21. Drama (2)

1.3K 308 7
                                    

“Kamu terlihat gila,” aku menambahkan, “gila, sinting, mengerikan. Kenapa aku baru sadar kalau kamu memang cocok memerankan cewek tersakiti, sih?”

“Kuanggap itu sebagai penghinaan, ya.”

Entah sejak kapan hubunganku dan Tori terjalin. Aku tidak tahu. Usai menyaksikan pertunjukkan drama dengan akhir kurang ajar (kusebut begitu karena tokoh pelakor dimenangkan oleh sutradara dan penulis naskah), kami jadi sedikit akrab.

Contoh, hari ini Tori mengajakku keluar jalan-jalan. Untung aku tidak ada janji dengan siapa pun. Jadi, menemani Tori belanja ataupun main tidak ada salahnya. Anggap saja sedang berbuat baik, sih.

Kami janjian bertemu di salah satu butik pilihan Tori. Usai dari sana dia mengajakku pergi ke pusat perbelanjaan yang terkenal dengan segala barang mahal. Gajiku sebagai asisten Tori tidak mungkin sanggup membeli apa pun di sana. Beda dengan statusku sekarang sebagai putri Edward Haas. Uang saku punyaku sangat gemuk. (Meski begitu, aku tidak mau mentraktir Tori. Iya, aku pelit demi kesehatan finansialku.)

“Menurutmu aku terlihat seksi dan nakal, enggak?” tanya Tori yang kini memamerkan sepasang sepatu berhak tinggi warna merah rubi. Dia berdiri di depan cermin, sibuk mengamati pantulan dirinya.

Terus terang Tori sebetulnya sangat seksi. Bila Zena membuatku teringat kepada karakter cewek mandiri dengan kecerdasan tinggi, maka Tori saat ini cocok disebut sebagai dewi hasrat dan nafsu. Ia mengenakan atasan crop yang dipadukan dengan celana jins warna hitam. Kuberi tahu, ya. Kaki Tori amat jenjang, keindahannya melebihi model mana pun. Lalu, pinggang dan pinggul. Hmm....

Kulirik perutku, lenganku, lantas kakiku. Mendadak aku merasa terintimidasi! Apalagi aku memilih mengenakan rok sepanjang mata kaki warna biru muda dan atasan lengan panjang berbahan sejuk. Sepatu yang kupilih pun bersol datar.

Aku si kelinci kerdil melawan kucing jelita. Hiiiih ingin kugampar diri sendiri.

“Bagaimana?”

Suara Tori berhasil menyadarkanku dari krisis eksistensi. Untung aku sedang duduk, kalau tidak pasti terjengkang dan membuat diriku jadi bahan gosip di media sosial.

“Bagus,” kataku mengakui kekalahan.

Tori serong ke kanan, lalu ke kiri. “Kurang menantang.”

“Kamu terjun payung,” aku menyarankan. “Pasti adrenalinmu terpacu secara maksimal.”

“Pintar juga. Sayangnya aku nggak bisa main terjun payung. Rencananya minggu depan aku ikut audisi film horor.”

“Jadi wanita yang ditinggal selingkuh lagi?”

Tori menggeleng. “Aku mengincar peran pendukung. Jadi temannya tokoh utama.”

“Serius mau ikut audisi, nih?”

“Nggak ada salahnya, ‘kan?” Tori menyudahi kegiatan mengagumi diri di cermin. Kali ini ia menghampiriku dan duduk. Dia melepas sepatu, memanggil pramuniaga dan memberi intruksi agar membungkus sepatu tersebut. “Lagi pula, aku nggak mau dikaitkan dengan Zena ataupun Peter. Capek.”

“Mau aku kenalin ke Keanu?” tanyaku menawarkan. Tidak lupa kubuat ekspresi imut; mengedip genit, mengedip genit, dan mengedip genit. “Dia lajang dan kujamin lebih waras daripada Peter. Kita bisa jadi keluarga besar yang damai dan bahagia.”

Jidatku langsung didorong menggunakan telunjuk lentik. Pokoknya jarinya Tori beda denganku. Jari itu terawat dan dihias dengan warna lucu.

“Aku nggak tertarik menjalin asmara baru,” katanya sembari mendengkus. “Cukup sekali. Lebih baik kuasah bakat dan memperbanyak pengalaman di seni peran. Asal kamu tahu, ya. Peranku di drama mendapat pujian dan ditulis oleh wartawan kenamaan. Itu artinya aku punya peluang di industri perfilman.”

Bukan Target Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang