21. Rumah Adesya
Akhirnya hari yang dinantikan telah tiba dan Adira juga sudah bersiap untuk pergi ke rumah Adesya. Kemarin mereka sudah sepakat akan main ke rumah Adesya. Mereka sudah lama tidak bermain bersama, walaupun masih sering bertemu hanya untuk mengerjakan tugas bersama.
"Mau ke mana lo?" tanya Aldo yang juga keluar dari kamar.
"Main," jawab Adira. Dia memperhatikan adiknya yang hanya menggunakan kaos dan celana pendek. "Gak keluar?"
"Kagak ada yang ngajak," jawab Aldo. "Lo juga," tunjuk Aldo pada sang kakak yang juga akan pergi tapi tidak mengajaknya.
"Emang mau kalo kumpul sama perempuan aja?" tanya Adira. "Kalo gak masalah, ikut aja gapapa."
"Beneran?"
"Bener. Tapi Aldo yang bonceng, Kakak gak mau di depan."
"Iya, biasanya juga gue yang di depan. Tapi pake motor gue."
"Oke. Kakak tunggu di bawah, pake baju yang keren!"
"Iya."
Setelah itu, Aldo kembali masuk ke kamarnya dan mulai bersiap. Sambil menunggu Aldo, Adira segera turun ke bawah dan mencari orang tuanya. Dia tidak menemukan Baba Zaidan ataupun Umma Aira di ruang tamu. Lalu mencoba mencari di dapur juga tidak ada. "Masa di taman? Tapi kayaknya diruang kerja Baba deh."
Karena ruang kerja Baba Zaidan lebih dekat daripada taman, Adira memilih mencari mereka di ruang kerja. Sebelum masuk Adira mengetuk pintu lebih dulu.
Tok tok tok.
"Masuk!" suara Baba Zaidan yang menyuruh untuk masuk.
"Assalamualaikum, Baba lihat Umma?" tanya Adira saat masuk.
"Wa'alaikumussalam."
"Kenapa Kak?" tanya Umma Aira yang sedang membaca buku.
"Mau izin main."
"Main ke mana?" tanya Baba Zaidan.
"Adesya Ba. Boleh kan Umma-Baba?" izin Adira.
"Baba kasih izin kalo Umma kasih izin," jawab Baba Zaidan.
"Umma?" panggil Adira, dia sudah was-was jika Umma Aira tidak mengizinkan.
"Kak!" Umma Aira yang baru akan berkata terpotong karena Aldo memanggil Adira. "Gue cari ternyata disini. Ayo!"
"Mau ke mana?" tanya Umma Aira pada putra bungsunya.
"Main Umma. Boleh kan?"
"Boleh. Sama Kakak?"
"Iya. Kakak yang ngajak," jelas Aldo.
"Jangan pulang sore!" pesan Umma Aira.
"Kakak di jaga, Do!" pesan Baba Zaidan.
"Kan Dira yang kakak," ucap Adira.
"Walau lo kakaknya, masih gede gue kak." Aldo berkata dengan sombong membuat kedua orang tuanya tertawa.
"Gak usah ikut kamu Do," ucap Adira.
"Lah? Gak bisa gitu lah."
Setelah mendapat izin, mereka berpamitan pada Umma Aira dan Baba Zaidan. Lalu Aldo langsung merangkul sang kakak dan segera mengajaknya keluar. Dia tidak mau jika kakaknya sampai berubah pikiran.
****
"Pulang lo semua!"
Raden dengan seenaknya mengusir teman-temannya yang tiba-tiba datang tanpa diundang. Dia sangat yakin, ini adalah ide dari Dylan siapa lagi kalo bukan Dylan?
"Baru juga sampe," ujar Malik.
"Gue udah bilang. Minimal ngomong ke Raden," ucap Abid yang awalnya tidak setuju terpaksa ikut karena Malik dan Dylan dengan sangat kompak memaksanya.
"Bener kata Abid. Minimal bilang cok!"
"Sabar!" nasehat Dylan dengan wajah tanpa dosa. "Karena kita udah sampe. Rumah kita-kita juga jauh, biarin lah kita disini dulu."
"Sana di pos ronda aja, kagak cocok kalian disini."
"Temen sendiri ini woy!" ucap Malik.
"Lagian hari ini lo aneh. Temen main bukannya seneng malah ngusir," heran Dylan.
Raden hanya bisa memupuk rasa sabar dengan tingkah sahabat-sahabatnya, syukurnya masih ada yang normal di antara mereka siapa lagi kalo bukan Abid yang jadi penengah.
"Gini deh! Den, kasih alasan logis ke mereka kenapa lo ngusir?" tanya Abid angkat suara.
"Temen ada gue hari ini pada mau main ke sini. Makanya kalian gue usir. Kalian juga ga ada bilang dulu," jelas Raden.
"Wah parah lo! Mau ada cecan malah ngusir temen," ucap Malik.
"Minta dicolok lo?"
"Wah mainnya kasar lo, Den." Malik langsung menghindar dan menjaga jarak duduknya pada Raden.
"Gapapa kali, kita juga gak akan ganggu mereka," ucap Malik lagi.
"Kalo kalian gue yakin gak akan ganggu. Tapi dia!" Menunjuk pada Dylan yang duduk dengan tenang dan tersenyum manis. "Enggak. Bisa bahaya temen adek gue."
"Emang gue apaan cok?" ucap Dylan tak terima.
"Tak kasat mata," jawab Raden dan Malik kompak.
****
Dua orang gadis sedang sibuk membaca buku masing-masing, mereka sedang menunggu Adira yang belum juga sampai. Gadis itu sudah telat 15 menit dari jam kesepakatan mereka.
"Fa, gue ke depan dulu. Nungguin Dira, takut nyasar anaknya."
"Oke. Gue disini ya?" izin Syafa.
"Iya."
Adesya segera keluar kamar, dia berniat menunggu Adira di teras rumah. Ketika melewati kamar sang kakak, dia dapat mendengar obrolan mereka karena pintu yang tidak ditutup rapat.
Tok tok tok
"Mas, pintunya tutup yang bener."
"Mau ke mana? Bukannya ada Syafa?"
"Mau jemput Dira. Nanti kena begal disini."
"Bahasa mu."
"Jangan berisik," pesan Adesya.
"Hem."
Adesya kembali ke tujuan awalnya, dia benar-benar menunggu di depan teras. Setelah lima menitan, akhirnya Adira datang. Gadis itu tidak sendiri, dia ditemani oleh adiknya.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
"Maaf ya Sya, aku telat."
"Gapapa," jawab Adesya. "Perjalanannya amankan?" tanya Adesya.
"Alhamdulillah. Tapi gue hampir nyasar Kak," sahut Aldo lebih dulu sebelum Adira menjawab.
"Sorry, Do. Gue lupa kasih tau Dira tadi. Ayo masuk! Lo mau gabung sama Mas Raden gak?"
"Lagi ada temennya?" tanya Aldo.
"Iya. Gapapa gabung aja. Lagian lo kan gampang akrab, langsung ke kamarnya aja."
"Oke, Kak. Mau gue aja mabar lah."
#14Juni2024

KAMU SEDANG MEMBACA
Terima Kasih Dylan✓
EspiritualNazima Adira Alifa Al-Ghifari, gadis berusia 18 tahun yang baru masuk ke dunia perkuliahan. Di usia yang baru beranjak dewasa ini merupakan masa pencarian jati diri. Di masa ini pula, dia jatuh cinta. Jatuh cinta adalah fitrahnya manusia, setiap man...