Ch. 8 - Semua Sudah Terencana

6 0 0
                                    

Beberapa hari lalu, sebelum insiden penculikan Anastasia.

Gemerlap kota dan kemewahan yang disajikannya tidak pernah gagal membuat terpesona. Alan menyusuri jalanan distrik merah, berhati-hati dalam setiap langkahnya.

Ia datang ke sana tidak untuk menikmati dunia ataupun menghambur-hamburkan uang atau bersenang-senang, melainkan untuk menjalankan bagian terakhir dari rencananya. Pandangannya lurus, seakan sudah menentukan ke mana akan melangkah sejak awal.

“Berhenti.”

Pria dengan seragam hitam rapi itu menghalau Alan melangkah lebih jauh. Ia menjaga pintu masuk sebuah bangunan dua lantai yang tampak sangat berbeda dibandingkan bangunan distrik lampu merah lainnya. Kacamata hitam yang ia kenakan sedikit diturunkan untuk sekali lagi memastikan siapa tamu mereka.

“Ini bukan bagian dari distrik hiburan ini,” terangnya, mengisyaratkan Alan untuk pergi dari secara secara tidak langsung.

“Aku datang ke tempat yang tepat. Gedung ini adalah tujuannya,” jelas Alan.

Penjaga itu menaik-turunkan kacamatanya sekali lagi. Ia menghembuskan nafas seraya berkata, “Pelanggan? Wajahmu cukup asing untuk seseorang yang mengetahui tentang kami.”

Alan terkekeh. Ia tidak membalas dan melangkah masuk melewati penjaga itu. Pintu masuk langsung menghadap menuju lobi. Di sana, patung serigala hitam di pajang di samping resepsionis, menandakan kalau ia datang ke tempat yang tepat.

Alan digiring menuju sebuah ruangan. Ia bertemu dengan seorang pria muda yang seluruh ruangannya berantakan dengan tumpukan-tumpukan dokumen tidak jelas. Wajah yang lesu dan mata panda—sangat jauh dari bayangannya.

Pria di hadapan Alan saat ini bernama Jaiden, seorang mafia sekaligus pemimpin dari kelompok gangster bernama Serigala Hitam. Berbeda dengan Erman yang memperoleh kekayaan melalui peminjaman uang, memeras orang lain, dan melakukan transaksi terlarang, Jaiden melakukan bisnis dengan caranya sendiri.

Bisa dibilang … walaupun Jaiden merupakan ketua gangster, ia menguasai daerahnya melalui prostitusi, penjualan informasi, dan hacking. Ia menerima beberapa pekerjaan seperti pembunuhan ataupun sesuatu yang melibatkan kekerasan lainnya, namun hanya jika itu memenuhi kriteria mereka.

Namun membandingkan dua hal buruk tidak akan membuat salah satunya menjadi lebih baik. Karena itu, Alan selalu meningkatkan kewaspadaannya.

“Bisa langsung katakan permintaanmu? Kami saat ini tidak berada di titik di mana kami mempunyai waktu untuk disia-siakan.”

“Begitu juga aku,” balas Alan, ia mengambil kursi yang terjerumus dan memperbaiki posisinya sebelum duduk. “Permintaanku cukup mudah—menyingkirkan Erman dan gengnya.”

Jaiden membulatkan mata selebar kacamata yang ia kenakan. Pernyataan pria berwajah asing di hadapannya itu membuat ia terkesiap hingga menghentikan seluruh kegiatannya.

“Keluarlah, permintaanmu mustahil untuk dilakukan,” kata Jaiden, mengatur nafas untuk kembali menenangkan diri, ia kembali menghadap laptopnya.

“Tidak, itu tidak mustahil. Beberapa hari lagi, Erman akan kehilangan semua uangnya.”

Sekali lagi, Jaiden mengamati Alan dengan sungguh-sungguh. Ia tidak menilai orang dari penampilan mereka, tetapi kali ini, ia melongok Alan dari ujung kaki ke rambut. Pria itu tampak meragukan, tetapi kepercayaan dirinya tinggi.

Namun kemudian, Jaiden menghembuskan nafas, ia memutar bahunya dengan dingin sambil mengetik keyboard.

“Bukan berarti dia akan kehilangan kekuatan. Erman sudah terjun ke dunia gelap lebih lama dariku. Dia berpengalaman dan cerdik. Apa kamu pikir hanya dengan kehilangan semua uangnya sudah cukup untuk menjatuhkannya?”

Pewaris Sepuluh MiliarWhere stories live. Discover now