Mikhael namanya. Pria itu adalah teman dekat Joanna sekarang. Ya, mereka memang tidak bisa setiap hari saling jumpa. Namun setiap minggu mereka pasti bertatap muka selama satu bulan ke belakang. Membuat Jeffrey merasa terkhianati tentu saja. Meski, mereka sudah putus sebenarnya."Pak Jeffrey tadi ke sini, Bu."
Ucap Hani saat Joanna datang. Sembari membawa makanan untuk mereka semua. Sebab di belakang ada beberapa karyawan yang sedang membawa barang-barang properti launching produk mereka.
"Untuk apa di ke sini?"
Tanya Joanna setelah meletakkan kresek besar yang berisi nasi kotak. Sebab dia sempat mampir restoran untuk membeli makanan.
"Membawakan makanan."
Joanna menatap beberapa box makanan yang ada di meja lain. Lebih banyak daripada yang dibawa saat ini. Membuat karyawan yang masih berada di belakang tampak girang karena akan makan banyak malam ini.
"Apa lagi yang dilakukan di sini? Tidak mungkin dia datang hanya membawa ini!"
"Enggg, anu, Bu. Tadi Bapak sempat masuk ruangan Ibu. Lihat CCTV katanya. Lalu tanya-tanya soal Pak Mika."
"Mika? Dia tahu darimana soal Mika?"
"Dari live instagram. Tadi Pak Mika datang, kan? Pakai jaket merah."
Joanna mulai menarik nafas panjang. Lalu membiarkan Hani dan yang lain beristirahat jika sudah menyelesaikan pekerjaan. Sebab dia akan pergi sekarang. Meninggalkan kantor karena ingin menemui si mantan pacar.
Ceklek...
Jeffrey yang baru selesai mandi terkejut saat melihat Joanna yang sudah duduk di tepi ranjang. Wanita itu baru saja datang. Namun Jeffrey tidak sadar, karena sejak tadi memutar musik cukup kencang.
"Butuh sesuatu?"
Tanya Jeffrey sembari membuka lemari. Dia hanya memakai handuk kecil di pinggang tanpa apapun lagi. Lalu memakai boxer warna putih tepat di depan wanita ini. Namun masih membelakangi.
"Apa rencanamu sekarang? Kamu ingin mengganggu Mika? Kamu marah karena aku dekat dengan dia? Kamu merasa terancam?"
Jeffrey terkekeh pelan. Lalu memakai kaos putih setelah menatap Joanna. Tanpa memakai celana lagi untuk menutup boxernya.
"Aku? Marah? Karena Mikhael Baskara? Kamu pasti sedang bercanda! Joanna, dia bukan siapa-siapa, lalu kenapa aku harus merasa terancam?"
Jeffrey mulai mendekatkan wajah pada Joanna. Wanita itu menahan nafas. Saat nafas pria itu menerpa wajah.
"Dia lebih baik dari kamu! Dia tidak emosian seperti kamu! Dan yang terpenting, dia tdiak pernah memukulku!"
Joanna mendorong dada Jeffrey. Lalu bangkit dari ranjang. Karena ingin mengambil barang-barang yang tertinggal.
"Joanna, kamu lupa kalau kamu yang pertama kali memukulku? Lalu kamu mau reaksi apa setelah memukul orang seperti itu? Memelukmu? Mengatakan terima kasih dan memberi sponsor bisnismu?"
Jeffrey tertawa kencang. Sembari menatap Joanna yang mulai membuka laci lemari pakaian. Kemudian memasukkan bra dan celana dalam ke dalam tas.
"Tante Liana buat acara syukuran launching produk baru kamu di rumah. Besok kita diminta datang. Aku sudah pesan tiket pesawat. Untuk jam enam."
Joanna yang awalnya jongkok mulai berdiri sekarang. Lalu menatap Jeffrey tidak percaya. Sebab dia memang tidak berhubungan baik dengan keluarganya. Karena selama ini Jeffrey yang menjadi perantara di antara mereka. Bahkan, nomor Joanna saja mereka tidak punya.
"Jeffrey, kamu tidak berhak ikut campur masalah ini lagi!"
"Terserah kalau tidak mau datang. Aku juga tidak akan memaksa. Tapi jangan salahkan aku kalau Tante Liana kecewa. Dia sudah mengundang banyak orang, sudah mengatakan pada mereka juga kalau kita akan datang."
"Sayangnya aku tidak peduli!"
Joanna langsung pergi. Meninggalkan Jeffrey yang hanya tersenyum tipis. Lalu merapikan lemari yang sempat Joanna acak-acak tadi.
Setibanya di unit, Joanna tidak bisa tidur. Dia terus kepikiran tentang acara itu. Sebab dia jelas enggan bertanya secara langsung.
Gengsi tentu. Karena selama ini dia tidak pernah bertanya apapun. Bahkan pulang kampung juga hanya setahun sekali saat Jeffrey ada waktu. Sebab Joanna jelas enggan pulang sendiri tanpa pria itu. Karena sudah pasti akan terasa canggung.
"Sudah hampir dua tahun aku tidak pulang. Aku kangen rumah, tapi tidak mau datang sendirian juga."
Joanna membenamkan wajah ke bantal. Berpikir keras ingin melakukan apa. Sebab besok hingga tiga hari ke depan dia tidak ada agenda. Karena bulan kemarin dia sudah tidak libur kerja.
6. 10 AM
Joanna sudah berada di dalam pesawat sekarang. Dengan Jeffrey yang ada di sampingnya. Karena jam empat tadi pria itu menjemputnya. Tanpa pemberitahuan apa-apa. Seolah penolakan semalam tidak ada.
Joanna yang memang sejak semalam sudah kepikiran jelas tidak bisa menolak. Apalagi setelah melihat tiket kelas bisnis yang pria itu beli tanpa memberi tahu dirinya. Jelas Joanna yang sejak dulu biasa hidup susah tidak ingin tiket ini hangus sia-sia.
"Aku harap ini kali terakhir kamu ikut aku pulang!"
Jeffrey tidak menyahuti ucapan Joanna. Karena dia mulai memakai kacamata hitam dan memejamkan mata. Mengabaikan Joanna yang masih marah di sampingnya.
"Jeffrey, aku bicara denganmu!"
"Aku ngantuk, sedang tidak ingin berdebat denganmu!"
Joanna yang mendengar itu kesal. Lalu memakai earphone di kedua telinga. Sembari mengumpati pria di sampingnya.
Joanna tertidur setengah jam kemudian. Hingga pesawat tiba di tepat tujuan. Membuat Jeffrey yang baru saja dibangunkan langsung menyentuh pundak si wanita.
"Sudah sampai!"
Joanna mengerjapkan mata. Dia masih berusaha mengumpulkan nyawa. Karena dia benar-benar tidur lelap meski hanya sebentar.
Di mobil jemputan, Joanna tidur lagi. Tanpa sadar dia juga bersandar pada Jeffrey. Karena hanya supir yang duduk di depan saat ini. Menuju rumah orang tua Joanna saat ini.
Selama perjalan Jeffrey diam saja. Tidak memindahkan Joanna dari pundak. Tidak juga berusaha membenarkan letak kepala si wanita. Karena sesekali dia hampir terjungkal saat mobil melewati jalan berlubang.
"Apa Mika Mika itu bisa seperti aku? Mendekatkan kamu dengan keluarga? Serta membantu saat kamu susah?"
Joanna yang samar-samar mendengar hanya mengangguk kecil. Dia kesal karena sejak tadi Jeffrey tidak memegangi. Padahal biasanya, pria ini akan memangku kepalanya saat tidak menyetir.
"Ya! Ya! Tidak ada yang bisa seperti kamu! Mika tidak sehebat kamu!"
Joanna mulai menyerah akan rasa gengsinya. Dia mulai mengangkat kepala. Lalu beralih menjadikan paha Jeffrey sebagai bantal. Karena perjalan masih panjang dan dia butuh tempat nyaman agar bisa tetap terpejam.
Jeffrey yang melihat itu diam saja. Tidak ada raut senang di wajahnya. Bahkan saat Joanna memeluk kedua tangannya. Seolah meminta agar terus dijaga. Agar tidak terguling saat mobil kembali melewati jalan berlubang.
Tbc...
