2. Siapa aku? (1)

1.8K 341 4
                                    

Singkat cerita setelah mati di tangan orangtuaku, aku pindah dimensi. Bukan ke neraka, melainkan dunia lain. Masalahnya aku tidak sertamerta langsung pindah dan menempati raga seseorang yang telah menginjak usia dewasa. Itu cukup mempersulit diriku mengetahui segala hal terkait dunia yang kutempati.

Tolong bertahanlah mendengar ceritaku, sekalipun membosankan. Aku harus melewati jalur janin → bayi → balita → remaja → dewasa. Di dunia ini aku tidak memiliki orangtua maupun saudara. Yang kutahu hanyalah aku dibesarkan di panti asuhan. Itu saja.

Caraku tahu bahwa aku masuk dalam game kencan atau semacam itulah, pun karena tidak sengaja melihat poster tokoh utama, Zena. Dialah wanita yang akan menjadi rebutan sejumlah pria keren. Tipikal game yang menargetkan pasar cewek. Tentu saja visual, pengisi suara, dan semua yang ada di dalam game tersebut amat menggoda.

Masalahnya aku belum pernah memainkan game itu! Game berbayar dan gajiku terlalu tipis sekadar bersenang-senang. Aku hanya bisa berpuas dengan menonton cuplikannya di YouTube. Itu saja. Kadang di forum diskusi khusus pemain pun tidak jarang memberi bocoran mengenai cara menaklukkan salah satu target.

Informasi yang sekarang, menurutku, tidak berguna!

Aku bukan tokoh utama. Bukan anak orang kaya. Apa itu tiket VIP perpindahan jiwa? Cuma bualan belaka sebab di mana pun, di sini maupun di asalku, aku tetap rakyat jelata.

Tidak masalah. Setidaknya di usiaku yang kini menginjak dua puluh tahun, aku bisa bekerja sebagai asisten merangkap pesuruh salah satu artis.

“Bagus, dengan begitu Tori nggak akan kalah saing dari Zena.”

“Iya, kemarin dia nggak bisa melengserkan posisi Zena dari bintang film paling ngetop.”

“Zena, kan, levelnya udah beda.”

“Nggak. Kita nggak boleh nyerah. Bisa-bisa Tori memotong gaji kita!”

Di dalam ruang rias yang dikhususkan bagi Tori, bosku, para pekerja mulai diskusi panas. Aku hanya diam dan mengerjakan tugasku yakni, membereskan semua pakaian yang ditolak Tori ke dalam wadah. Tidak ada guna mengajukan diri dalam pergunjingan. Salah bicara, gajiku melayang.

“Eh, eh, eh,” kata salah satu cewek yang paling tinggi, “kudengar Zena dikejar pengusaha paling wow. Mungkin nggak, sih, mereka main belakang?”

“Heh jaga bicaramu. Tori nggak suka mendengar nama saingannya disebut di sini. Bisa mampus kamu nanti.”

“Kenapa? Karena pria yang Tori sukai nggak membalas perasaannya? Udah deh, selama ini semua cowok keren memang naksir Zena.”

... dan begitulah. Berdasar hukum romansa level ceri, semua cowok penting memang ditakdirkan jatuh ke tangan tokoh utama: Zena. Mereka tidak tahu saja bahwa Zena akan selalu menang lawan Tori. Sekeras dan selicik apa pun Tori bersiasat, Zena pasti keluar sebagai pemenang.

‘Sial, aku salah masuk kubu!’

Mendadak bekerja sebagai asisten artis tidak terlalu menggiurkan. Kutatap tumpukan baju yang berhasil kubereskan. Aku tidak mau terseret ulah Tori. Dia merupakan tokoh keji yang diciptakan untuk mengangkat pamor Zena. Sepanjang pengetahuanku mengenai “cerita asmara membara”, pasti tokoh sampingan juga kena sambit plot.

Sudah setahun aku berada di bawah naungan Tori, tidak ada salahnya mempertimbangkan kabur. Lagi pula, aku bukan pegawai tetap. Bekerja sebagai pengupas bawang jauh lebih aman daripada berdiam di kolam tokoh ngenes.

‘Tidaaaak!’ jeritku dalam hati. ‘Kenapa aku nggak ingat detail sepenting ini, sih?!’

Tidak ada percakapan, kami fokus bekerja, kemudian saat tiba saatnya mempersiapkan batin ... haaah aku tidak keberatan mengundurkan diri.

***

Tori gagal menjebak Zena.

Malam ini aku menjadi saksi kebengisan Tori. Dia mengamuk, melempar semua barang ke sembarang tempat, dan memukul salah satu pekerja. Di ruang rias tidak akan ada berita yang menyebar ke luar karena Tori pasti memastikan hidup orang tersebut sengsara.

“Kenapa? Kenapa?!”

Tori mengayunkan tangan, menyapu seluruh kosmetik yang ada di meja rias, hingga jatuh berserakan di lantai. Beberapa botol alas bedak dan lipstik pecah, menumpahkan isinya yang dengan cepat meluber seperti cokelat cair.

Semua orang diam. Tidak ada yang berani bicara selain manajer, pria berambut merah yang kini berusaha menenangkan Tori. “Sudahlah, kamu nggak perlu terpelatuk gitu dong.”

“Kamu nggak ngerti!” raung Tori sembari mencengkeram rambutnya. “Dia berani mendekati tunanganku!”

Tidak benar seperti itu. Tunangan Tori, menurut cerita, memang tidak suka dengan perjodohan yang dirancang oleh keluarga. Oh mereka berdua belum bertunangan secara resmi. Pria itu menolak dan Tori mengakui secara sepihak atas pertunangan.

‘Hmmm nggak bagus.’

Tori menangis dan mulai menyumpahi Zena. “Dia musang! Musang berbulu ayam! Aku nggak paham kenapa tunanganku nggak mau memilihku? Apa kurangnya diriku?”

‘Kurang waras, Mbak,’ kataku dalam hati.

Lekas aku menyembunyikan keberadaan di belakang lemari pakaian. Jaga-jaga andai Tori mengamuk, aku tinggal melindungi diri dengan cara pura-pura mencari barang hilang. Biasanya cara ini cukup ampuh menjauhkanku dari masalah.

“Tori, Sayang,” bujuk manajer. “Kamu nggak perlu memikirkan Zena. Nggak penting.”

Kali ini manajer mengedarkan pandang, memberi isyarat melalui mata kepada kami semua agar lekas meninggalkan ruangan. Perintah itu kami patuhi tanpa banyak membantah. Aku langsung kabur dan berterima kasih kepada manajer yang cerdik.

“Gila,” kata salah satu rekanku, “bisa mampus kita.”

“Tapi, gajinya lumayan.”

Kami semua diam.

Benar juga. Cari kerja sulit, gaji pelit, dan persaingan antara pencari kerja. Bekerja untuk Tori terbilang lumayan elite. Gaji kami cukup untuk makan, bayar kebutuhan, dan....

Ya tidak cukup juga bagiku!

Resign! Aku harus segera mengundurkan diri bila masih sayang nyawa!

***

Hukum dunia fiksi:
Satu, tokoh utama kalau punya tameng pelindung.

Dua, tokoh utama kalau mati ceritanya tamat.

Tiga, tokoh utama selalu mendapat bantuan tidak terduga.

Empat, tokoh utama andai tidak dapat bantuan pasti bisa menemukan cara lain.

Aku bukan tokoh utama. Enak saja menumbalkan diriku sebagai kambing hitam!

“Kenapa? Kamu berani membangkang?”

Tori dalam balutan gaun ketat indah berwarna hitam tengah mengawasiku dengan sepasang mata elangnya. Dia duduk di sofa, bersilang kaki, dan membiarkanku berdiri.

“Kamu hanya perlu merusak gaun milik Zena,” katanya dengan nada memerintah. “Jangan sampai dia sukses mengenakan gaun dari perancang kesukaanku!”

Aku berdiri di ujung tanduk. Surat pengunduran diri tersimpan rapi di salah satu saku baju. Niatnya akan kuberikan ke manajer, tapi Tori telanjur menyuruhku masuk ke ruang rias yang disediakan oleh pihak stasiun televisi.

“Sabotase gaunnya,” Tori menekankan. “Harus sampai rusak.”

Di kepalaku muncul rancangan atas semua pilihan. Menyabotase baju Zena tidak akan memberiku jaminan hidup. Aku pasti akan mati di tangan pria berpengaruh yang naksir Zena. Asal tahu saja yang naksir Zena jumlahnya banyak. Aku tidak mau mati konyol. Mudah saja memilih opsi yang ada di depanku.

“Saya mengundurkan diri,” kataku sembari meraih surat pengunduran diri dan meletakkannya di meja. “Terima kasih.”

Cari kerja memang sulit, tapi melawan tokoh utama tidak akan membuat hidupku tenang!

***
Selesai ditulis pada 8 Juni 2024.

***
Maaf, Clea belum bisa update pagi ini. Mungkin nanti malam kalau perut saya nggak bermasalah akan saya usahakan ngetik. :”(

Terima kasih atas pengertiannya.

Bukan Target Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang