9

218 32 38
                                    


11. 30 PM

Jeffrey masih berada di depan apartemen Joanna. Dia menunggu Mika pulang. Sebab pria itu ikut naik bersama si wanita.

"Jeffrey? Kenapa di sini?"

Tanya Irin yang baru saja pulang. Dia diantar pacarnya. Sehingga dia berani menyapa Jeffrey yang kini melamun di dalam mobil dengan jendela terbuka.

"Hanya lewat. Aku mau pulang sekarang."

Jawab Jeffrey sebelum pergi. Dia juga sempat menyapa Irin dan Danu yang sudah turun dari mobil. Karena berniat menghabiskan malam bersama kali ini. Sebab besok Danu akan ke luar kota lagi.

"Untuk apa dia datang, ya?"

Tanya Irin penasaran. Sedangkan Danu mulai mengendikkan bahunya. Sebab dia juga tidak ada bayangan.

"Tidak tahu, ya? Apa dia sudah tahu kalau Joanna sudah pacaran dengan Mika?"

"Sepertinya sudah tahu. Kalau lihat dia tidak berani masuk. Soalnya dulu dia tidak pernah begitu."

Danu mengangguk saja. Lalu berjalan beriringan dengan Irin menuju unit si wanita. Sebab mereka akan melangsungkan movie date bersama. Di dalam apartemen si wanita.

Jeffrey tidak jadi pulang dan menunggu cukup lama. Hingga pada jam tiga tepat dia melihat Mika keluar. Pria itu sepertinya akan pulang. Mengingat dia sudah cukup lama berada di dalam.

"Aku akan masuk sekarang!"

Jeffrey keluar dari mobil. Lalu menuju unit Joanna yang memang sejak tadi ingin ditemui. Karena dia akan meluruskan tentang orang tuanya tadi.

Jeffrey mencoba tiga kali sebelum akhirnya berhasil membuka pintu unit. Sebab kata sandi sudah diganti. Namun Jeffrey bisa menebak karena mereka pernah berhubungan lama sekali.

"Ada apa?"

Baru saja masuk, Jeffrey sudah mendapat pertanyaan seperti itu. Dari Joanna yang sepertinya terbangun. Karena dia masih memakai selimut. Dengan rambut berantakan dan tatapan sayu.

"Kamu bertemu orang tuaku? Kenapa—"

"Mereka memaksaku ikut. Bukan mauku ikut mereka ke rumahmu."

"Iya, mereka juga bilang seperti itu. Apa yang kamu dengar di rumah cukup lupakan saja. Aku—"

"Iya. Kamu tenang saja. Aku juga tidak menganggap serius apa yang mereka katakan."

Jeffrey diam sekarang. Tidak tahu akan berkata apa. Sebab dia sudah tidak memiliki bahan pembicaraan.

"Aku harap kamu tahu batasan. Kita sudah berpisah. Kamu sendiri yang mau ini, kan? Sekarang aku juga sudah bersama Mika. Dia memberikan apa yang selama ini tidak kamu berikan. Jadi aku sudah tidak butuh kamu sekarang!"

"Joanna, selama ini aku sudah memberikan semuanya. Waktu, tenaga, energi, emosi! Apa lagi? Aku tidak suka kamu bandingkan seperti ini! Bagaimanapun juga aku jauh lebih baik daripada Mika Mika ini!"

"Anggap saja iya. Kamu memang hebat selama ini. Sebagai partner bisnis. Bukan sebagi pasangan. Mika memberiku cinta, sedangkan kamu tidak!"

Jeffrey mulai mengepalkan tangan. Dia marah. Karena dia paling tidak suka jika ada yang membandingkan. Sebab sejak dulu dia yang selalu menjadi pusat perhatian.

Sejak kecil, Jeffrey sudah tahu apa yang namanya etos kerja. Dia selalu memberikan yang terbaik untuk semuanya. Baik pendidikan maupun pekerjaan.

Jeffrey memang tidak cerdas, dia tidak mudah menangkap materi yang baru diajarkan. Namun dia rajin dan tidak mudah menyerah. Dia akan memberikan semua tenga yang dipunya untuk apa yang dilakukan. Baik dalam pendidikan maupun pekerjaan. Tidak heran jika namanya selalu membekas di hati setiap orang. Karena dia selalu menjadi pemenang.

Jeffrey selalu menjadi juara kelas. Dia hampir tidak pernah menemui kegagalan. Karena selain memiliki tekad yang kuat, dia juga memiliki privilege keluarga berada. Dia sangat pintar memanfaatkan itu semua untuk terus berkembang.

Jeffrey tidak pernah berpacaran sebelum bersama Joanna. Karena dia tidak pernah memandang wanita dalam hal romansa. Dia tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Dia tidak tahu apa yang namanya cemburu dan patah hati ataupun yang lainnya. Karena sejak dulu tidak ada yang mengajarkan.

Sejak kecil Jeffrey hanya fokus pada belajar dan saat dewasa dia hanya fokus bekerja. Lingkungan juga mendukungnya. Sehingga tidak ada distraksi masalah emosional. Seperti pertikaian orang tua dan percintaan dengan seseorang.

Jeffrey tidak pernah membayangkan bercinta dengan perempuan. Karena dia tidak pernah terpapar hal itu sejak awal. Sebab sejak kecil lingkungan pertamanan Jeffrey sangat terjaga, hingga dewasa.

Dia tidak pernah menonton video dewasa, sex ataupun yang semacamnya. Dia hanya tahu kalau hal seperti itu ada. Namun dia tidak tertarik ataupun penasaran akan mencoba.

Karena baginya, mimpi basah setiap bulan saja sudah merepotkan. Apalagi sungguhan melakukan. Karena dia harus bersih-bersih dan membuang waktu yang berharga.

Iya. Jeffrey sering sekali mengalami mimpi basah di waktu yang tidak terduga. Saat kelelahan dan tidak sadar tertidur sebentar. Di mobil dan di kantor juga. Sehingga membuatnya kerepotan tentu saja. Apalagi jika ada agenda penting yang harus dilakukan.

"Cinta seperti apa yang kamu inginkan?"

Jeffrey mendekatkan badan. Dia mulai mencengkram bahu Joanna. Hingga selimut wanita itu lepas. Menampilkan tubuh yang hanya terbalut celana dalam putih saja.

Jeffrey tidak memalingkan wajah. Karena dia pernah melihat Joanna telanjang sebelumnya. Sebab mereka sudah tujuh tahun bersama. Sering tidur dan berganti baju di ruangan yang sama. Namun tidak pernah terjadi apa-apa.

"Kamu mau aku melakukan apa yang sudah laki-laki itu lakukan? Iya?"

Jeffrey tidak menunggu jawaban, dia mulai melumat bibir bawah Joanna. Lalu meremas salah satu dada dengan tangan kanan. Sedangkan tangan yang lainnya mulai masuk dari celah celana dalam.

Jeffrey pernah mendengar ini dari supirnya. Saat dia tidur dalam perjalan pulang. Si supir berbicara di telepon tentang bagaimana cara memuaskan wanita dengan melakukan sesi foreplay cukup lama sebelum penetrasi dilakukan. Dengan menyentuh area dada dan vagina.

PLAK...

Jeffrey mendapat tamparan. Dia menatap Joanna yang kini memungut selimut di bawah mereka. Lalu dipakai untuk menutupi badan. Seperti sebelumnya.

"Keluar! Keluar dan jangan pernah datang! Kamu menjijikkan!"

Jeffrey pergi karena Joanna terus mendorongnya. Sehingga dia tidak sempat meminta penjelasan. Karena dia penasaran bagian mana yang menjijikkan. Sebab menurutnya, dia sudah melakukan dengan benar.

Ah. Apa karena aku tidak mencuci tangan, ya?

Batin Jeffrey saat masuk lift. Dia juga mulai mengendusi tangan yang sempat masuk celana dalam tadi. Membuat orang yang memantau CCTV mulai terkekeh geli dan tidak jadi meminum kopi.

"Pak Jeffrey, ada yang perlu dibantu?"

Jeffrey yang akan masuk mobil mulai berhenti. Dia menatap security yang baru saja keluar dari ruangan kontrol sendiri. Sembari membawa segelas kopi.

"Kamu lihat aku di lift?"

Jeffrey tidak panik. Berbeda dengan si security yang tampak panik. Karena dia memang melihat tadi. Meski tidak bermaksud memata-matai. Sebab dia hanya kebetulan berada di sana untuk menggantikan teman yang sedang buang air.

"Anu, Pak. Saya tidak sengaja—"

"Aku butuh bantuanmu. Shiftmu selesai jam berapa?"

"Ini sudah selesai, Pak. Butuh bantuan apa, Pak?"

"Bagus kalau begitu. Ayo masuk!"

Jeffrey berniat bertanya pada si security, karena dia adalah supir yang obrolannya pernah didengar Jeffrey. Sebab pria itu tidak punya orang lain yang bisa ditanyai. Mengingat dia tidak memiliki teman baik. Hanya beberapa kolega saja yang tidak mungkin ditanyai akan hal seperti ini.

10 comments for next chapter.

Tbc...

LIFE AFTER BREAK UP [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang