Ch. 3 - Antara Hidup dan Mati

5 0 0
                                    

“Sekali lagi kamu bermain-main, akan aku pastikan untuk menendangmu keluar dalam keadaan sekarat!”

Tindakan Erman barusan bukan semata-mata intimidasi belaka. Ia begitu marah dan bagaimana perasaan pria tua itu dapat dengan mudah dikenali melalui raut wajahnya yang mengeras. Tak lama, pria itu menghembuskan nafasnya, teringat saran dokter.

“Tunggakan senilai setengah miliar saja kamu sudah kewalahan untuk membayarnya. Sekarang malah ingin menambah utangmu dua kali lipat dari itu?” tanya Erman geram.

“Dari mana kamu akan mendapatkan uang untuk membayar kembali beserta bunganya? Hanya orang gila yang akan meminjamkanmu uang!” tambah Erman.

Alan menaikkan sudut bibirnya. Ia berusaha untuk tetap tenang dan mengendalikan situasi agar tetap sejalan dengan rencana awal. Bagi Alan, kesempatan datang ke masa lalu merupakan sebuah anugrah yang ia sendiri yakin tak akan terulang kembali.

Akan ia tunjukkan pada orang-orang yang menginjaknya di kehidupan pertama apa itu keputusasaan.

“Aku dapat dengan mudah membuat uang itu menjadi sepuluh kali lipat.”

Alis Erman berkedut, terkejut dengan pernyataan Alan barusan. Perasaan tertarik Erman baru saja menghilang bagaikan butiran debu. Ia mengepal sangat erat tangannya.

“Hah! Jangan banyak omong kosong. Aku sarankan ini untuk terakhir kali. Berhenti bermain-main denganku selagi suasana hatiku sedang baik dan pulanglah.”

Alan melipat tangan, membuang nafas pelan-pelan sambil berusaha menahan diri dari asap rokok yang menyusup masuk ke dalam pernapasannya. Tempat ini begitu pengap. Tidak ada jendela, tidak ada pula pendingin ruangan. Ia paham kenapa sangat sulit untuk lepas dari cengkraman Erman ketika seseorang tertangkap.

“Zaman telah berubah. Apa kamu tidak tahu kalau saat ini, orang-orang mengubah nasib mereka dengan mata uang crypto.” Alan mengulas senyuman, ia bersandar dengan santai seolah telah memenangkan pertarungan.

“Lihatlah ini,” bisik Alan. Pria itu mengeluarkan sebuah surat dengan stempel rumah sakit—hasil pemeriksaan kesehatan secara keseluruhan. Melemparkannya ke meja Erman dengan santai.

“Apa ini?” desis Erman, ia mengambil surat itu dan membaca sekilas, “apa kamu ingin menjadikan surat tidak berguna ini sebagai jaminan?” lanjutnya sinis.

Saat itu juga, Erman menyadari maksud tujuan Alan. Mata pria itu membesar dan ia tiba-tiba terkekeh. Senyuman lebar terpampang di wajahnya yang memiliki beberapa bekas luka sayatan. Walau mengganggu penampilan, namun baginya, itu seperti sebuah penghormatan bagi mereka yang telah ia jual di pasar gelap.

Pasar gelap menerima banyak hal, terutama manusia. Dengan tubuh sehat seperti itu, Erman mengetahui kalau ia tidak hanya akan mendapatkan kembali semua utang Alan, tetapi juga keuntungan mencapai dua kali lipat. Itu sudah lebih dari cukup untuk meneruskan bisnisnya dan satu lagi ….

‘Aku tidak serakah seperti bocah ini. Keuntungan hampir seratus persen saja sudah sangat luar biasa,’ batin Erman.

Namun tentu saja, ia tidak tertarik dengan rencana Alan, namun masih ingin mendengarnya.

“Apa yang akan kamu lakukan dengan uang itu? Berjudi?”

“Bukankah aku sudah bilang sebelumnya? Aku akan menginvestasikan semua uangku ke dalam mata uang crypto dan mendapatkan keuntungan besar.”

Erman mengerutkan kening. “Bukankah itu sama saja? Kalian hanya memperindah pengucapannya, namun secara keseluruhan itu tidak jauh dari sebuah pertaruhan bodoh,” cibirnya.

“Itu jika seseorang tidak mengetahui hasil akhirnya.”

“Apa kamu mengetahuinya?”

“Tentu, aku tahu. Mata uang crypto dengan kode nama Dex akan menjadi penyelamatku.”

Nada serius Alan mampu membuat seisi ruangan hening. Ia tidak hanya percaya diri dengan keputusan yang ia ambil, namun juga berani. Sesuatu yang tidak dimiliki semua orang. Karena itulah, Erman gelap mata.

‘Ini akan menjadi tontonan menarik, untuk melihat harapan dan harga dirimu runtuh,’ batin Erman.

Erman berbalik, ia pergi memasuki sebuah ruangan yang dikunci dengan ketat. Sesaat pria itu menghilang dan kembali dengan menyeret koper berisi tumpukan uang. Ia melemparkannya kepada Alan dan membuang nafas kasar.

“Kamu harus membayar total dua setengah miliar dalam waktu satu bulan. Jika tidak, kamu tahu apa yang terjadi,” ancam Erman.

“Tidak perlu satu bulan. Aku akan mengembalikan dan melunasi seluruh utangku dalam lima hari.”

Alan mengulas sebuah senyuman dan berdiri, ia mengangguk menghormati Erman. Jantungnya memompa semakin perlahan dibandingkan saat ia dilempar dengan vas bunga, namun bukan berarti berakhir di sini. Ia masih harus membawa pergi uang tersebut dengan selamat. Alan memegang gagang koper tersebut dan berusaha untuk menyeretnya keluar.

Ron masih berada di ambang pintu, menghalau dengan tubuhnya yang besar. Saat mereka saling membalas tatapan, Ron dengan cepat menyadari kalau tatapan tersebut tidak biasa, dan ia segera menyingkir dari jalan. Alan menghilang melewati lorong gedung persembunyian mereka, kemudian ia menghampiri sang bos, Erman.

“Kenapa Tuan memberi tikus itu pinjaman? Tidak mungkin dia bisa membayarnya dan berakhir melarikan diri.”

“Bukankah itu tontonan menarik? Bukan berarti kita akan merugi juga.”

**

“Alan! Alan!” panggil Anastasia, ia berlari dari meja kasir dan menghampirinya dengan tergesa-gesa. Wanita itu memegang pundak Alan dan menggoyang-goyangkannya, memastikan ia baik-baik saja.

“Apa mereka melakukan sesuatu padamu? Katakan padaku, Alan,” lanjut Anastasia.

“Tidak, Senior. Semua baik-baik saja. Aku akan menyelesaikan masalah dengan mereka beberapa hari lagi,” terang Alan.

Anastasia segera menghembuskan nafas lega. Selama kepergian Alan, ia tidak bisa berpikir dengan jernih. Beberapa kali ia tidak fokus dan ditegur oleh manajer.

Wanita itu berjalan ke meja, menyiapkan secangkir kopi hangat untuk Alan dan duduk di depan minimarket. Hari sudah larut malam, pengunjung tidak seramai itu, dan ia dipersilakan untuk bersantai selama semua tugas selesai dan tidak ada pengunjung.

“Terima kasih, Senior.”

“Alan, jika ada sesuatu, kamu bisa berbicara denganku. Walaupun aku tidak bisa membantu, tetapi bukankah setidaknya kamu sudah berbagi? Maksudku … kamu akan merasa lega ketika kamu menceritakan masalahmu pada orang lain.”

Alan memandangi secangkir kopi yang dihidangkan oleh Anastasia. Perasaan pria itu seketika berkecamuk. Mata wanita itu menunjukkan seberapa besar ia khawatir tentang dirinya. Alan tidak pantas menerima kebaikan sebesar ini.

Pertemuan pertama mereka sejujurnya bukan di minimarket. Jauh sebelum itu, Alan dan Anastasia adalah kakak-adik kelas di sekolah mereka dulu. Walau tidak dekat, namun mereka saling mengenal satu sama lain—itulah mengapa Anastasia mengetahui tentang hutang Alan terhadap para mafia gila itu.

Secara mengejutkan mereka kembali bertemu, saat Alan berada di titik terendahnya. Anastasia hadir sebagai jembatan bagi Alan untuk kembali meraih semangat hidupnya serta menawarkan kesempatan untuk bekerja di minimarket itu.

Terlalu banyak kebaikan yang Alan terima. Sulit, bahkan sampai tidak mungkin untuk membalasnya, namun ia tahu apa yang bisa dilakukan.

“Apa itu tidak sesuai dengan seleramu, Alan?” tanya Anastasia saat menyadari Alan yang terus memandangi cangkir.

“Tidak, bukan itu,” balas Alan. Ia beralih ke langit, memandang cerah sinar rembulan, “Senior, ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Tetapi tolong agar pembicaraan ini cukup kita berdua tahu,” lanjut Alan dengan otot wajah yang mengeras. Anastasia seketika meneguk ludah mendengarnya.

Pewaris Sepuluh MiliarWhere stories live. Discover now