★Mimpi Buruk

17 12 1
                                    

"Tidak... aku harus melakukan sesuatu untuk menghentikan kejahatan yang terus berlangsung. Dia tak memiliki hak memisahkan anak dari orang tuanya. Selain itu, sudah cukup kenyang menyaksikan penindasan yang berlangsung setiap hari. Aku harus segera bertindak tanpa sepengetahuan Nona Muda. "

Perkataan diri sendiri memenuhi pikirannya, menambah dorongan untuk memberontak, membelot secara rahasia. Tangan kanan sang tiran bersekongkol dengan tiga anak buahnya yang sama-sama muak diperlakukan tidak adil. Satu nasib, satu tujuan, itulah alasan oknum bermuka dua terbentuk.

Ting tong!

Mereka mengunjungi kediaman gadis muda yang paling disegani, Locha Lavanya Sanika. Dengan tatapan penuh determinasi, gadis cerdik tampak waspada kala memandang tamu di hadapannya. Aura mematikan terpancar, tubuh oknum tersebut bergetar seraya menelan air liur masing-masing.

Di ruang tamu terasa sunyi, tak ada yang berani memulai kata-kata hingga tuan rumah berdeham. Bagaikan sebuah kode, pemimpin oknum memberanikan diri mengatakan maksud dan tujuannya dengan suara terdengar gemetar menahan rasa takut. "Maaf jika saya mengganggu ketenangan Anda. Kami datang kemari hanya ingin memberi surat ini. Permisi."

Locha menerima surat dengan tatapan heran. Namun, sekian detik kemudian gadis pintar itu mampu menebak apa yang terjadi. Tanpa melihat, senjata rahasia tertuju pada intel lawan yang bersembunyi di lorong. "Intel kacangan...," komentarnya bak pisau yang baru saja diasah.

Jasad intel tersebut dimasukkan ke peti mati lalu dikirimkan ke istana. Melihat peti mati di gerbang istana, dua penjaga tampak terkejut. Kala membuka peti bersamaan, netra mereka membulat sempurna, memandang jasad intel sang tiran terbujur kaku. Rasa syukur menyelimuti batin, menduga era pemberontakan secara senyap telah berlangsung.

"Semoga semua berjalan lancar," kata prajurit senior mengutarakan harapan.

"Ya, semoga. Tiran itu sudah benar-benar gila! Sayangnya kita hanya bisa berharap pada pahlawan dibalik bayangan," timpal prajurit junior ikut melontarkan harapan.

Mimpi buruk bagi sang tiran telah tiba, bagaimana ia menyikapinya? Akankah ia tetap tidak peduli? atau mulai merasa frustrasi? Intel miliknya telah tewas, lantas langkah apa yang selanjutnya ia ambil? Entahlah, tak ada yang bisa menerka jalan pikirnya.

********

Van yang tengah menyamar menyaksikan penderitaan Eldevidel City. Mereka tak pernah tahu bahwa kondisi kota saat ini semakin hari semakin memburuk, bahkan banyak korban jiwa yang telah berpulang ke pangkuan Sang Pencipta dengan cara keji.

Kebencian Van yang kental pada sang tiran tampak ingin membalaskan dendam, menggenggam pedang dengan erat dengan tangan kecilnya. Niat buruk anak itu segera dihentikan oleh orang tua kandungnya.

"Van Piere!"

"A-ayah... B-bunda...."

Pertemuan yang tak disengaja membuat Van dapat merasakan pelukan hangat yang selalu ia rindukan. Keluarga kecil menangis haru, menunjukkan rasa terima kasih pada takdir karena telah mempertemukan anak dengan orang tuanya. Kebahagiaan terpancar jelas di wajah pasangan suami istri dan Van.

"Van, ingat pesan Ayah... tolong jangan menjadi manusia pendendam. Itu tidak baik," ucap lelaki paruh baya menasihati.

"Tapi dia sudah memisahkan kita. Aku ingin balas dendam karena penderitaan ini berasal dari dia!" protes Van dengan suara menggebu-gebu.

"Anak Bunda sayang, dengerin nasihat Ayah, ya? Dendam bukan jalan keluar yang baik, justru akan memperburuk keadaan,"respons wanita paruh baya bijak.

"Memperburuk keadaan? Maksudnya gimana?" tanya Van tak memahami perkataan dua paruh baya di depannya.

"Sayang, dengar baik-baik. Bunda akan ambil contoh yang mudah dipahami. Misalkan Van kesel, nih sama teman karena gak sengaja pukul kepala terus kamu bales, kira-kira temanmu bales lagi, gak?" respons Bunda memberi contoh kehidupan sehari-hari.

"Iya, kalau pukul harus dibalas sama pukul juga," sahut si anak dengan wajah polosnya.

"Nah, pertanyaan selanjutnya, kapan selesainya kalau dibalas terus? Sama halnya dengan dendam, jika kita balas dendam pasti tidak akan selesai sampai kapanpun sebelum ada yang mengalah atau mengambil jalan damai," sambung Ayah ikut menjelaskan.

Van terdiam sejenak, meresapi pelajaran yang baru saja ia dapatkan. "Iya, Ayah, Bunda. Van paham sekarang."

"Anak pintar!"

Dari kejauhan, Locha melihat pemandangan indah, bibirnya menyunggingkan senyuman bahagia. Ia membiarkan Van bertemu dengan orang yang telah melahirkan dan merawatnya. Van melihat Bunda angkatnya melambaikan tangan. "Bunda! Aku di sini!"

Mendengar Van memanggilnya, gadis berhawa misterius menghampiri keluarga kecil yang tengah berbahagia. Tak dengan tangan kosong, Locha membawa sekeranjang buah dan beberapa kudapan untuk mereka.

"Maaf mengganggu waktu bahagia kalian. Ini ada buah tangan dari saya," ucap Locha sopan, tak memandang status.

"Tidak mengganggu. Wah, terima kasih buah tangannya. Maaf, kami tidak bisa memberi balasan apa-apa," ujar Bunda Van menerima makanan dari gadis penyelamat hidup anaknya.

"Kami ingin mengucapkan terima kasih pada Anda karena bersedia menerima dan merawat anak kami," ungkap Ayah Van seraya sedikit menundukkan kepala sebagai tanda hormat sekaligus rasa terima kasih.

"Benar kata suami saya. Saat mendengar kabar bahwa Van berada di tangan Anda, saya merasa lega," lanjut Bunda Van tampak bahagia.

"Sebagai manusia sudah sepantasnya saling tolong menolong."

Tak hanya bicara omong kosong, mereka bertukar informasi guna mengetahui sikon serta scene selanjutnya yang akan dijalankan. Apakah rencana selanjutnya? Adegan epic apalagi yang akan diperankan?

To be continue

Jangan lupa vote, comment and share~!
Have a nice day~!

☆House of Heart : History Of Orphanage☆ [TERBIT]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang