7. Kuasa di Orang yang Tepat

56 4 2
                                    

Seorang perempuan muda berjalan melewati beberapa karyawan dengan senyum ramah khas nya. Tak ada satu orang pun yang tak menyapa. Mereka tau bahwa perempuan itu adalah salah satu orang penting dari bos nya.

Perempuan itu masuk ke dalam lift. Rambut coklatnya berkilau diterpa cahaya persis iris matanya. Kini pemandangan kota menjadi objek paling menarik seiring benda itu berjalan. Dalam hati, ia berdecak kagum. Dengan struktur dan desain perusahaan ini.

Lift berhenti, ia keluar lalu mendapati sekretaris dari sahabatnya. Menyambut formal nan sopan. "Selamat pagi, Nona Ivy."

"Pagi, Mitty."

Ivy berjalan, melewati Mitty begitu saja. Hingga perempuan cantik itu tersentak begitu Mitty menghalangi jalannya. "Maaf, Nona Ivy. Nona Lea belum datang. Anda tidak diperbolehkan masuk sebelum hadirnya Nona."

Ivy memutar bola matanya. Perlahan ia lirik jam yang melingkar di tangannya. "Oh my God, sudah siang begini, Lea belum datang? Sudahlah, aku ingin menunggunya di dalam."

Lagi-lagi, Mitty menghalangi. Dengan tetap menunduk sopan. "Maaf, tidak bisa Nona."

"Atas dasar apa kau melarang ku, Mitty. Aku satu-satunya sahabat Lea. Jangan bersikap lancang atau ku laporkan kau pada Lea agar kau dipecat!" gertak Ivy penuh keyakinan.

"Tetap, Anda tidak bisa masuk, Nona."

Tangan Ivy terkepal menenteng sesuatu. Nyalang matanya menatap Mitty penuh intimidasi. "Oh, begitu? Sudah berani kau padaku?" desisnya.

"Minggir!" Dengan sekali dorongan, Mitty tersingkir. "Dengar, aku hanya ingin menyimpan kotak makan ini untuk Lea. Sudahi sikap curigamu, Mitty!" timpal Ivy lagi, memaksa.

Andai semua orang melihat kejadian itu, mereka pasti tidak percaya. Begitulah perempuan itu.

Jika sudah dekat dengan seseorang, Ivy akan bersikap semaunya. Menganggap hal apapun patut dibagi dan dimilikinya juga. Memperlakukan orang semena-mena, hanya karena dia punya kuasa di belakangnya. Dia menyalahgunakan privilege yang tidak semua orang punya.

Sayangnya, populasi orang seperti perempuan ini dibenci oleh kaum pejuang mati-matian. Yang meniti hidupnya dari awal. Namun harus tersingkir oleh mereka yang punya backing-an orang dalam.

Penjilat yang tidak tahu etika dan sopan santun.

Mitty menatap datar dan dingin punggung Ivy yang hilang di balik pintu. Tak lama ia menghubungi seseorang lewat telpon kantornya.

Sementara di dalam, Ivy meletakkan bekal kotak makan di atas meja. Perempuan itu sontak menurunkan bokongnya di kursi kebesaran milik Lea. Bersandar seraya memangku angkuh kakinya selayaknya dia pemilik asli kursi itu.

Senyum manis bibirnya terbit. Ia menatap dirinya dari pantulan lemari kaca di samping. "Ternyata aku sangat pantas duduk di kursi ini."

Ivy mengedarkan pandangannya pada ruangan rapi nan bersih ini. Tiba titik fokusnya tertuju pada sebuah drawing pad di samping vas bunga. Selain dalam sketchbook, biasanya Lea juga membuat sketsa menggunakan drawing pad.

Sayangnya, drawing pad tersebut dikunci layar oleh pemiliknya. Gerutuan Ivy terdengar lirih. Beralih ia menatap anak meja. Ivy mengerutkan kening saat berusaha membukanya. Lagi-lagi, anak meja tersebut dikunci dan tak mungkin terbuka meski sekalipun dipaksa. Bukan hanya satu. Seluruh anak meja, nakas, filling cabinet dan brankas dikunci saat Ivy mengeceknya satu persatu.

"Sial!"

Ivy duduk kembali di kursi. Lantas ia memutar kursi tersebut menghadap pemandangan indah kota Amsterdam. Bersandar ia dengan sebal. "Apa Lea juga mencurigaiku?" gumamnya.

Love Revenge Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang