1. Arti Makan Siang

176 13 0
                                    

Lea's Pov

Ku tumpu siku di atas pembatas balkon. Sembari memandangi gelapnya malam yang menyatu bersama gemerlap Eiffel Tower.

Aku menghela nafas lalu tersenyum kecil. Menggoyangkan gelas wine yang bertengger di tanganku dengan pelan.

Beberapa detik berlalu ku nikmati hening. Hingga mataku kembali memanas. Mata yang sembab kini memerah lagi. Sesak ku mengingat masa lalu yang entah sekedar mimpi atau kehidupan pertamaku.

"What the fuck is me?" umpatku pada binar bintang nan jauh disana.

Hanya bertemu salah satu antagonis utama ku tadi siang, sudah membuatku seperti ini. I'm so damn. Even just face to face with them. Manusia-manusia yang membuatku menderita di dalam mimpiku. Are you fucking joking me?

Gemeretak gigiku, menahan diri agar tidak terisak lagi. Sungguh masih terekam jelas ketulusanku di balas pengkhianatan oleh mereka.

Lebih-lebih lagi, pria yang menemaniku dulu. Pria yang habis-habisan mengorbankan dirinya di dalam mimpiku. Kini dia berada di pihak musuh.

Pria yang pernah mendekap tubuh polosku di bawah selimut. Berbagi cinta, nafas, peluh juga air dewasa.

Pria yang berhasil menempati tahta tertinggi di hatiku meski meremas hati ini pelan-pelan.

Pria yang ku beri cinta meski sempat menusukku diam-diam.

Kini dia tak mengenaliku. Dia tak menoleh padaku. Di kehidupan ini, ia sama sekali tak mengingatku. Dan sialnya, kenapa aku yang harus mengingat dia?!

Ku pukul dadaku berulang kali. Nanar tadi ku tatap punggungnya menjauh. Justru ia merangkul mesra pada lawan yang berkedok sahabat bagiku.

Dadaku berat dan sesak. Terseok-seok aku berbalik lalu mengendarai Mini Cooper dengan kecepatan tinggi. Aku seperti orang tolol yang patah hati oleh orang asing. Padahal di kehidupanku kali ini, aku baru pertama kali bertemu dia. Sialnya lagi, ia adalah kekasih sahabatku.

Ku buka kasar pintu penthouse. Ku tenggelamkan diri dalam kegelapan selimut. Menangis sesenggukan aku di sana hingga tertidur.

Malam telah tiba saat aku terbangun. Ku bersihkan diri lalu termenung di balkon penthouse. Tempatku berdiri kini. Aku tertawa getir mengingat segalanya.

Ternyata, aku selemah itu. Sekedar menatap wajah mereka saja seolah aku masih tak percaya.

Aku sakit tak berdaya, mengingat wajah-wajah yang dulu memelukku justru menusukku juga.

Aku kalah bahkan sebelum melakukan apa-apa.

Oh, my God. I'm such a moron!

Aku tersinting-sinting menangisi mereka yang tidak pernah memikirkan perasaanku.

Tersinting-sinting aku menangisi diri di saat gelak tawa mereka kian melebar seraya melancarkan rencana liciknya.

Stupid.

Cukup!

Aku tidak bisa terus begini.

Ingatkan aku! Jika ini adalah terakhir kalinya aku menangis untuk dan karena mereka. Terakhir kalinya, camkan itu!

Ku hapus kasar sungai kecil yang mengalir di pipiku. Terkepal erat tanganku memegang gelas. Hingga retakan kecil terdengar dari balik kaca. Nyaris memberi celah pada wine untuk tumpah. Ku kendurkan tangan. Jangan sampai emosiku melukai diriku sendiri.

Kini aku tertawa. Tertawa rendah hingga mataku menyipit. Ku teguk wine di tanganku lalu menyeringai tipis.

Selamat!

Love Revenge Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang