Rutinitas pagi milikku terbilang biasa saja. Iya, sih. Benar. Lagi pula, apa yang diharapkan kepadaku? Tidak ada. Keistimewaan hanya untuk orang beruntung maupun kelompok kelas atas. Bagi orang kelas bawah sepertiku, mau naik ke tingkat selanjutnya harus melalui jalur “ngos-ngosan sampai sekarat”. Tidak di dunia game, maupun tempat asalku ternyata sama saja.
Setelah mengantar stok bawang putih dan bawang merah yang telah kukupas bersih kepada pemilik indekos, aku langsung berangkat kerja. Iya, aku perlu uang lain. Cuma fokus pada gaji dari Tori tidak cukup memenuhi kebutuhanku. Jadilah, aku menawarkan diri membantu bisnis nyonya pemilik indekos. Dia membuka usaha katering dan tidak keberatan mempekerjakan diriku.
Kupikir sampai di salah satu studio milik stasiun televisi terkenal, aku akan dihadapkan pada pekerjaan biasa. Maksud dari biasa ialah, mengumpulkan baju berserakan yang tidak dipilih Tori dan berusaha meringankan beban pekerja lain dalam tim Tori.
Ternyata aku salah!
Salah keterlaluan!
Percuma aku sempat berprasangka baik tadi!
Saat aku dipanggil Tori, diminta menemuinya di ruang rias. Mataku celingukan mencari anggota tim lain yang biasa kutemui. Aku ini anak baru. Tidak punya pengalaman sebagus seniorku dalam menghadapi Tori. Jadi, firasat buruk langsung menghampiri benak.
“Rusak gaun Zena.”
Hanya orang bodoh yang tidak sayang nyawa saja berani mengusik Zena.
Aku bukan orang bodoh.
Aku masih sayang nyawaku.
Pilihannya tidak sulit.
“Saya mengundurkan diri saja.”
Setelah meletakkan surat pengunduran diri yang selama ini hanya berdiam di saku, tidak tahu waktu penyerahan yang pas, akhirnya datang kesempatan. Aku tidak perlu menunggu respons dari Tori. Sebaiknya kabur sejauh mungkin seolah tengah menjauh dari tsunami.
Itulah yang kulakukan.
Aku kabur seperti ayam pengecut. Tidak mau menengok ke belakang. Kata orang tua, “Tidak baik menengok ke belakang. Lurus saja. Hadapi rintangan.”
Saat aku yakin sudah jauh dari bencana, barulah bisa bernapas dengan lega. Kuamati area parkir yang sesak oleh kendaraan. Beberapa orang berseragam dengan logo stasiun televisi tampak hilir mudik mirip prajurit semut merah. Mereka bergegas melakukan apa pun sesuai tugas.
Ada rasa iri yang terbit dalam hati. Setidaknya orang-orang ini masih memiliki mata pencarian. Tidak seperti diriku. Dompetku hanya berisi beberapa lembar uang kertas dengan nominal kecil. Tabunganku pun tidak gendut.
“Hanya cukup untuk bayar sewa,” keluhku sembari menggaruk kepala.
Perutku keroncongan. Aku belum sempat sarapan. Kini usus-usus mulai melaksanakan demo, menuntut perbaikan nutrisi. Masalahnya aku belum bisa mengabulkan keinginan usus-usus besar dan usus-usus halus agar berbaik hati kepada lambung. Demi hemat aku hanya mampu beli mi instan ataupun roti demi mengirit biaya hidup.
Makan sehat?
Hahaha hanya orang berduit yang bisa pilih menu makanan. Harga sayur yang kena obat pembasmi serangga saja mahalnya minta ampun apalagi sayur organik?
Kugigit bibir bawahku. Setelah menembuskan napas melalui hidung, makin mirip sapi, kuputuskan langsung pulang.
Besok akan kuserahkan kepada diriku di masa depan.
Beres.
***
Aku mencoba membujuk pemilik indekos agar memasukanku sebagai pegawai. Dia bilang, “Coba nanti dulu, ya.” Itu artinya dia sudah mendapatkan pekerja dengan kemampuan sesuai idaman hati. Aku sama sekali tidak masuk hitungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Target Cinta (Tamat)
FantasyAku masuk ke salah satu game cewek. Jenis game yang menyajikan plot cinta, target pria menawan, dan bonus ucapan sayang dari karakter. Masalahnya.... Satu, aku bukan tokoh utama. Dua, aku bahkan tidak pernah memainkan game tersebut! Tiga, tidak ada...