Sebuah Surat Yang Aku Tulis Bertele-tele

77 16 4
                                    

Tenang saja!" kataku lirih, sambil berusaha menarik senyum walau tipis yang sedikit membuat kedua pipi tirusku terangkat. Sementara kau, di sisi ranjangku, hanya mampu berusaha untuk sedikit demi sedikit meredakan sisa guncangan akibat gerimis yang sebelumnya sempat menetes dari kedua mata bulatmu. Hmm... kau tau? Meski bagimu suasana adalah duka, namun tidak dapat kupungkiri kalau kau begitu tampak menggemaskan. Hehe. Sayangnya aku tidak punya cukup tenaga untuk sekadar membersihkan pipimu dari bekas air matamu sendiri, yang menjadi tampak begitu jelas karena buliran-buliran air itu sedikit melunturkan celak di lingkar bawah matamu. Aku tidak punya cukup tenaga untuk itu, apalagi untuk menuruti rasa gemasku dengan mencubit pipi bulatmu dan menariknya sampai kau benar-benar yakin kalau aku memang baik-baik saja.

Di sebelahmu, paman mengusap
perlahan kepalamu yang terbalut kerudung segi tiga. Barangkali aku harus berterimakasih kepadanya, karena telah membantuku menenangkan sepupu manisku. Tapi, kurasa, itu sudah sewajarnya, jadi tidak perlu. Aku sendiri masih terlalu sibuk mengamati kapas yang menutupi jarum infus yang menancap di lenganku, sebagai alternatif untuk melarikan kedua mataku dari wajahmu, atau penyakitku akan bertambah satu lagi: diabetes. Hahaha.

Jujur saja aku sangat bahagia ketika kau berkenan untuk repot-repot izin keluar pondok, yang katanya sangat pelit kepada santri-santrinya dalam urusan perizinan, hanya demi menengok tubuhku yang tengah terbaring lemah di atas ranjang kamar sebuah rumah sakit. "Kata dokter, aku hanya perlu banyak makan dan banyak istirahat," terutama beristirahat dari terus-menerus memikirkan dirimu, "agar asam lambungku lebih stabil, setelah demamku mulai turun. Dan aku akan kembali seperti biasanya." Berusaha untuk untuk menghapus perasaanku kepadamu. Hehe.

Barangkali aku telah dirawat di rumah sakit yang salah, karena jelas-jelas rumah sakit ini hanya mampu menyembuhkan jasadku. Barangkali aku harus pindah ke rumah sakit jiwa, dengan psikiater-psikiaternya yang selalu bisa menebak apa yang sedang kita rasakan dan apa yang sedang berkecamuk di pikiran kita. Haha. Bercanda.

Aku ingin menghilangkan perasaanku kepadamu, karena aku sadar, sangat-sangat sadar, walaupun kata Mahaguru kita, Tuhan mengizinkan kita berdua untuk duduk bersanding di pelaminan, tetapi tetangga-tetangga kita, yang tidak pernah salah apalagi berdosa, pasti akan bertanya kepada masing-masing kita, "apakah tidak ada orang lain yang dapat kau nikahi selain saudaramu sendiri?" Tapi bukan itu alasan utamaku.

Beberapa bulan terakhir, dengan
konstan, menurut istilah fisika, telah kau kirimkan hatimu secuil demi secuil kepada teman baikku, tanpa kau tau bahwa kami saling kenal. Setiap senja, kau titipkan setiap cuilan itu kepada seekor burung kertas yang kemudian bersarang di
laci meja kalian, sampai pagi datang, dan pangeranmu menerima surat origamimu itu. Setidaknya begitulah ceritamu kepadaku pada suatu senja saat paman mengunjungi kita di pondok masing-masing dan kemudian mengajak kita berdua ke warung
mie ayam langganan kita seperti biasa. Sebagai saudara tua, aku hanya mengangguk-angguk sambil sesekali mencari celah untuk mencuri potongan ayam seukuran dadu itu dari mangkokmu, karena isi mangkokku sudah bersih dan kering. Aku cukup bahagia melihatmu yang sangat bersemangat bercerita, sambil sesekali memukul peci di kepalaku dengan sumpit setiap kali aku berhasil mencuri. Hahaha. Kau menceritakan kisah kasih lucumu itu, saat paman pergi ke toilet, dan tiba-tiba kisah itu berhenti mengalir dari lisanmu begitu paman kembali duduk dan kemudian bertanya, "mengapa kalian langsung diam saat aku kembali?" Aku hanya tersenyum, sedangkan di sisi lain meja kau tengah berusaha mendinginkan mukamu yang sedikit memerah dengan menghisap sedotan dari segelas es teh yang tinggal esnya saja.

Pada sambangan berikutnya, kukatakan kalau dia adalah teman semejaku. Kau berteriak tak percaya dan aku hanya tertawa. Lalu masing-masing kita langsung menutup mulut saat lagi-lagi paman kembali dari toilet, "ada apa ribut-ribut! Mengapa kalian tiba-tiba ribut sendiri sampai semua orang di sini menoleh kepada kalian?"

Masihkah kau mengingatnya? Terserah apa katamu sajalah, entah kau ingat atau lupa; entah kau menafikannya atau mengiakannya; entah kau tau atau pura-pura tidak tau atau memang tidak tau. Yang jelas aku hanya ingin mengenangnya. Dan jujur saja aku benar-benar bahagia dapat melihat raut muka di dalam kerudung segi tigamu, dan tingkah polahmu setiap paman datang, mengajak kita ke warung mie ayam
langganan kita, dan paman pergi ke toilet. Menurutku, kau lucu. Menurutku, kau perempuan yang lucu apa adanya. Ataukah memang semua perempuan lucu apa adanya? Aku benar-benar bahagia pada saat menyimak kisah-kisah itu, bahkan hingga kini. Namun pada saat-saat itu aku juga merasakan cemburu dan iri, meski tidak dengan dengki. Di satu sisi aku mendukung hubungan kalian berdua, meski Tuhan sama sekali tidak merestui apa yang kalian berdua lakukan. Aku mendukung kalian sebab aku melihat sinar mata yang sama dari kedua mata kalian, meski terkadang kalian tampak saling berlawanan. Tapi bukankah, menurut teori fisika, dua magnet akan saling tarik-menarik dan bisa jadi tak terpisahkan hanya jika kedua kutubnya saling berkebalikan? Barang kali sampai sini kau akan menyela, tapi di sisi yang lain, kau sakit mata setelah melihat sinar mata kami yang sewarna, meski terkadang kami saling memalingkan muka? Iya, tapi bukan hanya sakit mata. Hehe.

Pagi tadi, setelah aku diantar oleh kang-kang pengurus pondok kemari, dokter yang memeriksa tubuhku memberikan laporannya kepadaku dan kang-kang pengurus pondok. Dari laporan itu aku pun paham bahwa hatiku barangkali terlalu dilema sehingga meminta bantuan kepada otakku untuk mencari tau tentang apa yang mesti aku lakukan, tapi dia hanya dapat menjawab 'tidak tau' setelah dirinya mendidih. Sebenarnya otak menemukan sesuatu yang cukup sesuai dengan keadaan ini: "Bersabarlah! Belajarlah! Bersyukurlah!" Tapi egoku langsung berteriak dengan lantang, "kau! Kau memang berasal dari tanah, tapi kau! Kau berbeda dengan tanah yang begitu rendah martabatnya!" Melihat itu jasadku hendak turut memberikan pendapat, tapi sayangnya dampak dari peperangan yang ada di dalam dirinya membuat jasadku kehabisan
daya; kulitku mengeluarkan keringat dingin dan lambungku terlalu banyak memproduksi asam.

Lalu sorenya kau datang menjengukku bersama ayahmu dan menangis setelah melihat pipi tirusku yang jadi makin tirus. Yah, barangkali kau sedih karena telinga kangmasmu ini tidak dapat menampung cerita-cerita asam manismu seperti biasanya. Kemudian kau pun pulang saat ayat-ayat Tuhan mulai
mengudara dari toa Masjid sebelum
matahari benar-benar tenggelam, membawa pulang wajah murungmu yang telah sedikit cerah.

Malam tiba dan aku pun sendirian di ruangan luas ini, karena memang kedua orang tuaku terlalu sibuk dengan proyek mereka di luar negeri, dan satu-satunya kerabatku yang dapat dihubungi, keluargamu, aku tak mau merepotkan kalian lebih banyak dengan menungguiku selama dua puluh empat jam. Cukuplah setiap sore seperti tadi, dan setiap pagi
kalau kalian benar-benar punya waktu. Tapi untuk besok, sepertinya memang
tidak perlu. Hehe...

Oh ya, sebelumnya aku ingin minta maaf bila selama ini aku tidak berhasil menjadi kakak sepupu yang baik bagimu. Dan maaf, bila kau menerima surat ini dalam keadaan 'tidak bersih'.

Satu lagi, jangan tanyakan kepada dokter atau perawat atau siapa pun tentang kedua telinga dan kedua mataku, yang telah dengan lancang membuatku merasa cemburu dan iri kepada kalian berdua, meski tidak dengan dengki. Mungkin inilah caraku mendukung hubungan kalian berdua, di saat Tuhan sama sekali tidak merestui apa yang kalian lakukan.

Semoga kalian berdua selalu bahagia.
Hehe.
Salam...

(bercak darah)

Anggep ae ini footnote:
~1 sambangan: Momen ketika para santri dijenguk oleh wali
santri, saudara, atau sanak famili lainnya.
~2 "...tapi sayangnya dampak dari peperangan yang ada di dalam dirinya membuat jasadku kehabisan
daya; kulitku mengeluarkan keringat dingin dan lambungku terlalu banyak memproduksi asam.": Gejala yang bisa saja muncul saat seseorang
terlalu overthinking dan stres.

Sebuah Surat Yang Aku Tulis Bertele-teleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang