What if we rewrite the stars?

25 3 0
                                    

Pagi ini, Kale tidak terlihat seperti biasanya. Jika seharusnya pagi ini Kale sudah heboh dengan segala celotehan, nyanyian, atau umpatan saat bermain game namun kali ini Kale mendadak bungkam. Di tempatnya duduknya, Kale justru terlihat serius dengan soal matematika. Tampak enggan diganggu dengan kedua earphone yang menyumpal kedua lubang telinganya.

"Kale itu malah serem kalau rajin," ujar Anka sedikit melirik ke  arah Kale yang tampak diam mengerjakan soal.

"Tandanya mood-nya lagi ga baik ya. Kenapa tuh kira-kira?" Azalea turut menanggapi.

"Crush-nya balikan sama mantannya," Anna menceletuk setelah membuka ponselnya. Jiwa intel Anna berhasil mengumpulkan informasi dalam sekejap.

Lantas semua ber-oh ria tanda memaklumi mood Kale yang tampak buruk.

Kenan kemudian datang memasuki kelas dan langsung terheran dengan sikap diam Kale yang tak seperti biasanya. Melalui isyarat mata Kenan bertanya kepada keempat temannya apa alasan yang membuat Kale tampak diam. Anka kemudian mengisyaratkan melalui gerakan jarinya dengan membuat bentuk hati kemudian memisahkan kedua tangan sehingga hati tersebut terlihat patah. Kenan yang paham lantas mengangguk maklum. Pantas saja, patah hati itu menyakitkan. Walau Kenan belum pernah merasakannya namun ia pernah melihat betapa hancur seseorang karena patah hati.

"Kale mau permen nggak? Gue punya banyak nih buat lo semua deh," Anna mencoba menawari Kale seperti membujuk anak kecil. Permen yang ia genggam Anna merupakan merk permen yang sering dimakan Kale.

"Gue suka permen itu karena Asmara," Kale berujar lesu saat menyebut nama  pujaan hatinya.

"Mau main UNO aja?" Azalea turut menawari yang dibalas gelengan lemah oleh Kale.

"Mau ngerakit lego? Gue beri baru kemarin," tawaran Raila dibalas gelengan juga.

"Udah lah cari yang lain aja, masih banyak cewek yang kebayang-bayang mantannya. Stop jadi backburner heran suka banget nyiksa diri sendiri," Anka menyerocos membuat Raila menyenggol lengannya pelan mengisyaratkan Anka untuk diam.

Kale yang mendengarnya hanya menghela napas berat. Ucapan Anka tak sepenuhnya salah. Namun, dirinya yang memang sempat berharap membuat kenyataan itu terdengar semakin menyakitkan saja.

"Push rank aja lah Kal," Kenan menawari membuat atensi Kale akhirnya teralihkan dari buku.

"Ajarin gue matematika bab dimensi tiga dong," ucap Kale kepada Kenan yang membuat keempat temannya terkejut hampir menjatuhkan rahangnya.

"Ini beneran serius patah hatinya," ucap Anka sambil berbisik melihat Kale yang tampak antusias dengan penjelasan Kenan.

Sontak semua murid di kelas 12-1 merapikan diri di tempat duduk masing-masing kala bel tanda jam pelajaran pertama berdering. Raila membelalakkan matanya terkejut kala tidak bisa menemukan buku tulis kimianya di dalam tas.

"Ka... buku tulis kimia gue nggak ada di tas," Raila berbisik kepada Anka. Lantas gadis dengan tubuh bongsor itu turut menatap Raila dengan pandangan horror.

"Hah serius Rai? Tumben banget lo ketinggalan buku gini," ucap Anka yang membuat Raila menganggukan kepalanya lesu.

Suara hels yang bergema di lantai kelas membuat seluruh atensi tertuju pada sosok wanita paruh baya dengan wajah tegas tanpa senyum. Guru kimia mereka memang terkenal killer, siapa saja yang tidak disiplin dalam pelajarannya sang guru tak ragu untuk menunjukkan ketegasannya.

"Silakan kumpulkan PR kimia kalian di meja ibu," ucap sang guru membuat para murid berbondong-bondong mengumpulkan buku tulis kimianya di meja guru.

"Ada yang tidak mengumpulkan?"

Unspoken ScriptTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang