“Ibu hanya peduli dengan adikku! Kapan Ibu pernah mikirin perasaanku?!”
Di ruang tamu berkumpulan sejumlah manusia. Aku, Ibu, Ayah, dan adik lelaki kebanggaan orangtuaku. Pemuda dua puluh tahun yang kini duduk sembari menundukkan kepala. Ada memar di wajah, baju berantakan, dan sedari tadi tidak bersuara.
Aku dan adikku hanya terpaut satu tahun. Seharusnya kami sama-sama menikmati bangku kuliah. Namun, orangtuaku menolak membantu biaya pendidikanku. Mereka hanya bersedia menyokong adikku. Anak laki-laki harus berpendidikan karena mereka akan menjadi kepala rumah tangga. Anak perempuan hanya perlu belajar masak dan bersih-bersih sebab akan sering menghabiskan waktu di rumah.
Ibu duduk di samping adikku, tatapan matanya seolah menuduhku telah berbuat bejat. Ayahku pun tidak ada bedanya. Dia berdiri di hadapanku. Kami berdua saling pandang, sama-sama ingin saling menghancurkan. Dia telah menghadiahiku tamparan di pipi kanan. Perih dan panas masih berdenyut di sana, membuatnya merah meradang.
Akan tetapi, hatiku jauh lebih sakit daripada pipi. Dadaku seolah dihunjam belati berkali-kali, membuat jantung berdebar kencang seolah luka telah menumpahkan darah dari dalam sana; merah kental, membasahi lantai, dan membuatku pucat. Aku ingin berteriak dengan suara lantang. Menumpahkan semua beban dalam jiwa ke dalam kata-kata. Tapi, tenggorokkanku seakan menyempit dan membuatku tercekik. Butuh usaha keras mewujudkan setiap kata menjadi kalimat. Lidahku berat dan setiap kali aku bicara, dadaku sesak.
Mataku panas. Pandangan mataku memburam berkat air mata yang mengalir deras. Lelah yang kurasakan usai bekerja seharian seolah terangkat begitu saja. Tidak ada sensasi lega. Hanya kosong. Hampa. Perasaan semacam itu jauh lebih buruk daripada merasa penuh oleh bising dan terimpit oleh tuntutan.
“Kamu keterlaluan, Nak,” ucap ibuku dengan nada suara yang jauh dari kata menyesal. “Adikmu punya alasan. Dia pasti dijebak oleh teman-temannya. Kamu tahu sendiri, ‘kan, kalau adikmu nggak tegaan? Bagaimana bisa kamu, kakaknya, berpikir sepicik itu?”
Kali ini Ibu menyampirkan tangan di bahu adikku, berusaha memijat pelan sebagai bentuk usaha meredakan siksaan psikis yang mendera saudaraku.
“Adikmu satu-satunya harapan keluarga,” ujar Ayah yang semakin membuat hatiku tersobek-sobek. “Kamu bisa nikah dengan pria mana pun dan nggak perlu mikirin nafkah. Adikmu? Dia nggak bisa! Dia harus dapat pendidikan bagus. Minimal S1 agar mampu menghidupi keluarganya.”
“Lalu, aku?” tunjukku pada diriku sendiri. “Kenapa Ayah dan Ibu rela menjual tanah demi Adik? Apa aku nggak sama pentingnya dengan dia?! Kalian bilang Adik punya tanggung jawab, lantas bagaimana denganku? Kenapa kalian selalu merampas sebagian besar gajiku dengan alasan membantu orangtua? Apa kalian nggak berpikir bahwa aku juga bagian dari keluarga ini? Ayah, Ibu, aku anak perempuan kalian.... Kenapa perlakuan yang kuterima berbeda?”
Adikku baru saja terlibat hal buruk. Dia harus membayar sejumlah uang kepada pria-pria yang kuduga merupakan penagih utang. Orangtuaku tidak tahu, tapi aku berbeda. Aku tahu bahwa adikku sering menghabiskan waktu di klub maupun bar malam. Dia menenggak minuman keras, membayar sejumlah cewek, dan berlagak menjadi orang kaya.
Manusia seperti adikkulah yang dibanggakan orangtua hanya karena dia seorang lelaki?
Apa aku tidak ada artinya bagi mereka selain mesin uang yang bisa diperas kapan pun dikala butuh?
“Kamu nggak butuh sekolah tinggi-tinggi,” Ayah menjelaskan dengan bangga. “SMA saja cukup. Dulu Ayah sarankan kamu jadi TKI agar keluarga kita nggak perlu jual tanah, tapi kamu menolak. Sekarang kamu bicara seolah kami nggak pernah ngurus dirimu. Siapa yang ngasih makan kamu, huh? Nggak usah berlagak paling tersakiti.”
“Ayahmu benar,” Ibu menimpali. “Kamu nggak butuh pendidikan. Sarjana? Nggak usah. Cukup adikmu saja. Kenapa kamu egois dan mau menang sendiri? Nggak mau mendengarkan orangtua. Kamu mau jadi durhaka dan masuk neraka?”
Kugelengkan kepala dengan pelan. Semua sudah berakhir.
“Kalau begitu kita sudahi pertalian darah ini,” ucapku membulatkan tekad.
Beruntung aku mengikuti nasihat teman kerjaku; berbohong mengenai gajiku yang sesungguhnya, menyewa indekos, menyelamatkan surat berharga, dan memindahkan beberapa barang pribadi secara bertahap. Tidak ada guna bertahan di keluarga yang tidak menganggapku sebagai bagian di dalamnya.
“Pergi saja kalau mau,” Ibu menantang. “Kamu, kan, nggak punya rumah, apalagi teman. Memangnya kamu mau ke mana? Siapa yang sudi nolongin cewek dekil? Ibu saja yang melahirkanmu curiga bahwa kamu sebenarnya bukan anak kami, barangkari tertukar.”
“Pergi sana!” bentak Ayah. “Kalau kamu berani melangkahkan kaki sejengkal saja dari sini, jangan berani minta warisan.”
“Aku nggak butuh warisan,” kataku sembari berbalik dan berharap sedari dulu saja mengambil keputusan baik ini.
Baru beberapa langkah aku berjalan, kurasakan sesuatu yang keras menghantam kepalaku. Pukulan pertama aku masih bisa bertahan. Kedua kalinya aku langsung limbung, membentur meja, dan menjatuhkan vas palsu hingga jatuh ke lantai dan pecah.
“Anak kurang ajar! Berengsek kamu! Nyesal aku membesarkanmu!”
Ayah semakin beringas menendangku. Dia berubah jadi iblis jahanam yang kini melampiaskan kemarahannya ke tubuhku. Ibu memekik, adikku gemetar dan berusaha bersembunyi di belakang kursi. Tidak ada satu pun yang mau menolongku.
“Berengsek! Berengsek!”
Aku berjuang bangkit, tapi selalu mendapat tendangan dan hantaman. Tubuhku tidak memiliki tenaga karena terlalu lelah akibat kerjaan. Aku meringkuk seperti udang, berusaha melindungi diri. Sesuatu yang dingin mengalir keluar dari hidung dan mulut, menggenang di bawah tubuh, seperti danau gelap yang siap menelanku.
Tidak ada ratapan.
Tidak ada permohonan ampun.
Bahkan hatiku kali ini tidak lagi berdarah.
Kudengar beberapa orang berdatangan. Suara derap kaki, bising, teriakan orang-orang yang berusaha menyingkirkan Ayah dariku. Seseorang mendekatiku, berusaha menolongku.
Pandangan mataku semakin kabur. Aku tidak bisa fokus. Jantung yang tadinya bertalu cepat kini melambat, membuat napasku tercekat. Tidak ada daya maupun energi dari tubuh. Aku bahkan tidak mampu menggerakkan seujung jari pun.
Perlahan cahaya yang ada di sekelilingku pun memudar, meninggalkan kegelapan yang menyelimutiku seperti kepompong, membungkus rapat diriku. Tidak ada perlawanan, kubiarkan diriku lenyap pada detik itu.
Pergi.
***
“Cari yang lain! Warna pink ngejreng begini nggak cocok digabungkan dengan kuning neon!”
Aku, masa lalu, dan kehidupan baruku sebagai budak kapitalis. Kedua tanganku penuh oleh pakaian, sepatu, dan aksesoris. Pria berambut merah menyala yang sedari tadi berkeliaran seperti ayam mencari cacing ini tidak peduli dengan pandangan nelangsa orang sekitar. Dia berceloteh mengenai A, lalu B, kemudian menghardik siapa pun yang berani menyanggah argumennya.
Untung aku hanya kebagian tugas sebagai asisten. Alias, pekerja kasar versi mewah. Tugasku hanya berdiri, menerima barang, dan diam.
Sungguh aneh bin ajaib. Aku masih bisa mengingat seluruh kehidupan lamaku. Semua peristiwa tidak menyenangkan yang menderaku. Semuanya.
“Jangan melamun! Kerja!”
Bagaimana harus kuawali seluruh penjelasan tidak masuk akal milikku?
***
Selesai ditulis pada 7 Juni 2024.***
Wahahahaha saya dapat ide bagus, jadi langsung saja saya tulis.Emmm isekai again! :”) Saya suka isekai. Semoga kalian, teman-teman, suka tulisan saya yang ini. Wuhuhuhuhu.
Salam cinta dan sayang untuk kalian semua.
Btw, jangan lupa tengok Tasya dan Miss Kunti! Huhuhuhu!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Target Cinta (Tamat)
FantasyAku masuk ke salah satu game cewek. Jenis game yang menyajikan plot cinta, target pria menawan, dan bonus ucapan sayang dari karakter. Masalahnya.... Satu, aku bukan tokoh utama. Dua, aku bahkan tidak pernah memainkan game tersebut! Tiga, tidak ada...