Ch. 1 - Pahit Kehidupan

8 1 0
                                    

Alan Dermawan, sosok pemuda mengagumkan yang namanya tiba-tiba mencuat sebagai orang terkaya se-Indonesia, menjadi bintang di seluruh awak media. Kekayaan yang ia dapatkan dinilai hingga triliunan rupiah.

Tak seorang pun menduga bahwa ia dulunya hanyalah seorang pemuda miskin yang tertimbun tumpukan hutang.

**

Beberapa tahun lalu.

“Kami belum dapat mengajak anda untuk bergabung dengan perusahaan kami.”

Alan selalu merasa putus asa ketika mendengar kalimat tersebut. Sudah tak terhitung berapa kali ia mengajukan lamaran kerja. Sebagian besar langsung ditolak, beberapa lanjut ke tahap interview, namun tak satu pun ending-nya seperti yang ia harapkan.

“Saya sungguh menyesal untuk mengatakan ini, tetapi anda belum memenuhi kualifikasi yang kami inginkan,” lanjut sang HRD.

“Saya mengerti, terima kasih atas waktunya.”

Tertunduk, ia merasa malu. Alan keluar dari kantor tersebut dan tak lagi memandang ke belakang. Ini sudah pertemuan kesekian untuk hari ini dan ia terlalu lelah untuk melanjutkan.

“Aku pikir aku akhiri saja untuk hari ini dan kembali bekerja esok hari,” gumam Alan.

Ponsel Alan berdering beberapa kali. Sebuah pesan masuk. Tiba-tiba saja, ekspresinya menjadi masam.

Silakan lakukan pembayaran untuk tagihan anda bulan ini.

Keuangan Alan memburuk. Ia tidak tahu sejak kapan keadaan menjadi seperti ini. Tetapi Alan pernah menjadi seseorang yang cukup kaya hingga ia tidak perlu bekerja.

Beberapa tahun lalu, seorang pria berjas hitam datang menjumpai Alan. Berkata ia telah mewarisi uang tunai senilai 10 miliar dari kakeknya yang telah lama meninggal dunia. Berkat itu, Alan berhasil melunasi hutang yang diturunkan oleh orang tuanya, membeli barang yang ia inginkan, dan melakukan sesuatu yang tidak pernah ia lakukan saat miskin.

Namun.

“Buat apa aku memikirkan masa lalu? Semua sudah berlalu.”

Alan telah berada di depan apartemennya. Ia menghembuskan nafas dalam-dalam. Tidak apa-apa, hari esok akan lebih baik. Alan masih memiliki alasan untuk tetap berusaha, karena ia tahu, ia masih memiliki seseorang yang berharga baginya, dan itulah kenapa tetap berjuang.

Ia memutar tuas pintu, berkata, “Aku pulang,” agar orang rumah tahu kedatangannya. Sepatu asing menarik perhatian Alan hingga membuatnya termenung.

‘Apa ada orang bertamu? Tapi Elena tidak mengatakan apa-apa.’

Sepatu itu adalah sepatu laki-laki. Ia perlahan melangkah masuk ke dalam dan mencari keberadaan Elena, kekasih Alan yang telah bersamanya belakangan tahun ini. Dapur kosong, begitu pula dengan ruang tamu. Jantung Alan memompa kencang saat ia memikirkan di mana sang Elena berada. Hanya ada satu ruangan lagi yang tersisa, yaitu kamar tidur yang tertutup rapat sedari tadi.

Alan memiliki firasat buruk tentang hal itu. Namun ia harus tetap melangkah dan memastikan secara langsung. Pintu kamar itu dia buka dan … surprise! Wanita yang Alan cintai, orang yang menjadi alasannya berjuang, tidur dengan laki-laki lain.

Mata Alan membulat lebar. Bijinya hampir keluar dari kepala. Seperti menyaksikan langit runtuh tepat di hadapannya, Alan kehilangan kesabaran dan kendali diri.

“Elena!” bentak Alan. Ia menarik selimut yang membalut tubuh Elena dengan laki-laki asing di sampingnya.

Elena hanya mengenakan pakaian dalam, begitu pula dengan laki-laki itu. Selama mereka berpacaran, Alan tidak pernah menyentuh wanita tersebut, hanya karena ia menghargainya, dan ingin berkomitmen dengan sungguh-sungguh. Namun lihat balasan yang diberikan—lihat! Bagaimana hati Alan tak hancur setelah ia menyaksikan pemandangan menjijikan itu?

Pewaris Sepuluh MiliarWhere stories live. Discover now