Bab 3

22 5 2
                                    

Keluarga dan para wali hanya diperbolehkan mengantar sampai di luar gerbang. Kedua Monsieter yang bertugas menyambut di depan gerbang benteng raksasa, yang hanya bisa dibuka dengan Potrait khusus.

Namun, hal tersebut tidak berarti banyak bagi Luze. Tidak ada keluarga ataupun wali. Kedudukan Bibi Kopi baginya hanyalah inang rumah tempatnya tinggal, dan wanita tua itu harus membuka tokonya.

Setelah berbagai drama perpisahan telah selesai dan hanya tersisa para calon siswa, Seorang Monsieter itu merapalkan kalimat-kalimat rumit, cahaya ungu menyeruak dari tubuh mereka, berbentuk seperti lecutan cambuk, menjalari pintu gerbang yang terbuat dari batu. Batu tersebut secara perlahan tergeser, mengeluarkan bunyi gesekan yang mirip auman singa dalam gua, sementara itu Monsieter yang seorang lagi menggiring para calon siswa seperti kawanan biri-biri, memasuki benteng Akademi.

Luze melirik ke belakang. Gerbang itu telah ditutup kembali, hanya saja tampilannya berbeda, dari dalam tidak tampak satu pun garis pintu, seolah batu besar tadi menyatu dengan bagian benteng lainnya. Mungkin jika ia kembali lagi kemari setelah menyelesaikan masa pembelajarannya, ia akan lupa bahwa pernah ada satu pintu di tempat tersebut.

Terdengar bisik-bisik yang semakin lama semakin keras seperti dengungan lebah dari barisan depan.

"Apa maksudnya semua ini? Jurang?" pekik seseorang.

Para calon siswa itu refleks berjalan mundur, menyebar ke samping, membukakan jalan bagi Luze untuk melihat keadaan sebenarnya.

Di hadapannya, berjarak sekitar seratus meter, berdiri menara Akademi Crivelli yang menjulang tinggi. Luze tidak dapat melihat puncaknya untuk saat ini. Namun, yang membuat para calon siswa tercegang bukanlah menara yang terlihat menakjubkan tersebut, melainkan jurang pemisah yang mengelilingi menara.

Luze tersenyum kecil, membayangkan dirinya tersandung untuk saat ini dan dengan tidak sengaja mendorong seorang gadis di hadapannya akan menyebabkan akhir yang dramatis.

Kedua Monsieter itu berdiri tepat di pinggir jurang, sekali lagi merapalkan kalimat-kalimat, cahaya Potrait melecut keluar. Terdengar bunyi gemuruh dari arah bawah sana, batu-batu raksasa terangkat, seperti potongan puzzle, menyatu satu sama lain, membentuk jalan setapak dengan rapi.

Luze asyik memperhatikan gerakan mereka. Menarik sekali, para Monsieter itu menggunakan Potrait mereka untuk melakukan sesuatu yang tidak biasanya dilakukan para pemilik Potrait.

Tidak ada yang berani melangkah lebih dulu sebelum Monsiter-Monsieter itu. Setelah memastikan jalan di hadapan mereka kokoh–yang tentu saja kokoh–para calon siswa itu barulah berani menapakkan kaki, mengikuti langkah-langkah cepat kedua orang Monsieter tersebut seberti kawanan semut.


JIKA dihitung, mungkin perjalanan dari ujung ke ujung hanya satu dua menit, tetapi harus berbaris rapi–kecuali jika ada yang mau terpeleset ke bawah sana–dengan total empat puluh orang calon siswa, membuat perjalanan memerlukan waktu yang sedikit lebih lama.

Sesampainya di depan menara, Luze menyadari bahwa menara itu memang benar-benar besar. Mungkin memerlukan waktu setengah hari untuk berhasil mengelilinginya. Sayangnya sinar matahari menghalangi pandangan Luze untuk menatap ke atas.

Belum berhasil menuntaskan rasa ingin tahunya, pintu di hadapan mereka terbuka. Seorang Monsieter wanita menyambut dan mempersilakan mereka masuk.

Luze dan yang lain digiring menuju ruangan luas dengan panggung dan podium serta bangku-bangku memanjang yang berjejer-jejer, Para gadis duduk di sisi kiri dan para lelaki di sisi kanan. Total bangku-bangku panjang itu ada lima baris di setiap sisi. Di atas bangku-bangku tersebut tersedia seragam akademi, masing-masing empat seragam di setiap bangku. Para calon siswa itu dengan otomatis mengambil tempat duduk masing-masing. Satu bangku empat orang.

Luze mendengar desas-desusnya, Akademi Crivelli memiliki aturan yang rapi dan ketat. Ia berdecak, bahkan pada jumlah muridnya?

Tidak ada waktu untuk berbincang. Gadis di samping Luze sepertinya ingin berkenalan, tetapi lelaki tua bertangan satu yang dikenali Luze sebagai utusan Crivelli ke kedai kopi tempo hari, Monsieter Soleil Andergard, menaiki panggung, diikuti tiga Monsieter Soleil lainnya. Monsieter Soleil Andergard berdehem, menciptakan suasana hening–sama seperti di kedai kopi kemarin.

"Selamat datang di Akademi Crivelli, putra-putriku, para pejuang, para ...."

Ujung bibir Luze membentuk senyum kecil. Sungguh kekuatan yang hebat, bahkan ia mengakui bahwa dirinya terpikat, kalimat-kalimat sambutan itu mengalun indah, bagaikan angin yang sedang memainkan melodi alam, menggiring perasaan dan pemikiran. tanpa terasa dipaksa, untuk mendengarkan perkataannya dengan seksama. Bukti nyata dari gelar 'Soleil' yang disandangnya.

"... setelah mengenakan seragam itu, maka kalian telah resmi menjadi bagian dari Akademi ini."

Seragam Akademi Crivelli berwarna hitam pekat, terdiri dari potongan atas bawah, kemeja hitam, blazer hitam, bawahan rok panjang untuk siswa perempuan dan celana bagi siswa laki-laki, ditambah aksesoris berupa dasi yang juga berwarna hitam.

Luze merabanya, kain dari seragam ini tak ubahnya seperti kain-kain seragam seperti yang ia kenakan di Graduate A, hanya saja Luze dapat merasakan bahwa dalam setiap jalinan benangnya, Seragam Crivelli diliputi oleh Potrait.

Begitu disentuh, seragam itu seolah memiliki sensor, cahaya ungu memancar menyelubungi tubuh para siswa. Dalam sekejap, kain hitam itu telah terpasang, begitu pas dan nyaman di masing-masing tubuh pemiliknya.

Monsieter Soleil Andergard bertepuk tangan. Ia memerintahkan agar para siswa maju satu persatu ke atas panggung.

Para Monsieter Soleil bergantian menepuk puncak kepala mereka, dan begitu siswa yang memiliki Potrait yang sama dengan Monsieter Soleil yang menyentuhnya, maka seragam mereka sekali lagi bersinar, membentuk larik warna di tepi seragam, sesuai dengan warna Potrait masing-masing. Dengan bangga, sang Monsieter akan menyematkan emblem yang menunjukkan simbol kekuatan mereka.

Luze menaiki panggung. Monsieter Soleil Andergrad yang menepuk kepalanya pertama kali, dan juga untuk terakhir kali. Larik merah bersinar membentuk pola pada seragam Luze. Monsieter Soleil Andergrad tersenyum lebar, disematkannya emblem dengan ukiran kuda merah pada seragamnya.

"Aku menunggu langkah-langkahmu yang menakjubkan, Nona Luze Charlotte."


Crivelli The Prevention Project [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang