01

138 5 0
                                    

One Year Later ...

Degung pesawat terbang dan mendarat merupakan latar pembuka kisah dimulai.

Manik mata biru seperti laut malibu itu menatap ke segala arah, mencari keberadaan seseorang yang sejak tadi dia nantikan. Dia adalah seorang gadis cantik dengan tubuh ideal yang menjadi idaman para lelaki di kota malaikat tersebut.

Rambut cokelat panjang dengan poni yang khas tergerai bebas di punggung. Dalam balutan sweater kuning serta celana jeans dirinya tampak seperti anak gadis metropolis yang baru saja kembali dari liburan musim panas. Tangan kirinya menarik koper hitam besar, sementara tangannya yang lain menggenggam ponsel– berusaha menghubungi seseorang yang seharusnya sudah datang menjemput dirinya satu jam yang lalu.

Lama menunggu pada bagian kedatangan akhirnya gadis itu dapat bernapas lega ketika mendengar namanya diserukan. Sosok wanita cantik dengan garis wajah yang tak jauh berbeda darinya berjalan mendekat dengan senyum lebar menampilkan aura seorang ibu yang begitu merindukan putrinya.

Wanita itu mendekap erat sang gadis saat mereka bertemu. Dia mengecup puncak kepala gadis itu dengan penuh kelembutan sembari mengusap punggungnya.

"I miss you, Zoe." Wanita itu berkata lalu menangkup wajah putrinya. "Kau semakin cantik, sayang. Mengapa merubah warna rambutmu? Ibu menyukai yang lama, sayang." Tuturan wanita itu begitu lembut seraya memerhatikan setiap detail halai rambutnya yang telah berubah warna menjadi cokelat keemasan dan membuat sang gadis tersenyum lebar.

Adalah Zoe Aurora Bryan putri bungsu Megan Bryan– Seorang dokter ahli forensik yang bekerja untuk FBI sekaligus dosen departemen ilmu kedokteran forensik dan medikolegal pada salah satu universitas ternama California.

"Apa terlihat buruk untukku?" tanya Zoe dengan suara yang begitu lembut hingga membuat sang ibu bak terhipnotis dan menggelengkan kepalanya.

"Tidak, sayang. Kau cocok dengan warna rambut apa pun itu."

Wanita tersebut merangkul Zoe dan berjalan bersama menuju mobil. Tak dia tampik adanya perbedaan sikap dari kedua putri kembarnya. Ya, tentu saja Zoe memiliki saudari kembar identik. Eve Arianna Bryan adalah nama kakak kembarnya.

Megan mengenal Eve pun Zoe, semirip apa pun kedua gadis itu dirinya tetap bisa membedakan kedua anaknya. Eve memiliki sikap yang lebih keras, berani dan tidak begitu feminim, sementara Zoe adalah sosok yang penuh kelembutan, murah senyum serta memiliki jiwa yang sangat feminis. Namun, kini Megan tak lagi membedakan keduanya berdasarkan sikap semata, melainkan dari perawakan keduanya. Eve dan Zoe telah memiliki warna rambut yang berbeda.

Dalam perjalanan mereka menuju kediaman yang terletak pada puncak bell air, Zoe sesekali melempar pandangan matanya menatap keluar jendela mobil. Tidak banyak perubahan yang terjadi dari kota kelahirannya tersebut. Masih sama seperti empat tahun yang lalu sebelum dia memilih untuk tinggal bersama dengan sang ayah di London. Tetap indah dan menjadi pusat kehidupan para selebritas dunia.

"Apa Eve tau kedatanganku, mom?" Zoe bertanya tanpa melepas tatapannya dari pemandangan perumahan elite yang mereka lewati.

"Belum. Mommy belum memberitahu kakakmu," jawab Megan dengan sedikit rasa bersalah.

"Mengapa tidak diberitahu? Eve pasti marah, karena aku datang."

"Ssttt ..." Megan menyela dan menepis ucapan putrinya. "Mengapa Eve harus marah? Eve pasti senang Zoe-nya telah kembali."

"Eve membenciku, mom."

Megan menggelengkan kepala. Namun, masih tetap fokus pada jalanan. "Eve tidak membencimu. Eve merindukan Zoe-nya."

"Mengapa kau berusaha untuk menyembunyikan kenyataan itu?" Aksen British begitu kental dalam tiap ucapan yang keluar dari bibir Zoe.

Satu lagi perbedaan si kembar, walau hanya empat tahun tinggal di Inggris, rupanya tak bisa mencegah perubahan aksen pada Zoe. Dia fasih dan bahkan melupakan aksen Amerikanya.

"Ibu tidak menyembunyikan apa pun darimu. Eve tidak membencimu. Dia menyayangimu dan tidak sabar ingin segera bertemu denganmu." Megan berucap dan tersenyum kecil pada Zoe.

Gadis itu hanya menatap sang ibu dan menghembuskan napas gundah kemudian bergumam. "Semoga saja."

• • •

"ARIANNA!" Teriakkan seorang pemuda memenuhi ruangan kelas paling ujung koridor lantai dua yang di tempati hampir seluruh kelas senior. Langkah tegas penuh kekesalannya berderap menuju tengah ruangan dan menarik lengan gadis yang dia serukan tersebut.

Gadis bernama tengah Arianna itu tersentak ketika lengannya ditarik dengan kasar dan dipaksa untuk berdiri. Dia hendak membalas seruan itu, akan tetapi kalah cepat dengan hardikan pemuda bertubuh tinggi serta bermata abu-abu di hadapannya.

"Apa kau sudah gila? Dasar jalang. Aku tau kau yang menyebarkan rumor itu selama ini!"

Arianna adalah Eve, Putri pertama Megan Bryan– Kekasih Zander Black. Gadis itu terbelalak dengan jerkah yang dia dapatkan terutama istilah kotor untuk perempuan itu.

"Apa maksudmu?"

Pemuda itu tersenyum. Tersirat jelas amarah dan rasa jengkel dalam bola matanya. "Munafik. Kau yang menyebarkan rumor tentang adikku."

Mendengar ucapan itu sontak saja ekspresi Eve berubah. Gadis berambut hitam tebal serta berponi tipis yang menutupi dahinya itu langsung saja tertawa. Sempat bertanya-tanya mengapa pemuda bermarga Cobello itu datang dan membentaknya kini terjawab sudah.

Raut wajah kesal milik pemuda itu sontak berubah kelimpungan. Sebelah alisnya terangkat ketika Eve mulai terbahak.

"Adikmu itu memang menjual dirinya," ujar Eve. Dia menutup setengah mulutnya dengan jemari tangan yang berhias warna putih di setiap ujung kukunya. "Kau memanggilku jalang, sepertinya istilah itu pantas disematkan untuk adik kecilmu tersayang." Eve masih tertawa membuat seisi kelas ikut tertawa.

Bukan lagi rahasia umum, kepopuleran Eve mendominasi setiap peringkat para gadis di Royal Golden High School. Menjadi kekasih dari Zander Black yang merupakan pemimpin dari kelompok dangerous boys atau yang sering mereka sebut the top four membuatnya semakin dikenal hingga tak dipungkiri banyak murid yang segan dan tak ingin mencari masalah dengannya. Apa pun yang terjadi, salah atau benarnya Eve, Zander– Sang kekasih akan berdiri untuk membelanya.

"YOU!" Tangan pemuda Cobello itu terangkat hendak menampar pipi Eve. Namun, seketika tertahan oleh tangan besar pemuda lain yang datang menengahi mereka. Si pemuda menoleh dan menemukkan sosok Zander tengah menatap bengah padanya.

"How dare you touch my girl, huh." Bariton Zander begitu dalam dan serak membuat si pemuda tersudut detik itu juga. Ujung bibir Zander tertarik membentuk lengkungan senyum kasihan. Dia menghempas tangan pemuda tersebut dan mendorong tubuhnya menjauh dari sang kekasih. "Jangan sentuh gadisku, apalagi berlaku kasar dengannya."

"Brengsek." Pemuda Cobello itu mengumpat. "Kau membela kekasih murahanmu itu? Gadis yang senang menyebarkan rumor tentang seseorang."

Ucapan tersebut sontak membuat Zander naik darah dan langsung menghantam wajah pemuda itu tak tanggung-tanggung. Kejadian tersebut membuat beberapa siswa terpekik tanpa terkecuali Eve.

Bogem mentah milik Zander tak henti menghujam pemuda itu hingga merobohkan dirinya dan terjatuh ke lantai setelah menabrak meja dan kursi. Eve yang melihat kejadian itu segera saja berusaha menghentikan amukan sang kekasih.

"Enough, Zander," serunya. Hanya sekali, cukup sekali Eve berucap dan mampu membuat sang kekasih menurut absolut.

Zander meludah akan rasa letihnya, karena menghantam seseorang dan menoleh pada Eve. "You okay?"

Eve tertawa kecil. "Aku baik-baik saja, seharusnya dia yang kau tanya. Anak orang bisa sekarat, jika kau memukulnya seperti itu."

"Aku tidak peduli. Tidak ada yang boleh berlaku kasar padamu, Eve. Aku akan membuatnya mencium aroma neraka dengan sangat cepat."

Zander Black, dia dominan, posesif dan sangat protektif pada seseorang yang benar-benar dia cintai.

BERSAMBUNG

VIRGINITY GAME Book 3 [17+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang