Fatal Trouble

1.6K 164 31
                                    

"Hari dimana gue ngakhiri permainan kita, kenapa lo diem aja?"

Tatapannya menyendu, menyorot tepat pada Kajevrian yang terbaring disisinya. Usapan lembut dapat Gavi rasa disepanjang punggungnya yang kini sudah dipakaikan kaus longgar yang lelaki itu pinjamkan.

"Gue gak mau susah payah bicara—" ucapnya dijeda hanya untuk tarik pinggang Gavi agar lebih dekat "hari itu tekad lo buat ngakhiri semuanya kuat, apa yang terjadi dimalam kemah kita, pembicaraan lo sama Skyler, gak ada satupun hal yang bisa halangin lo buat ngakhirin semuanya."

Matanya terpejam begitu nafas hangat Kajevrian menerpa wajahnya, begitu dekat, begitu intim, seolah tengah menggoda akal sehatnya yang masih dipenuhi adegan kotor beberapa waktu lalu.

"Semua yang keluar dari mulut gue cuma akan jadi angin lalu yang gak akan lo dengar sama sekali."

"Diam yang lo pilih itu buat gue kesakitan Ian." tangannya melingkar apik pada leher jenjang Kajevrian, menarik diri untuk bubuhkan kecupan ringan disepanjang rahang tajam penuh pesona yang lelaki itu miliki "rasanya juga sakit buat lo kan, Ian? Liat gue lebih milih akhirin semuanya setelah pembicaraan gue sama Skyler, orang yang seharusnya gak ikut campur atas hubungan kita."

Hanya kekehan yang terdengar setelah perkataan Gavi keluar, Kajevrian memilih mengusak lembut surai hitam yang menggelitik dagunya. Matanya terpejam sementara Gavi menunggu jawaban.

"Itu adil, kita sama-sama kesakitan." matanya terpejam, memilih untuk tidak membiarkan Gavi melihat kedalam matanya. Tidak ingin Gavi tahu semua bentuk kesakitannya, sebab Kajevrian hanya ingin Gavi tahu jika ia juga merasa sakit. Hanya rasa sakitnya yang ia beri izin untuk Gavi ketahui. Bukan derita, air mata atau sesak yang merajamnya setiap waktu, bukan pula hancur yang buatnya kesakitan hingga nyaris mati "maaf, Gavi."

"Ian, malam itu gue gak dorong Shakeel jatuh kedalam air, dia jatuh diantara kakinya sendiri."

Menggeleng sebab Kajevrian sudah tahu. Gavi tidak perlu repot untuk bicara "dia jatuh dan kebetulan ada lo disana."

"Gue bukan gak mau nyelamatin Shakeel yang hampir ke bawa arus, Ian." wajah Kajevrian ditangkup, tangannya gemetar sebab memori malam itu kembali memenuhi kepalanya. Hari dimana ia hanya berdiri penuh ketakutan sementara Shakeel nyaris mati terbawa arus "Gue takut Ian, gue takut setengah mati."

"Maaf Gavi, maaf."

"Arusnya deras, gue gak sebaik itu dalam berenang, Ian" matanya basah, pandangan buram sebab air dipenuhi air mata "gue gak berdaya, gak akan ada yang selamat sekalipun gue turun layaknya pahlawan, gue cuma akan buat Shakeel mati keseret arus. Mati, gue juga bakal mati tepat setelah kaki gue turun kedalam air."

"LO BEGO ATAU GIMANA GAVI? SHAKEEL SEKARAT DIBAWAH SANA DAN LO CUMA DIAM MEMATUNG?"

"LO MANIAK YANG GAK TAHU MALU—"

"SIALAN, LO SADAR GAK LO HAMPIR BUNUH ORANG LAIN GAVI?"

Tubuh kecil Gavi dipeluk lebih erat, sadar jika Gavi tengah mengingat semua perkataan jahat yang dilontarkannya malam itu "maaf Gavi, gue kacau, mulut gue bicara selangkah lebih dulu dibanding otak gue. Gue bego, gue jahat. Gavi, selalu setiap hari gue menyesali semua perkataan yang gue ucapkan malam itu. Gak pernah seharipun gue lewatkan tanpa menyalahkan diri gue sendiri, Gavi. Maaf, maaf berhenti hukum gue dengan kehilangan. Gue mohon, Gavi."

"Jangan digigit, bibir lo hampir berdarah." menggeleng, usap lembut bibir bawah Kajevrian yang digigit begitu kuat "Heraldy atau Sagara, bakal mikir kita bergulat hebat diatas ranjang kalau liat bibir lo sobek begini." tawanya menguar, biarkan air matanya menetes bersamaan dengan Kajevrian yang membuka kedua maniknya setelah terpejam enggan menatapnya.

Tertawa, Kajevrian memilih sembunyikan wajah pada perpotongan leher Gavi yang selalu menguarkan harum favoritnya. Tenangkan diri sebelum kembali temukan keberanian menatap Gavi yang masih menunggu untuknya kembali bicara "maaf Gavi, gue gak bisa biarin lo pergi."

Mengangguk, Gavi biarkan wajahnya ditangkup dengan hati-hati oleh Kajevrian.

"Lo punya alasan untuk pergi, tapi gue gak bisa." tersenyum kecut, Kajevrian tatap kembali Gavi mencari kekuatan untuknya kembali bicara "setiap hari, gue selalu nahan diri untuk gak lari buat meluk lo erat kaya gini. Lo perlu waktu untuk sembuh dan gue juga perlu waktu untuk hukum diri gue sendiri."

"Hukuman apa yang lo kasih buat diri lo sendiri, Ian?" kekehannya menguar, biarkan bibirnya dihujani kecupan lembut.

"Lihat lo yang semakin jauh dari hari kehari."

"Itu sebabnya lo gak pernah muncul dihadapan gue sebelum akhirnya gue sadar kita ada disekolah yang sama?"

Mengangguk, membenarkan pertanyaan yang Gavi ajukan "gue hampir masuk Wisma Bangsa, tapi lo terlalu jauh, rasanya gila, lihat lo sejauh itu, gue takut dilupakan, gue takut eksistensi gue hilang dari ingatan lo. Gavi, gue gak mau. Gue mau lo ingat gue setiap hari, walau yang lo ingat cuma kenangan buruknya, gue gak masalah, selama gue masih ada diingatan lo."

"Seharusnya kita ketemu dihari pendaftaran, mungkin gue bisa hentiin lo buat masuk di sekolah antah berantah ini, sekarang mimpi lo jadi makin jauh, Ian."

"Gak masalah, gue rasa  akan lebih keren kalo gue bisa wujudin mimpi gue dari titik paling bawah, lagipula ada Sagara, gue sama dia bisa jadi tim yang baik."

"Aldy?"

"Dia gak di futsal lagi."

"Kenapa?"

"Futsal bukan bagian dari Heraldy, dia pemain basket, mimpinya jadi pemain basket, bukan pemain futsal."

Gavi tertawa pun dengan Kajevrian yang tersenyum dengan bibir tipisnya. Hangat, rasanya hangat sebab Gavi berada dipelukannya dengan tawa yang sama seperti saat permainan aneh mereka masih berlangsung. Gusar dihatinya telag berkurang sedikit, pun dengan rentetan kalimat permintaan maafnya sudah berhasil ia katakan. Kini hanya perlu menunggu pun menerima segala bentuk perlakuan Gavi setelah ini.

"Gavi, setelah ini apa lo bakal usir gue pergi lagi?"

"Lo udah datang jauh-jauh ketempat persembunyian gue, lo udah berhasil nangkap gue untuk berada sedekat ini lagi. Lalu, masih ada kah alasan untuk gue tetap menghindari lo yang udah berusaha mati-matian ini?"

"Makasih, Gavi."

Mengangguk, untuk Gavi, ini impas. Mengetahui Kajevrian menyesali semua bentuk perkataannya malam itu buatnya lega, kesakitan dihatinya seperti diberi obat, denyutan menyakitkannya perlahan menghilang. Rasanya seperti ia bisa menerima Kajevrian lagi sepenuhnya.

"Sisa 7 hari permainan kita, Gavi haruskah kita lanjut?"

Gavi menggeleng, itu bukan pilihan bagus "Skyler bisa marahin gue setiap hari."

"Gue lebih galak dari Skyler kok."

Tertawa, tentu. Kajevrian dengan perangai jahatnya jelas melebihi Skyler, lelaki itu bahkan selalu bisa memberikan kesan 'dimarahi' hanya dengan sorot matanya yang tajam.

"Gak mau, setidaknya sampai gue bisa lepas dari belenggu 'gak enak sama Skyler' ini."

"Setelah itu lo mau selesaiin game nya?"

"Mau."

"Habis game nya selesai, mau ya pacaran sama gue?"

"IAN!"

"Mukanya merah, mau ya Gavi?"

"Mau. Mau pulang."

"Kok pulang? Nginep aja, latihan pacaran dari sekarang atau latihan tinggal bareng kaya pasangan suami istri."

"SINTING! JANGAN DEKET-DEKET LO GILAAAAAA."













; END Of Fatal Trouble —

cie cie in mereka please, ini harusnya satu chapter lagi end nih

Morosis • JaywonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang