33

102 11 3
                                    

"Perasaan lo jauh lebih baik Lavelyn?"tanya Ansel menatap Lavelyn yang sedang menyeruput teh hangatnya.

Lavelyn meletakkan cangkir tehnya dan berdehem. "Ya seperti yang lo lihat."

"Gue minta maaf nggak bisa kasih tahu lo dari awal. Mungkin semuanya nggak akan seperti ini,"ucap Ansel penuh penyesalan.

Lavelyn menggeleng. "Bukan salah lo. Kalaupun gue tahu semuanya dari lo, belum tentu gue mau dengar. Bagi gue, denger dari orangnya langsung akan jauh lebih baik."

"Syukurlah Asta mau jujur. Gue gregetan habis sama dia. Tetapi, ya kembali lagi. Kita nggak bisa memaksakan kehendak atas orang lain,"ujar Ansel.

Lavelyn menyandarkan tubuh di kursi. "Iya begitulah hidup. Gue anggap semua ini sebagai pelajaran."

"Soal omongan lo tempo hari, itu nggak benar kan? Maksud gue, kenapa lo bisa serela itu lepasin Asta untuk Serena? Lo seperti bukan Lavelyn yang gue kenal,"ucap Ansel penuh keheranan.

Lavelyn terkekeh ringan. "Kalau boleh jujur, gue nggak beneran bakal lepasin Asta. Ya, anggap aja gue lagi memerankan drama. Mau lihat aja seberapa keras usaha Serena tetap lanjutin rencananya untuk deketin Asta dan seberapa keras Asta kembali sama gue."

"Maksud lo, soal mutusin Asta itu hanya sebuah gertakan?"

Lavelyn menggeleng. "Nggak juga sih. Gue beneran berpisah sama dia karena sekecewa itu sama sikapnya. Tetapi, gue juga nggak akan menutup kesempatan saat Asta berusaha untuk kembali sama gue."

Ansel bertepuk tangan dengan kegirangan. "Wah ini Lavelyn yang gue kenal. Bulolnya tetap melekat. Gue udah nggak kaget sih sama lo. Bucin bener lo, Lavelyn. Astaga."

"Gue hanya bersikap realistis. Gue masih cinta dan sayang sama dia. Jadi, kalaupun bisa gue kasih kesempatan kedua ya pastinya akan gue berikan. Itu semua juga tergantung sama usaha Asta. Dia bisa belajar dari kesalahannya, bukan nggak mungkin gue balik ke dia. Lo tahu kan? Kita sebagai manusia harus saling memaafkan. Gue hanya nggak mau memberi luka yang sama dengan apa yang sudah gue rasain. Anggap aja gue bodoh."

Ansel menggeleng. "Gue yakin banget sih Asta akan berusaha untuk kembali sama lo. Sebelum dia memutuskan untuk jujur aja, dia selalu mikirin lo. Menurut gue, lo beruntung bisa memberikan kehangatan dalam hidup Asta. Dan, Asta beruntung punya lo yang cintanya sangat besar."

"Gue berharap semuanya segera berlalu. Gue hanya mau hidup damai tanpa punya masalah dengan siapapun. Oh ya, gimana sama lo dan Serena? Setelah kejadian ada paket yang datang tiba-tiba itu, lo sama Serena ngapain?"tanya Lavelyn penasaran sekaligus kesal mengingat kejadian tersebut.

Ansel mengangkat bahunya acuh. "Gue cuekin dia. Mana gue dimarahin habis-habisan karena ada security antar paket yang mau gue jadiin bahan kejutan di hari ulang tahunnya."

"Serena hari itu ulang tahun? Lo kenapa nggak bilang sama gue? Tahu gitu, gue nggak akan ke apart dia,"sesal Lavelyn.

Ansel berdecak. "Ya habisnya lo nggak ada hubungin gue. Tetapi, asli gue kesel banget sama dia. Gue usahain yang terbaik untuk ada di setiap momen dalam hidupnya. Eh, malah gue di galakin. Dia bilang lebih baik rayain sama Asta."

"Nggak habis pikir gue sama Serena,"gumam Lavelyn menghela nafas.

Ansel menepuk pundak Lavelyn. "Ada Serena dan Asta! Kita ngumpet sekarang!"

Mata Lavelyn terlonjak kaget dan segera mengikuti langkah Ansel menjauh. Kebetulan, mereka berada di salah satu cafe dekat dengan kantor. Lavelyn dan Ansel mencari tempat aman dengan menempati meja lain. Tidak lupa menutupi wajah mereka dengan buku menu.

"Kira-kira mereka bicara apa ya?"tanya Ansel penasaran.

Lavelyn mengangkat bahunya acuh. "Nggak tahu ah."

Cinta Cowok Idaman!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang