Kau datang sebagai malam yang mengusir diriku, ketika aku sedang merenung, pada senja tanpa nama, tentang segala yang pernah aku injak; tanah dan rerumputan dan pasir,
bebatuan dan aspal, keramik dan karpet, juga kepala orang dan selain orang. Sehingga aku mesti menepikan seluruh lamunan itu, dan menerima mimpi-mimpi, yang kata orang lebih
indah dari kenyataan, dari juluran tangan-tanganmu; tangan-tangan tanpa wujud yang memaksa hampir segala makhluk hidup untuk menyerahkan tubuh mereka kepada bumi, atau kepada air bila makhluk itu adalah ikan.Sayangnya, tak seperti kebanyakan mereka, aku tak bisa pulang untuk tidur, karena memang di sini lah rumahku sekarang; tempat di mana rumah-rumah didirikan; gedung-gedung ditinggikan, sampai-sampai pepohonan dan rerumputan hampir tak punya tempat. Sayangnya, rumahku kini adalah tempat di mana orang-orang mengklaim, dengan surat-surat mereka, tanah ini, tanah itu; area ini, area itu, hanya milik mereka; para pemegang surat itu, dan aku? Di dalam kantong celana sobek-sobekku aku hanya menyimpan wajahmu, dan di dalam kantong
jaket kumalku hanya ada kenangan tentang hangat tangan-tanganmu, yang dulu sering kau masukkan ke situ saat kita jalan-jalan; berboncengan, pada salah satu jalan tanpa nama di kota ini, melewati ruko-ruko milik orang cina; melewati tirai-tirai air, yang turun tiba-tiba dari langit, yang semula tampak biru-biru saja; melewati pohon beringin tua di taman kota; mampir sejenak, sekadar saling menggigit dan berpelukan; saling menghangatkan di antara angin yang-mungkin karena cemburu-tega menghasut hujan untuk tetap membasahi kita meski
telah berlindung di bawah rangkaian tebal terdiri dari daun-daun dan ranting-ranting.Selain kenangan itu, di dalam kantong jaket kumalku, saat ini hanya berisi tangan-tanganku sendiri yang masih mencari-cari sisa-sisa kehangatan tangan-tanganmu yang kuharap masih berdiam di situ barang seberkas, tapi realita memberitakan: hanya dingin yang tersisa. Di dalam sana hanya tersisa dingin yang menggenggam lembut jemari tanganku yang rupanya
masih ingin terus menggenggam tanganmu.Tetapi baru saja kau berhasil mengusir diriku dari lamunanku sendiri dan memaksaku
menerima mimpi-mimpi dari julur tangan-tanganmu; baru saja aku menemukan tempat ternyaman dari yang sama sekali tidak nyaman untuk meletakkan tubuhku selama aku jalan-jalan bersama mimpi, kau-mungkin karena cemburu kepada kami-datang lagi, dan lagi, kau
mengusirku.Kau datang sebagai chinese yang mengusir diriku ketika aku mulai meringkuk pada malam tanpa nama; bersiap menerima mimpi-mimpi di pojok teras ruko. Sebuah ruko yang kukira tidak akan pernah membuka lagi pintunya, sebelum malam pergi; terusir oleh sinar matahari, melihat kegelapan terpancar dari balik dinding kaca. Dinding kaca dengan papan bertuliskan Tutup tergantung di belakangnya, dan orang-orangan dengan daster merah jambu berdiri di dekat papan itu. Ruko ini tampak tak bernafas, seperti halnya ruko-ruko lain di sekitar sini, sehingga tentu saja aku terkaget saat tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar, dan kau keluar dari balik kegelapan di dalam ruko; mendatangi tubuhku yang hampir kutinggalkan. Kau datang dengan pakaian yang serupa dengan pakaian orang-orangan di balik dinding kaca.
Hanya saja milikmu berwarna putih yang tampak tidak asing, di mataku, karena roll rambut yang memenuhi kepalamu. Kau datang membawa sapu dan beberapa kata kasar agar aku segera pergi dari tempatmu yang baru. Tempat di mana kau dapat memperoleh kepastian, bukan hanya kemungkinan, apalagi sekadar angan-angan.Iya, aku menurut. Aku kemas lagi kantukku beserta mimpi-mimpi yang belum sempat aku ajak jalan-jalan; memasukkan lagi rinduku padamu bersama kenangan-kenangannya kembali ke dalam kantong jaket; rindu yang sebelumnya sempat sedikit terobati saat kau berkenan menemuiku seorang diri, dan bukan menyuruh suamimu atau Satpol PP untuk menyeretku, meski kau sekadar menyuruhku menemukan tempat baru. Tempat yang telah kau temukan sekarang; setelah muak untuk terus-menerus duduk di bangku gratisan sebuah taman kota sambil nyemil udara, yang juga gratisan, dan mendengarkan kisah-kisah heroikku, yang cuman bualan. Aku tahu, telah begitu lama kau ingin duduk di sofa bagus ukuran dua orang di atas sebuah panggung; ditonton para tamu undangan yang kemudian menyalami kita berdua serta mengucap: samawa, ya! Hehe. Aku paham, kau ingin segera duduk bersantai di rumah
minimalis kita yang belum selesai dicicil; barangkali di depan televisi, barangkali di depan laptop atau gadget, barangkali di depan anak-anak kita; mengajari mereka berhitung dan membaca agar nantinya mereka menjadi orang yang pintar menghitung jumlah modal dan membaca nilai peluang yang sedang bersembunyi di balik jari-jari takdir; agar mereka tidak menjadi semacam diriku; seorang pecundang yang hanya bisa sok-sokan mampu menghitung jumlah sisa keberuntungan dan membaca nilai dadu dalam cangkir; atau membaca kartu apa yang kiranya sedang bersembunyi di balik jari-jari lawan.Tetapi baru saja kau berhasil mengusir diriku dari mimpi-mimpiku sendiri dan memaksaku mengikhlaskan dirimu agar kau dapat menghirup udara lebih leluasa di tempat barumu; baru saja kaki-kakiku mulai menginjak sejengkal demi sejengkal pinggiran aspal jalanan, kau datang lagi, dan lagi-lagi kau mengusirku.
Kau datang sebagai rintik hujan yang mengusir diriku ketika aku mulai mengais-ngais kenangan-kenangan tentang waktu di mana kita sepakat untuk membenci waktu yang tak mau diam saja membiarkan kita terus bersama; jalan-jalan melewati jalan-jalan tanpa nama yang saling bertemu namun gagal untuk menyatu karena terhalang oleh pohon-pohon yang berdiri di antara dua jalur berlawanan itu. Kau datang mengusir diriku ketika aku sedang menyusuri sebuah jalan yang kukira hanya akan berisi aku, selain serpihan kenangan kita, sebelum jam kecil bulat, di atas meja kecil di sisi tempat tidur para manusia penghuni kota ini, berkokok; mengingatkan mereka untuk melanjutkan kebiasaan monoton mereka setiap pagi; membuka toko, warung, kantor, jasa, dan barangkali hati. Barangkali besok kau akan melakukan sedikit perubahan dalam hari-hari monotonmu sejak tinggal di tempatmu yang baru; barangkali setelah membuka toko penuh kain beraneka macam bentuk itu, kau juga akan membuka hatimu lagi untuk diriku. Iya, barangkali. Tapi yang jelas kali ini kau hanya datang sebagai tirai-tirai dari air yang memaksaku menepi, kembali ke bawah rangkaian tebal dari daun-daun dan ranting-
ranting pohon beringin tua. Pohon yang sama di mana dulu kita mengabaikan begitu saja tempias air hujan yang didorong angin. Yang tidak sama hanya waktu yang kini telah bersekutu dengan nasib untuk memisahkan kau dan aku, sehingga kini aku hanya dapat memeluk tubuhku sendiri di bawah sini, bukannya memeluk tubuhmu. Tubuhmu sudah dipeluk orang lain. Ya, setidaknya aku tak perlu lagi mengkhawatirkan suhu tubuhmu yang bisa saja menurun. Toh kalau memang menurun, kau pasti akan mendapatkan pelukan ekstra dari kekasihmu yang sekarang. Bukan dari kekasihmu yang dulu, yang tak tahu harus pulang ke mana kini usai seluruh hidupnya, bahkan pun masa depanmu ditaruhnya di atas meja dadu pada suatu malam yang tak pernah ingin diberi nama.......
Sc gambar: https://www.pexels.com/photo/unrecognizable-man-walking-on-sidewalk-at-night-4063002/
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Surat Yang Aku Tulis Bertele-tele
Short StoryKumpulan Cerpen dengan genre acak, tapi mungkin yang jadi mayoritas bakal Agama, Bucin, dan Kritik Sosial. Enjoy Bacanya!!