29. Memikirkanmu 🗻

236 21 4
                                    

.
.
.
.
.

~~***~~

Delapan belas orang meringkuk di bawah batang-batang pinus, merapatkan diri kepada perapian besar yang dibuat oleh Jiang Cheng. Mereka menjarang telapak tangan, mencoba mencari sedikit hangat dari kobaran api yang membumbungkan asap tebal.

Semua orang keletihan, napas mereka hanya separuh jalan. Malam gelap ditambah udara dingin yang menyergap membuat mereka mulai menggosok lengan. Satu persatu bola mata bergulir menatapku, tidak berani bersuara sedikitpun; aku tahu mereka segan mengungkapkan bahwa mereka ingin segera --entah bagaimana caranya memasuki Relung Awan dan beristirahat dengan nyaman.

Sejenak menimbang, mungkin saja aku harus benar-benar kembali dan mengambil surat undangan yang kutinggalkan sesegera mungkin. Melihat kondisi seperti ini, aku tidak bisa lagi bertahan dengan keegoisanku sendiri. Tidak, berdiam di hutan ini sampai pagi sama sekali bukan solusi yang bijak. Bagaimanapun, kultivator juga seorang manusia, sudah seharusnya rombongan ini beristirahat dengan layak.

Aku menyuruh Jiang Cheng menjaga rombongan, sementara aku akan bergegas menuju Kota Caiyi dan mengambil kembali apa yang kutinggalkan di sana. Jiang Cheng yang sedari tadi bergerak mengumpulkan kayu-kayu kering di sekitar lokasi, menoleh kepadaku, menawarkan diri untuk ikut serta, tapi aku menolak. Setelah memberi masing-masing satu kue beras kepada setiap orang, aku bangkit, tidak lagi menyandarkan tubuhku pada sebatang pinus besar itu.

Jiang Cheng melempar sebatang kayu panjang di tangannya ke dalam perapian, membuat nyala api membesar untuk sesaat. Wajahnya mengeras, dia tidak senang. Aku tahu dia tidak ingin aku pergi seorang diri, tapi tanpanya, rombongan ini tentu akan kebingungan.

Aku mendekatinya, menepuk pundaknya agar dia yakin bahwa aku akan baik-baik saja. "Udara sangat dingin, pastikan api tetap menyala."

Menatap langit gelap tanpa bintang, yang ada hanya bulatan besar rembulan, menggantung di atap semesta. Pantulan pucat itu menampilkan wajah dingin seorang Lan WangJi. Keputusannya yang keras kepala sangat menggangguku. Tapi aku tahu; dia hanya begitu tunduk dan bertekuk lutut pada peraturan. Perburuan malam Gunung Burung Api, serta kemalangan yang terjadi di Gua Xuanwu cukup membuktikan perangainya yang luar biasa patuh, berkepala sekeras batu.

Bagaimanapun kekesalan menghinggapiku, aku sangat mengerti bahwa apa yang terjadi saat ini adalah konsekuensi yang sudah sepatutnya aku dapatkan.

Jiang Cheng kembali memunggungiku, menjarang kedua telapak tangannya sambil berjongkok di dekat perapian, "Cepat pergi. Kau tidak punya banyak waktu. Ini sudah hampir tengah malam."

Tengah malam itulah kemudian aku menuruni gunung, membawa sedikit perbekalan dan juga Suibian. Sepanjang jalan, mengendarai Suibian adalah opsi yang terus-menerus kupikirkan. Aku memutuskan mengendarainya saat keberangkatan, dan berencana pulang dengan tetap mengendarainya jika mungkin. Tidak ada sesuatu yang lebih cepat daripada menaiki pedang, semua orang tidak mungkin kubiarkan meringkuk di bawah pinus sampai dua malam.

Pada sepuluh kilometer pertama, segalanya nampak dalam kondisi baik. Kota Gusu di bawah selongsong Suibian diselimuti keheningan, menemani sunyinya langit malam yang saat ini lebih hitam dari arang. Beberapa nyawa masih menghela napas mereka dengan lembut, menjaga penerangan tetap menyala satu atau dua.

Suibian menukik turun, membawaku berdiri di tengah jalanan remang-remang. Mau tidak mau aku harus menghemat energi spiritual. Aku bisa memulihkan energi spiritual sambil melangkah sedikit demi sedikit.

Ketika waktu melewati pukul satu, lampu-lampu kedai yang masih menyala mulai meredup dan kemudian mati satu per satu. Gusu benar-benar gelap gulita, dan hanya bulan yang menjadi sumber satu-satunya cahaya.

Cloud RecessesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang