26. Eeeeeh? (1)

1.2K 241 4
                                    

Menurutku aneh, sih. Kupikir akan ada perkelahian antara tokoh-tokoh penting dalam dimensi ini. Pada kenyataannya, TERNYATA, hidup berjalan normal dan wajar. Tori tidak mengejar Peter. Dia hanya menunjukkan gelagat ingin mencakar bila si mantan kedapatan berada di dekatku saja. Aneh, ya? Padahal tidak perlu seekstrem itu lho.

“Kenapa kamu rajin mampir ke sini?” selidik Tori kepada Peter. “Investor atau apa pun nggak perlu berdedikasi mengawasi proses shooting. Nggak perlu.”

“Apa kamu harus segalak ini, Mantan?” balas Peter tidak kalah sengit. “Lagi pula, kamu takut cinta lama bersemi dan nggak bisa menahan diri?”

Astaga. Makan siang bersama kru yang seharusnya berlangsung damai pun terasa kelam. Apa aku sedang berada di tengah medan perang? Gara-gara Peter sering mampir, Tori makin berang dan kuduga tidak keberatan diberi kesempatan memukul Peter walau sekali.

Untung aku memilih duduk di area teraman. Tepatnya, di dekat Luke. Hihi dia bersedia meluangkan waktu menjengukku. Kubilang kepadanya bahwa Peter berkeliaran mirip anak hilang. Jadi, aku butuh pelampung di lautan kosmik.

“Apa mereka sering bertengkar di depan umum?”

Aku mengangguk. “Ya,” ucapku menjawab pertanyaan Luke, “sering. Baru jadi mantan tunangan saja aura dengkinya begini pahit, apalagi mantan suami-istri?”

Duduk bersila di atas rumput, menikmati pemandangan berupa taman bunga mawar dalam aneka rupa, membuat hatiku melambung bahagia.

“Seenggaknya,” kataku melanjutkan, “Peter nggak mengejar Zena. Barangkali dia sadar diri. Sadar bahwa nggak ada kesempatan mencoba meraih hati cewek sekelas Zena.”

Dalam setiap kesempatan, aku tidak akan melepaskan peluang caper kepada Luke. Bagaimanapun juga dia membuat masa depanku terlihat cerah. Sangat indah bagai di dunia milik Penyihir Oz minus monster monyet dan laba-laba raksasa pemakan manusia.

“Luke, kapan kita menikah?” Sengaja aku mengedip genit. Bahkan suaraku pun kubuat merdu. Iya, aku sadar suaraku standar dan biasa saja. Namun, apa salahnya berusaha? “Nanti aku takut kamu dijambret cewek seksi, pintar, mapan, dan luar biasa.”

Ohoooo tingkat kepercayaan diriku jauh di bawah standar.

“Kamu takut aku naksir orang lain?”

Woho. Aku tidak menyangka bahwa Luke bisa menunjukkan ekspresi tidak percaya. Seolah omonganku tidak mungkin terjadi dalam hidupnya.

Kukedikkan bahu dengan gerakan ringan. “Bisa saja, ‘kan? Lagi pula, kamu berada di dunia yang serbamewah dan gemilang. Kemungkinan bertemu cewek keren selalu ada. Terus terang aku merasa waswas, sih. Hihihi punya tunangan ganteng memang berbahaya.”

“Airin, aku nggak berminat menjalin hubungan dengan cewek lain. Kamu nggak perlu merasa rendah diri. Sekali aku telah memutuskan sesuatu, ya itu yang akan kukejar sampai akhir.”

“Bu-bukannya kadang cowok begitu? Merasa perlu menantang diri sendiri? Seperti mendaki gunung terlarang, menaklukkan lautan, atau memburu harta karun.”

“Aku nggak paham dengan tipe ... Airin, begini. Cowok yang merasa nggak tenang dengan pencapaian pasangannya merupakan jenis manusia yang menyebalkan. Kamu nggak perlu merasa kurang dari orang lain. Semua orang punya waktunya sendiri dalam mencapai sesuatu.”

“O-oke....”

“Airin, aku justru senang seandainya kamu pengin mengejar sesuatu. Pengin kerja setelah menikah? Oke, lakukan. Pengin nggak punya anak karena merasa nggak mampu secara emosional dan mental? Oke, aku akan menghormati keputusanmu. Kamu bahkan boleh menyuruhku menuliskan pernyataan sebelum menikah dan melegalkannya agar nanti bisa menjadi pengaman bagimu selama bersamaku. Nggak masalah, aku bersedia.”

Bukan Target Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang