30. Memikirkanmu (2)🗻

337 28 11
                                    

.
.
.
.
.

~~***~~

Lan Zhan memiliki telapak tangan yang besar, lebih besar dari milikku. Jemarinya panjang dan ramping, seumpama ranting pohon willow yang lentur. Halus, namun di lain sisi juga kuat. Pada saat mengerat pada pangkal Bichen --yang memiliki ukiran menonjol itu, maka buku-bukunya memutih, dan ujung-ujung tempat sidik jarinya berada menjadi berwarna merah lembut selayaknya kulit buah delima.

Berada di dalam kendalinya, Bichen menulis sajak di udara, berusaha menyentuh Senyum Kaisar di pinggangku dengan gerakan ritmis yang elegan.

Rembulan masih dengan sinar pucatnya yang redup. Cahayanya memantul lembut melalui bola mata Lan Zhan. Kami melayang di udara, seolah-olah menjelma bayangan dari alam mimpi.

Jubah putih Lan Zhan berpendar dalam cahaya bulan, menciptakan bayangan yang menjadikannya seperti roh malam yang turun ke bumi. Aku, dengan jubah hitamku, adalah bayangan yang melayang di sampingnya, kontras yang sempurna.

Lan Zhan bergerak dengan keanggunan yang memukau, setiap serangannya penuh ketegasan dan kekuatan. Aku mengimbangi setiap serangannya dengan Suibian, pedangku yang juga memiliki kelincahan tak kalah mengagumkan dari Bichen.

Setiap kali Bichen beradu dengan selongsong Suibian, percikan cahaya memancar, menjadikan atap hitam relung awan berkilat sesekali. Angin malam yang sejuk membawa aroma pinus, bercampur baur dengan kepekatan udara panas dari gejolak emosi Lan Zhan yang tidak memiliki tanda-tanda akan mereda.

Aku bisa merasakan tatapan Lan Zhan yang penuh keteguhan hati dan fokus. Pupil matanya yang melebar memancarkan intensitas yang sulit dijelaskan.

Aku menghindar dengan cepat, melompat dan berputar di udara. Jubah hitamku melambai liar, menciptakan siluet yang kontras dengan kecerahan cahaya bulan. Kendi-kendi Senyum Kaisar di pinggangku berdenting, tapi tetap utuh. Aku tersenyum tipis, tahu bahwa Lan Zhan tidak ingin melukaiku. Dia hanya mengincar kendi-kendi arakku dan bersiap melumatnya menjadi abu.

"Lan Zhan, kenapa kau marah sekali? Aku hanya menyelamatkan arak-arak ini supaya tidak sia-sia." Aku bertanya kepadanya dengan segenap usaha untuk menahan tawa.

Lan Zhan berujar dengan nada dingin yang menusuk, "Berhenti bermain-main, Wei Ying!"

Aku menyeringai, untuk itulah Suibian tidak pernah keluar dari persembunyiannya di dalam selongsong. Kami --atau mungkin hanya aku-- menganggap pertarungan ini hanya sebatas permainan belaka, dan kurasa ini menyenangkan.

"Kau memang tidak pernah serius ketika melawanku, kan? Ayo bermain-main lebih lama lagi!"

Lan Zhan mengerutkan alisnya, matanya bersinar dengan kemarahan yang tertahan. "Ceroboh!" katanya, mengomentari setiap langkah yang telah aku putuskan sembari terus mengayunkan Bichen.

Aku mendecih, diam-diam merasa takjub. Sebegitu besarkah perhatian yang ia berikan pada hal-hal tidak penting tentangku? Lantas aku membalas, "Tidak perlu mengomentari cara berpedangku."

"Serahkan arak itu."

"Tidak akan. Kalau kau mau, berusahalah! Jangan menahan diri!"

"Aku tidak ingin melukaimu, Wei Ying."

Lan Zhan.

Memikirkannya yang dengan kesadaran penuh membuntutiku sampai ke Caiyi untuk memastikan keselamatanku, membuatku benar-benar terenyuh. Satu lagi kepedulian yang tersimpan di balik sikap kakunya ia tunjukkan, membuatku terus terusik oleh perasaan aneh ini. Perasaan yang aku punyai setelah kepulangan dari Gunung Burung Api.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cloud RecessesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang