melihat si pohon sambil berbicara tidak bisa lepas dari pandangannya.
Ruangan ini dipilih secara khusus oleh sang pria. Memiliki pemandangan alun-alun yang terbaik, tanpa ada yang bisa menghalangi pemandangan pohon-pohon. Pilihan ini dibuat untuk mengamati dari dekat, untuk melihat apakah pohon itu benar-benar Pohon Peri.
TOK! TOK!
Damon masuk setelah mengetuk pintu.
"Aku membawanya."
Di belakangnya, Damon menyeret seorang wanita berambut putih, berkulit gelap, bermata biru, dan sayap yang patah. Wanita itu menangis. Merangkak ke kaki pria itu, memohon dengan mata merah:
"To-tolong ... selamatkan aku."
Pria berambut merah, Buford Adio, menatap wanita itu dengan ekspresi geli.
"Kami di sini untuk membantumu. Sekarang, berdirilah di sini dan lihatlah pohon itu."
Buford mengangkat tubuh wanita itu dengan kuat dan mengarahkannya menghadap pohon.
Dengan mata berkaca-kaca, wanita itu menatap pohon itu dengan susah payah.
"Apakah kau melihat peri?"
Mengintip ke pohon melalui matanya yang berlinang air mata, ia menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak bisa melihatnya dengan baik."
"Oh, begitu. Melina, jika kau tidak bisa melihat peri, usaha kami membantumu akan sia-sia. Ayo, perhatikan baik-baik. Pelajarilah," Buford berbisik manis dan menunjuk ke Damon, yang berdiri di dekatnya.
Wanita itu menggumamkan mantra, dan kilatan petir menyambar pohon itu. Pada saat itu juga, perisai semi transparan mengelilingi pohon dan segera menangkis petir.
Buford tidak bereaksi terhadap munculnya perisai tadi, dan ia menatap pohon itu dengan tenang.
Pada saat itu, mata si wanita membelalak. Di bawah pengaruh petir, daun-daun pohon berguguran seperti hujan lebat. Menatap pemandangan itu, ia secara tidak sengaja bergumam, "A-anak-anak itu ... yang di sana ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Baby isn't Yours
Fantasy"Bayi ini bukan milikmu." Mata Simon berkilat dingin mendengar ucapanku. Kelihatannya ia tersenyum, tetapi dengan intonasi aneh dan membekukan, Simon bertanya, "Oh, benarkah?" Suara rendah dan teduh itu, berpura-pura lembut. Kemarahan dalam suarany...