Luze mengambil nampan makan siangnya. Ia dapat mendengar beberapa siswi di sebelahnya berbisik dengan takut, mengeluh tentang beberapa potong sayur yang tidak disukainya. Bisikan-bisikan itu sebenarnya sudah berkurang drastis semenjak kejadian Tresnia. Luze juga tidak mendapati lagi siswi memuntahkan makanannya diam-diam di kamar mandi, seolah tempat tersebut telah dikutuk oleh bekas-bekas Potrait Monsieter Ave.
Luze hampir saja menabrak antrian di depannya karena seseorang mendorongnya. Luze menoleh, Tresnia ada di belakangnya. Wajahnya pucat dan warna rambutnya memudar, seolah tersiram abu gunung. Bibirnya kering dan bergetar lirih, "Makanan ... aku lapar ...."
Bisik-bisik tadi berhenti seketika, menjadi kesunyian yang dicekam rasa ngeri. Apa yang dialami oleh gadis ini di ruang pengasingan tanpa makanan? Apa yang menjadikan kondisinya berubah hingga menjadi seperti ini hanya dalam kurun waktu sehari? Tidak ada yang ingin membayangkannya.
LUZE bergegas keluar dari antrian dan mengambil posisi duduknya.
"Makan sendiri lagi?" Gadis itu meletakkan nampan makanannya, menarik kursi, dan duduk di sebelah Luze.
"Maksudmu aku harus berbagi dengan siapa?" tanya Luze balik.
"Bukan 'sendiri' yang itu maksudnya."
"Lalu yang mana?"
"Sudahlah, aku pusing jika kau mulai berbicara mengenai 'bahasa-bahasa.'"
Gadis itu Remy Grenier, siswa dari kelas Birthwien. Mereka bertemu saat Remy mendapat tugas praktik dan saat itu Luze sedang terkapar di ruang kesehatan karena jatuh menggelinding dari tangga, dan esok-esoknya mereka menjadi lebih sering bertemu.
"Luze," panggil Remy.
"Hm."
Tidak ada jawaban untuk beberapa saat.
"Buku-buku yang kau rekomendasikan kemarin ...."
"Bagaimana? Buku-buku yang hebat, kan? Kau harus berterima kasih padaku karena sebagian nilai bagusmu karena aku menyarankan buku-buku medis itu. Tanaman-tanaman yang luar biasa bukan?" Luze tersenyum manis.
Luze menatap cermin Bola Waktu. Sebentar lagi mereka harus pergi ke ruang latihan. Luze dan Remy segera menyelesaikan makan siang mereka.
"KALIAN tentunya sudah mempelajari di kelas-kelas sebelum ini, tentang apa sebenarnya Potrait itu."
Kali ini Monsieter Yara yang merupakan Monsieter kelas Feinien yang bertugas mengawasi praktik pertama yang melibatkan senjata.
"Karena Potrait adalah sel yang tertidur dan sel tersebut seperti mesin. Ia perlu dipanaskan terlebih dahulu setiap kali kalian hendak menggunakannya. Tetapi di medan perang, musuh tidak akan menunggu kalian merenggangkan otot sekalipun. Karena itulah senjata diciptakan sebagai wadah Potrait. Saat kalian mengaktifkan kata kuncinya, energi yang telah tersimpan di dalam senjata akan aktif."
"Saat ini di hadapan kalian ada berbagai macam benda. Kalian akan menjadikannya milik kalian hingga seterusnya. Tidak ada waktu untuk memilih. Siapa yang tercepat ia yang mendapatkannya"
Para siswa dan siswi itu seketika merangsek maju, berusaha mendapatkan senjata incaran mereka. Kilat-kilat Potrait yang berwarna-warni menyambar-nyambar. Namun, Luze masih berdiam diri di tempatnya.
Kira mengeong. Ia melompat ke atas kepala Luze dan dengan santainya melingkar, lantas memejamkan mata.
'Bukan menunggu, Luze, tetapi mencari kesempatan terbaik.' Suara itu terngiang di telinga Luze.
Mata ruby Luze berkilat. Lecutan cahaya merahnya menyambar secepat kilat. Luze tersenyum menatap benda di dalam genggamannya. Sebuah cello dengan pelitur yang sudah mulai memudar. Memang bukan senjata, tetapi Luze mendapatkan apa yang ia perlukan.
"Baiklah. Kalian sudah mendapatkan senjata kalian masing-masing." Monsieter Yara melirik Luze yang hanya tersenyum memasang wajah polosnya, memeluk cello tua tesebut. "Langsung saja mempraktikkannya. Alirkan Potrait kalian pada senjata kalian masing-masing, seperti melakukan pernafasan perut, alirkan saja gejolak Potrait yang kalian rasakan, berbicaralah pada senjata kalian. Anggaplah mereka sebagai bagian dari anggota tubuhmu!"
Menakjubkan! Salah jika berpikir benda itu akan semakin berat, sebagaimana saat seseorang memasukkan beban tambahan. Namun, Luze dapat merasakan cello miliknya begitu ringan, ia bahkan bisa mengangkatnya dengan sebelah tangan.
Monsieter Yara mengangkat pedangnya. Cahaya kuning bersinar menyelubungi mata pedang.
"Tugas hari ini mudah saja."
Monsieter Yara melemparkan pedangnya. Pedang itu melaju kencang, cahaya yang menyelimutinya memercik bagai sambaran kilat, meluncur menembus tepat di bagian pusat papan sasaran.
"Cepat dan akurat. Ledakan yang membabi buta tidak sepenuhnya bagus. Terkadang seseorang harus mengendap-endap dan hanya menyerang titik-titik tertentu. Lubangi tengah sasaran kalian tanpa menghancurkannya."
HILDE memperhatikan penjelasan Monsieter Yara dengan antusias. Ia mengangkat pedangnya dan berusaha menyalurkan kekuatannya sesuai dengan arahan yang telah diberikan oleh Monsieter Yara.
Gaya bertarung Hilde layaknya ledakan spontan, seperti bom yang dilempar dan memiliki dampak yang besar. Memusatkan kekuatan dan meminimalisir kerusakan adalah tantangan tersendiri baginya.
Potrait Hilde yang menyelimuti pedangnya menyambar-nyambar. Hilde menghirup nafas dalam-dalam. Monsieter Yara berkata bahwa senjata dan Potrait adalah bagian dari diri mereka, maka seharusnya ia memiliki kendali untuk memerintakannya.
'Tenanglah!'
Hilde melemparkan pedangnya. Matanya fokus tertuju kepada pusat sasaran yang berbentuk spiral tersebut. Tepat sebelum pedangnya menyentuh sasaran, Hilde terbelalak.
Terdengar alunan cello yang begitu lembut, berhasil membuai dan mengalihkan perhatian beberapa siswa untuk menoleh kepada pemainnya. Siapa yang memainkan cello di tengah latihan seperti ini? Siapa yang memainkannya dengan begitu baik?
Luze yang tersenyum tenang menggesekkan cellonya. Ia menerapkan Potraitnya ke dalam getaran yang dihasilkan dari setiap gesekannya. Lecutan Potrait merah berayun melubangi papan sasaran Luze.
Bersamaan dengan itu sebuah dentuman keras terdengar begitu nyaring. Papan sasaran Hilde hancur berkeping-keping. Monsieter Yara menatap murid kelasnya itu. Raut wajah keduanya sama. Kecewa.
Mereka akan mengira Hilde kehilangan fokusnya karena nada-nada itu. Namun, tidak. Ada sesuatu yang lebih mengerikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crivelli The Prevention Project [TERBIT]
Fantasia'Saat melewati bangunan yang megah, seseorang tidak lagi bertanya mengenai pondasi yang baik yang berada di bawahnya.' Di hari kelulusannya, Grace menerima sebuah buku dari Monsieter Lyra. Buku yang menceritakan sejarah mengenai Akademi Crivelli. Na...