“Alan, pikirkan ini baik-baik. Kamu masih bisa menarik surat pengunduran diri. Manajer adalah orang yang pengertian, ia pasti menganggapnya tidak terjadi jika kamu datang dan meminta maaf,” bujuk Anastasia.
Anastasia, sosok senior perhatian dan baik. Kecantikan Anastasia tidak kalah dengan kesucian hatinya. Karena itu, terkadang para laki-laki kembali datang berbelanja hanya untuk mengaguminya dan mengobrol meski sejenak.
Alan hanya tersenyum tipis. Ia mendorong sebuah keranjang dan menata barang-barang di display. Saat ini, pemuda itu tengah melakukan pekerjaannya, sebelum ia benar-benar berhenti dan beranjak menjalani kehidupan baru.
Minimarket tersebut menjadi saksi bisu perjuangan keras Alan untuk dapat bertahan hidup di kehidupan pertama. Namun juga yang menyaksikan berapa banyak masalah yang ia datangkan.
Anastasia membuntuti ke mana pun Alan pergi. Ia tidak habis pikir dengan keputusan mendadaknya untuk berhenti bekerja dan menuntut penjelasan mendetail, bukan diabaikan seperti ini.
“Senior Anastasia, kamu tidak cemas. Aku sudah memiliki rencana.” Alan menjawab dengan tenang dan meyakinkan, namun tetap saja, wanita itu merasa sulit untuk mempercayainya.
Anastasia melipat tangan di depan dada, cemberut. Jujur saja, ia tahu bagaimana kondisi keuangan Alan dan seberapa keras usaha pria tersebut untuk dapat bekerja paruh waktu di minimarket ini. Kemudian dengan tiba-tiba, Alan ingin mengundurkan diri.
Sesuatu pastilah terjadi.
“Bagaimana kamu akan menghadapi mereka? Kamu tidak berencana untuk melakukan hal berbahaya, kan? Jika kamu membutuhkan uang, aku akan meminjamkanmu segera!” ujar Anastasia.
Alan menggelengkan kepala. Ia menatap Anastasia yang terlihat begitu khawatir. Penyesalan menyergap perasaan Alan. Ia teringat dengan kehidupan pertamanya, saat ia mengabaikan kebaikan hati orang lain dan hanya dapat mendatangkan kesialan untuk mereka.
“Semua baik-baik saja. Senior tidak perlu khawatir. Terima kasih karena sudah mengkhawatirkanku,” balas Alan.
Anastasia memandang nanar. Pria itu terlihat teguh pada keputusan yang dibuatnya. Anastasia hendak meraih Alan sekali lagi dan membujuknya, tetapi di tengah jalan, tangannya berhenti, ia mengurungkan niatnya.
“Baiklah jika itu maumu. Aku sudah tidak peduli lagi!” marah Anastasia karena Alan tidak ingin bercerita.
Wanita itu berniat untuk kembali ke meja kasir dan tanpa sengaja, melihat wajah-wajah yang tidak asing sekaligus membuat mual. Anastasia bergegas mendekati Alan dan menunduk, memegang pergelangan tangan pemuda itu erat dan mendekatkan bibir ke telinga. Ia berbisik.
“Para rentenir itu berkunjung ke sini. Aku akan mengulur waktu, keluarlah dari pintu belakang dan bersembunyi sampai aku mendatangimu,” saran Anastasia.
Anastasia beranjak. Ia bergegas menuju kasir dan menyapa para rentenir itu seperti ia menyapa pelanggan mereka. Anastasia berusaha setengah mati untuk bersikap setenang mungkin.
Kaki wanita itu gemetar. Kenangan buruk terakhir kali mengamuk dan membuat Alan babak belur. Ia tahu para rentenir itu bukanlah orang yang segan untuk bertindak semena-mena pada orang lain jika itu tidak sejalan dengan yang mereka inginkan.
“Beritahu kami di mana tikus itu bersembunyi!” perintah salah satu pria berbadan besar dengan tato memenuhi tubuhnya.
“A-Alan, dia ….”
“Aku di sini.” Alan muncul di hadapan mereka. Ia berdiri dengan tegap dan berani. Tak sedikit pun ketakutan terendus darinya.
Anastasia tersentak, ia memandang dengan heran, “Alan, kenapa kamu tidak mengikuti saranku? Mereka hanya akan menghajarmu hingga babak belur seperti terakhir kali!” seru Anastasia.
“Hah, baguslah kalau kamu mempermudah pekerjaanku. Bayar hutang-hutangmu atau kami akan membuatmu merasakan neraka sekali lagi!” ancam Ron, salah satu rentenir yang berada di bawah perintah Erman, seorang loan shark sekaligus mafia terkenal di daerah itu.
Ron mendekati Alan dengan tangannya yang telah mengepal kencang untuk segera melepas pukulan. Saat ia mengingat tentang kamera pengawas di minimarket tersebut, Ron mengurung niat buasnya.
“Aku ingin bertemu dengan Erman.”
Ron menyeringai. Tinggi mereka jauh berbeda. Ia menatap rendah Alan dan memegang pundak pria tersebut sambil memberikan tekanan kuat.
“A-apa kamu sudah kehilangan akal sehatmu, Alan?!”
“Wanita itu berkata benar. Apa kamu sudah gila hingga membimbing dirimu masuk ke kandang singa?” timpal Ron.
“Dan apakah dirimu begitu yakin Tuan Erman ingin bertemu dengan cecunguk sepertimu? Bos kami tidak bertemu seseorang hanya untuk membuang-buang waktunya,” tambah Ron.
“Kenapa tidak? Dia akan dengan senang hati menyambut kedatanganku. Apalagi aku memiliki penawaran menarik yang tidak mungkin ia tolak,” Alan membalas perkataannya, berdiri dengan tegap dan mengimbangi intimidasi Ron.
“Baiklah! Mari kita lihat apakah kesombonganmu itu masih sama setelah orang itu menendangmu keluar!” Ron menggertakkan gigi, melengos, dan berbalik.
**
Langit sore diselimuti warna jingga, memancarkan kehangatan yang kontras dengan perasaan dingin dan cemas Alan. Pria itu melangkah gontai menuju sebuah bangunan tua dan kumuh di sebuah gang sempit. Di sanalah markas Erman, tempat yang ingin ia hindari.
“Tunggu di sini,” perintah Ron.
Ron melangkah masuk, meninggalkan Alan dengan beberapa bawahannya. Tidak lama, suara teriakan terdengar. Ron, pria berbadan besar itu, membawa seorang keluar dan melemparnya ke jalanan seperti sekantong sampah. Bulu kuduk Alan sejenak menegang.
“Nasibmu akan sama dengan pria itu jika bermain-main dengan Tuan Erman dan menunda pembayaranmu. Dia hanya beruntung tidak berakhir di pasar gelap.” Ron memberikan peringatan terakhir pada Alan, namun tentu dia sendiri paling mengetahui kalau tidak ada jalan pulang setelah ini.
Alan meneguk saliva, kemudian menundukkan mukanya. Pria itu diam-diam tersenyum.
“Apa kamu takut? Sudah terlambat untuk itu.”
“Tentu tidak.”
Alan masuk ke dalam ruangan kerja Erman dengan Ron berada di belakangnya. Pria itu berada di ambang pintu, seperti sengaja dilakukan untuk menghalau Alan melarikan diri dari sana.
Segera, aroma anyir menyeruak ke dalam hidung Alan. Di sudut ruangan, terdapat beberapa bercak darah segar. Ia mengernyitkan dahi ngeri melihat pemandangan tersebut. Di dominasi dengan warna gelap dan berantakan, sangat sesuai seperti gambaran markas mafia pada umumnya.
“Bocah tidak waras ini ingin bilang ingin bertemu denganmu dan mengatakan kalau ia memiliki tawaran menarik, Tuan Erman,” jelas Ron.
Rahang Erman, pria berusia pertengahan kepala empat itu, mengeras. Ia tahu siapa pemuda yang datang menemuinya. Tikus kecil menyedihkan yang alih-alih mewarisi harta kekayaan melainkan hutang kedua orang tuanya.
“Semua orang yang datang menjumpaiku mengatakan hal yang sama, tetapi tak satupun tawaran mereka membuatku tertarik.”
Erman menyesap cerutunya, menyemburkan asap ke udara, dan tidak lupa meletakkan kaki di atas meja. Walau terlihat santai, Erman, pria itu tak sekalipun menurunkan penjagaan dan mengawasi Alan.
“Apa ada penghutang yang menolak niat baik seseorang yang ingin membayar tunggakannya? Seperti itulah tawaran yang ingin aku tawarkan; tak mungkin untuk ditolak.” Alan, berjalan dengan santai dan duduk di hadapan Erman, tanpa diperintah, membuat pria itu terbahak-bahak.
“Katakanlah.”
“Berikan aku pinjaman satu miliar.”
Trang!
Sebuah vas bunga dengan cepat melayang mengarah wajah Alan. Ia sedikit beruntung lemparan tersebut meleset dan tidak melukainya. Namun bukan itu yang perlu dikhawatirkan saat ini.
Erman berdiri dari kursi dan memegang kerah pakaian Alan. Ia mencengkram sangat kuat hingga pemuda itu meringis kesakitan. Erman meludah.
“Bocah, apa kamu meremehkanku?“ ucap Erman dengan dingin.
YOU ARE READING
Pewaris Sepuluh Miliar
ActionAlan Dermawan, pemuda miskin serba kekurangan, dengan tiba-tiba menerima warisan bernilai sepuluh miliar dari sang kakek. Gegabah dan gelap mata, ia menghambur-hamburkan semua uangnya untuk sang pacar, hanya untuk menemukan dirinya dikhianati. Berus...