"Gimana tadi main seru?" tanya Jendral pada adik bungsunya yang tengah gelendotan di sampingnya.
Jean mengangguk ribut sambil makan chitato. "Seru, banget malah," jawab anak itu.
"Kemana aja emang?" tanya Jendral lagi.
Jean menegakkan tubuhnya, sepertinya anak itu akan siap menceritakan keseruannya tadi siang bersama teman-temannya. "Adek tadi pergi ke bioskop, terus belanja, main di playground, terus-terus makan, mana makanannya enak lagi, adek suka. Nanti kita kesana ya? Abang juga pasti suka, karena ini makanan Jepang," ucap Jean.
Jendral mengangguk saja mendengarkan cerita adiknya. "Ada lagi?"
"Ada! Sebelum pulang, tadi adek mampir dulu ke taman kota. Adek sama temen-temen beli makanan lagi di sana, ternyata enak-enak makanannya, adek paling suka telur gulung," oceh Jean lagi.
Jendral tersenyum, jika Jean bahagia ia pun ikut bahagia. Empat tahun terakhir, adik bungsunya ini menjadi pendiam dan tertutup, karena ulah oknum-oknum yang membuat mental adiknya terguncang. Selama empat tahun kebelakang, adalah masa dimana adiknya benar-benar berada di titik terendahnya. Dan sekarang, Jendral bersyukur, adiknya telah kembali menjadi adik manjanya dan bawelnya. Sekarang adiknya sudah berani membuka diri pada orang-orang sekitar, padahal dulu dia sangat takut jika melihat orang apalagi dengan jumlah banyak. Tetapi sekarang, adiknya malah mempunyai teman banyak.
"Mereka baik nggak sama lo?"
Jean terdiam beberapa detik, setelah itu ia mengangguk sedikit ragu. "Ba, baik. Sejauh ini mereka baik, kok."
"Meskipun begitu, lo harus tetep hati-hati ya. Bukannya mau su'udzon, namanya juga orang baru. Lo juga sekarang harus pintar-pinter pilih temen," nasehat Jendral.
Jean mengangguk, ia akan terus mengingat nasehat abang tertuanya untuk pintar-pintar mencari teman. Karena, Jean cukup trauma dengan kata 'teman' sebenarnya. Dan untungnya masih ada Afkar yang mau menjadi temannya sampai sekarang, meskipun Jean selalu merepotkan sahabatnya itu.
'Ceklek'
Pintu kamar Jendral terbuka, ada Jevan yang masuk dengan wajah lesu. Laki-laki itu sudah seperti kehilangan gairah hidupnya, lalu laki-laki itu menjatuhkan tubuhnya di kasur empuk kembarannya.
"Kakak lo kenapa?" tanya Jendral pada adik bungsunya.
Jean mengedikkan bahunya. "Di marahin Bunda kali, kak Jevan 'kan nakal."
Jendral tertawa, begitupun dengan Jean, mereka tertawa di atas penderitaan Jevan, hahahah ....
"Emang bangsat ya lo berdua, ini gue lagi sedih, nih," ujar Jevan.
"Kenapa sedih? Nggak jadi ya di beliin motornya?" tanya Jean dengan dengan nada mengejek.
Jevan beringsut, ia mendekati adik kecilnya itu. "Lo tau gue pengen motor?"
Jean mengangguk, ia menyunggingkan sebelah bibirnya dengan mulut yang penuh chitato. "Apa sih yang nggak adek tahu," ucapnya sok iye.
"Lah, jadi lo sedih cuman pengen motor?" tanya Jendral.
Jevan mengangguk lesu.
"Sampe guling-guling di dapur, Bang."
"Apa?!" Jendral menatap tajam kembarannya. "Malu-maluin lo!"
Jevan melotot ke arah adiknya, memang benar-benar mulut ember Jean, tuh, ya!
Sedangkan Jean tersenyum puas, bocah itu tidak ada takut-takutnya sama kakak keduanya. Beda lagi kalau sama abang pertamanya, Jendral melotot dikit aja Jean ciut, begitupun dengan Jevan. Entahlah, aura Jendral memang sedikit beda.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEVARA FAMILY
Teen FictionTidak ada yang spesial, ini hanya daily life dari keluarga Devara yang di kepalai oleh Jefryan dan ibu negara Emeline beserta ketiga tuyulnya; Jendral, Jevan, dan Jean.